Sebuah film yang kental dengan darah muda semakin mewarnai belantika industri film tanah air. Tidak melulu tidak cinta yang identik antara hubungan laki-laki dengan perempuan, namun lebih luas berupa kepedulian sosial. Film ini bertajuk "Ketika Mas Gagah Pergi", judul yang menggusung nama yang Indonesia banget. Sempat ada percandaan "kalau ampe pas nonton tiketnya abis, beuhh gokil juga orang pergi bisa ampe sold out filmnya, gimana kalo orangnya balik lagi".
Titik cerita film ini terletak pada konflik internal di sebuah keluarga lantaran salah seorang diantaranya kurang disukai cara berpikirnya tentang Islam. Sosok abang yang menemukan "jalan baru" ditentang oleh sang adik yang tidak nyaman dengan perubahan si kakak. Si abang sendiri menemukan "jalan" tersebut setelah melalui sebuah perjalanan ke Ternate. Seperti apa perjalanan di Ternate itu sendiri hanya diulas sepintas dan akan didetailkan di sekuelnya. Yang pasti, kalo betulan syutingnya di Ternate, kenapa nggak ketemu saya ya? Oh mungkin syutingnya pake mobil, bukan jalan kaki. Kembali ke topik, ada beberapa hal menarik yang menjadi pelajaran bagi kita semua dari film ini (bukan spoiler lho y).
Posisi ibu dalam menangani konflik kakak vs adik
Entah kenapa saya justru lebih termenung dengan sosok ibu (sekaligus ayah) yang berupaya meredam konflik antara si kakak dengan adiknya. Ketegaran sebagai single parent ternyata tidak serta merta memaksa dia tegar 100%. Dia berupaya sebisa mungkin menutupi kerapuhan yang sempat terjadi. Mungkin karena bukan sentral permainan, tidak terlalu banyak adegan yang menjelaskan secara dalam bagaimana si ibu itu menangani konflik yang terjadi. Ini akan jadi nilai moral tersendiri menurut saya.
Membantu ayah di "dalam" vs berkarya di "luar"
Ini juga konflik yang menarik walau tidak terlalu "terang" asal muasalnya bagaimana. Di sini ceritakan seorang ayah yang kecewa lantaran anaknya lebih memilih berkarya di luar daripada membantu organisasi perusahaan ayahnya. Watak keras sang ayah beradu hantam dengan pendirian keras si anak. Hanya memang, sejauh ini si anak lebih memilih mengiyakan instruksi ayahnya dalam lisan, namun masih curi-curi waktu untuk melanjutkan karyanya di luar. Sebuah cara yang sebetulnya terkesan mengulur konflik, namun ini menjadi "simpul" yang menjadi daya tarik bagi kita untuk melanjutkannya di bagian sekuel.
Sebuah fenomena dalam mengubah diri
Paradoks kerap meliputi kita yang berupaya untuk memperbaiki diri bisa saja hadir dari orang terdekat kita, entah itu suami/istri, orang tua, saudara, atau bahkan teman dekat. Akan sangat mungkin muncul ketidaksetujuan yang mempertaruhkan ikatan kekeluargaan. Tak jarang seorang yang ilmu agamanya semakin mumpuni dan kerap menyeru kebaikan justru mendapati keluarga terdekatnya menolaknya, padahal di saat bersamaan orang-orang lain (yang tidak ada hubungan keluarga) justru menerima seruan tersebut. Barangkali ini pelajaran paling inti dari film ini, yaitu kesabaran dan kesadaran untuk sombong walau telah sukses "hijrah".
Review Ketika Mas Gagah Pergi
Rabu, Februari 03, 2016 by
ve
Posted in
Bioskop
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Review Ketika Mas Gagah Pergi"
Posting Komentar