Qada dan Qadar...
Dua hal yang paling sukar dicerna karena memang mmm... gimana ya? Keberadaannya sulit dipahami dengan akal sehat yang cuma bersandar pada nalar. Padahal mengimani qada dan qadar lebih dari urusan otak berlogika.
Dua hal yang paling sukar dicerna karena memang mmm... gimana ya? Keberadaannya sulit dipahami dengan akal sehat yang cuma bersandar pada nalar. Padahal mengimani qada dan qadar lebih dari urusan otak berlogika.
Kita mengenal takdir mubram dan takdir muallaq. Yang satu sifatnya fix dan satunya lagi masih bisa berubah. Contoh yang fix adalah usia dan contoh yang masih bisa berubah sesuai ikhtiar adalah kecerdasan akademik, IPk dll. Bagaimana dengan jodoh? Bagaimana pula dengan masuk surga ataukah neraka?
Ada yang mengelompokkan jodoh sebagai takdir mubram, ini mayoritas. Walau demikian dengan sejumlah argumen, ada pula yang mengelompokkannya ke takdir muallaq.
Terlepas dari klasifikasi itu, ada yang jauh lebih penting, yaitu tentang hak dan kewajiban kita pada Allah terkait qada dan qadar.
Kita punya hak untuk berikhtiar
Namun kita juga punya kewajiban untuk tawakal pada ketetapan-Nya.
Kita punya hak untuk berikhtiar
Namun kita juga punya kewajiban untuk tawakal pada ketetapan-Nya.
Bagaimana dengan perkara menikah?
Kita mulai dari... siapa sih jodoh kita? Si itu kah?
Allah merahasiakan siapa jodoh kita tentu ada nilai positif yang penuh kebaikan. Sepatutnya kita menyimpan rapat-rapat kegundahan kita dan mengisi waktu dengan ikhtiar. Ikhtiar yang bagaimana?
Jika memang kita mengharapkan pernikahan kita untuk-Nya, maka lakukan dengan cara-Nya. Jangan mau bengong menunggu, pergunakan hak kita dalam berikhtiar sebaik mungkin.
Allah merahasiakan siapa jodoh kita tentu ada nilai positif yang penuh kebaikan. Sepatutnya kita menyimpan rapat-rapat kegundahan kita dan mengisi waktu dengan ikhtiar. Ikhtiar yang bagaimana?
Jika memang kita mengharapkan pernikahan kita untuk-Nya, maka lakukan dengan cara-Nya. Jangan mau bengong menunggu, pergunakan hak kita dalam berikhtiar sebaik mungkin.
Apakah ikhtiar itu urusan "mencari" dan me ikat lawan jenis? Itu sama saja mencari muka di air keruh *berasa nggabungin dua peribahasa.
Ikhtiar juga seputar kita memperbaiki diri sendiri. Kenapa kita harus memperbaiki diri sendiri? Tentu bersinggungan dengan komitmen kita mengabdi pada-Nya. Jika kita mengabdi pada-Nya, maka jangan mau berpuas diri dengan keimanan yang hanya baik di versi sendiri.
Kembali malah ke pertanyaan "mau ke surga apa neraka?" yang ternyata terkait dengan urusan menikah, kok bisa?
Menikah tidak hanya untuk hari H, tapi juga investasi akhirat yang ujung-ujungnya pertanyaan untuk diri kita sendiri "mau pernikahan yang mengantarkan ke surga atau neraka?" Begitu pula kita mulai tergelayuti galau tentang kekokohan dalam pernikahan, termasuk rasa was-was tatkala cita-cita keluarga yang sakimah, mawadah, warokhmah tidak terwujud. Kita kembalikan pada "kewajiban" kita tadi, yaitu berikhtiar.
Menikah tidak hanya untuk hari H, tapi juga investasi akhirat yang ujung-ujungnya pertanyaan untuk diri kita sendiri "mau pernikahan yang mengantarkan ke surga atau neraka?" Begitu pula kita mulai tergelayuti galau tentang kekokohan dalam pernikahan, termasuk rasa was-was tatkala cita-cita keluarga yang sakimah, mawadah, warokhmah tidak terwujud. Kita kembalikan pada "kewajiban" kita tadi, yaitu berikhtiar.
Maka...
Raihlah pernokahan yang menjadi manifestasi iman terhadap qada dan qadar^^
Raihlah pernokahan yang menjadi manifestasi iman terhadap qada dan qadar^^
No Response to "Menikah sebagai Manifestasi Rukun Iman [6]"
Posting Komentar