Masih berbincang tentang LGBT namun kali ini saya mulai menemukan beberapa pemikiran yang agak berbeda. Selama ini diskusi LGBT kerap dibenturkan dengan kesimpulan jangka pendek, yaitu pro ataukah kontra, titik (ya walau ada yang masa bodoh hehee). Dikotomi yang sepintas bagus, namun bagi saya diskusi yang sebatas itu hanya bersifat membina rasa dendam lantaran adu argumen yang "terpaksa" dituntaskan. Sekarang sudah sepatutnya kita "menghabiskan" ide dan argumentasi kita untuk menggagas pencegahan LGBT dan perbaikan para pelakunya, mulai dari saat ini juga. Ingat ini revolusi mental hehee, jadi jangan terlalu ribut pro ataukah kontra jika tidak punya bekal penanganan berikutnya.
Pertama tentang pencegahan
Adakah di sini yang bercita-cita anaknya menjadi LGBT?
Adakah di sini yang bercita-cita punya sahabat, saudara, orang tua, atau bahkan suami/istri yang LGBT?
Adakah di sini yang sejatinya bercita-cita menjadi LGBT?
Alaminya manusia tidak akan menjawab "saya" pada 3 pertanyaan di atas. Namun sekali lagi tidak punya niat untuk mengiyakan 3 pertanyaan itu tidaklah cukup. Perlu tindakan nyata sebagai bukti kesungguhan kita. Jika upaya/tindakan sudah optimal, Allah SWT pasti memberikan bantuan-Nya. LGBT ini merupakan tetangga dekat berbagai perilaku seksual menyimpang. Artinya harus ada pembenahan dalam mendidik anak kita, pasangan kita, dan juga keluarga kita terkait pendidikan seksual. Tidak cukup mendidik anak dengan menitipkannya ke sekolah, apalagi (setahu saya) kurikulum nasional tidak menyelipkan pendidikan seksual sama sekali. Kita perlu "bersuara" agar kurikulum nasional menyelipkan pendidikan seksual yang benar, sesuai agama, dan norma sosial. Kita juga harus kepo terhadap "santapan" internet dan televisi orang sekitar kita. Godaan pornografi, pornoaksi, dan porno-porno lainnya sudah terlalu jamak di dunia maya. Di jalur inilah, kepenasaran akan LGBT justru bisa memancing anak/saudara/pasangan kita menjadi penganut paham tersebut.
Kedua tentang perbaikan
Kita perlu belajar dari insiden "genoside" yang menimpa kader dan simpatisan komunis di akhir Orde Lama. Mereka dicap hina dan lantas dihakimi massal tanpa pernah ada kejelasan. Saya berharap tidak ada "genoside" terhadap pelaku LGBT. Alasannya sederhana, mereka manusia dan punya hak asasi berupa hidup (ya, hak hidup adalah salah satu HAM bagi mereka, namun perilaku LGBT-nya tentu bukan HAM). Yang kita tentang adalah ke-LGBT-annya, bukan orangnya. Saat ini boleh jadi kita normal dan mereka tidak, tapi bagaimana dengan sekian tahun kemudian. Boleh jadi mereka punya potensi yang dapat lebih berkembang dan bermanfaat jika mereka sembuh. Boleh jadi mereka setelah sembuh akan menjadi pemuka agama, ilmuwan, entrepreneur, ataupun aparat negara yang memberi manfaat dan juga ikut memberikan solusi atas masalah LGBT.
Maka saran kepada media, tampilkan pula sosok yang sembuh dari LGBT, bagaimana mereka sembuh, bagaimana hidup mereka setelah sembuh, dan berbagai cerita bermanfaat lainnya.
Sekali lagi, jangan mau kehilangan waktu untuk debat pro ataukah kontra, apalagi sampai mengumbar argumentasi berbusana akademisi. Gunakan kecerdasan anda untuk memberi solusi.
No Response to "Mengeja Diskusi Destruktif [2] Bagaimana Mengonstruksikannya"
Posting Komentar