Pernikahan merupakan momen yang sakral. Mengapa sakral?
Ketika seorang laki-laki menjadi suami dari seorang perempuan, maka laki-laki itu bersedia menjadi bagian dari "pasukan 4", lho apa itu "pasukan 4"? Pasukan 4 bisa dibilang sebagai julukan kepada para kaum adam yang berstatus sebagai orang yang memiliki ikatan keluarga inti dengan seorang perempuan, yaitu ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, dan tentunya suami. Keempat inilah yang memiliki tanggung jawab dunia dan akhirat terhadap bagaimana si perempuan tersebut.
Sebaliknya bagi kaum adam, seorang laki-laki yang belum menikah maka memegang tanggung jawab terhadap ibu dan saudara perempuannya (jika tidak ada saudara perempuan maka hanya ibunya). Nah jika si laki-laki itu menikah maka bertambahlah perempuan yang harus ditanggungjawabinya, yaitu istri, dan terbukalah pula kemungkinan hadirnya anak perempuan, sosok yang akan menjadi perempuan yang wajib ditanggungjawabinya.
Itu bagi dari sepasang aspek, bagaimana dengan aspek lain, keluarga misalnya...
Pernahkah kalian membayangkan betapa dahsyat dua keluarga yang harus disambung silaturahimnya melalui sepasang suami-istri? Kenapa harus kita singgung hal ini? Banyak ayah dan ibu yang merasa "dirampas" anaknya oleh anak orang lain. Si pasangan baru ini merasa terlalu mandiri sehingga silaturahim dengan keluarga "akar"-nya justru tergerus. Atau bahkan kasus rasa di-orangtuatiri-kannya lantaran merasa suami-istri condong ke salah satu keluarga.
Menikah bukan hanya persoalan membawa anak orang untuk diakui sebagai pasangan hidup. Lebih dari itu :) Menikah merupakan pintu awal silaturahim diantara dua keluarga, maka menjadi kewajiban, khususnya bagi suami-istri tersebut untuk aktif menyambung silaturahim. Kabarnya ini bukan perkara mudah lantara membina kerukunan antarbesan sering terkendala gengsi ataupun kompetisi aneh-aneh. Oleh sebab itu, ketika memulai pintu pernikahan, wajib hukumnya untuk menciptakan ide-ide agar kedua belah keluarga bisa saling mengisi, bisa saling memberikan peran, dan tentunya meningkatkan kualitas iman. Dan ngomong-ngomong, peran suami sebagai komandan dalam rumah tangga dituntut untuk mewujudkan hal tersebut.
Menikah juga bukan hanya menjadi suami. Status "hanya suami" insya Allah akan direvisi menjadi "ayah" ketika hadirnya si buah hati. Maka di situlah investasi akhirat dimulai. Anak merupakan investasi yang sangat berharga. Saking berharganya, janganlah laki-laki merasa sok mampu untuk mengerdilkan peran istri dalam mendidiknya. Tidak ada kosakata "bos" di kamus suami-istri, lebih khusus untuk urusan mendidik anak. Maka, jauhkanlah pemikiran untuk memisahkan peran antara laki-laki dengan perempuan untuk urusan mendidik anak, karena yang semestinya dilakukan adalah berbagi peran dan saling mengisi.
Ah, memang betul kata orang, jangan mau jadi suami jika ...
Jika hanya sekedar gengsi
Jika hanya bisa menunggu dan menunggu tanpa pernah mau mengisi waktu untuk menjadi pribadi yang semakin baik dan berkualitas :)
Jangan mau jadi suami, jika...
Rabu, Agustus 20, 2014 by
ve
Posted in
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Jangan mau jadi suami, jika..."
Posting Komentar