Himpunan selalu menorehkan inovasi
Seolah tiada surut inspirasi dan aktif sebagai tradisi
Saat masih ada yang belum terpenuhi maka di situ pula selalu ada saja solusi
Walau tiada pasti semarak berselebrasi, namun inovasi senantiasa melayani.
Problema yang kerap dijumpai seorang mahasiswa tentu pelik #ceileh. Baik sebagai mahasiswa tahun pertama, tahun kedua, ketiga, keempat, hingga periode ekstensi, masing-masing punya topik tersendiri dalam bergalau. Ada pula krisis yang senantiasa melekat tanpa peduli tahun keberapa?
Mari kita tengok tantangan yang menggelayuti pikiran tiap tahun.
Tahun pertama, kebingungan tentang benarkah prodi yang saya pilih ini sesuai dengan diri ini. Ibaratnya "gue cocok nggak sih di sini?" Di tahun pertama, intensitas bertemu teman sesama SMA tentu menjadikan "eh, gimana kuliah di situ?". Kalau tahun pertama ini lancar, tentu jawabannya berupa senyuman yang memancar cerah, sebaliknya jika galau tentang salah jurusan bakal menjadikan senyuman datar sambil garuk-garuk kepala. Itu baru tentang hati nurani dalam memilih jurusan. Tantangan lain? Salah satunya nasib rantau. Yups, hampir mayoritas perguruan tinggi diisi oleh mahasiswa yang domisili aslinya bukanlah di sekitar kampus. Bahkan di sejumlah kampus seperti Universitas Telkom, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Hasanuddin, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Institut Teknologi Bandung dll, malah berstatus sebagai lumbung "diaspora" sehingga mahasiswa "lokal"-nya hanya menjadi minoritas. Kehidupan sebagai anak rantau yang jauh menjadikan mahasiswa tahun pertama (dan tahun-tahun berikutnya) rawan terhadap godaan yang menggiurkan dari hedonisme. Belum lagi serba-serbi berbagai rekruitasi "terselubung" untuk menjadi kontestan jamaah ini itu yang yaitulah...
Tahun kedua, boleh jadi kegalauan di tahun pertama masih melanda yaitu per-salahjurusan-an. Namun intensitasnya sudah berkurang, mungkin karena pasrah atau juga terlanjur bersemangat dengan perkuliahan yang ada. Ini juga menjadi kesempatan terakhir mendaftar di beberapa sekolah kedinasan seperti STAN dan STIS. Tapi badai lama mereda dan muncullah badai lanjutannya, yaitu keasyikan di berbagai organisasi kemahasiswaan. Yups, tahun kedua (dan nantinya di tahun ketiga) merupakan periode gemilangnya seorang mahasiswa berkarir di dalam kancah organisasi kemahasiswaan. Ada yang cukup satu, ada juga yang ber-poliorganisasi. Teorinya mudah, ketika ada agenda bersamaan maka pilih yang sedang memerlukan prioritas, namun kenyataannya?? *mengusah keringat* Dari sisi akademik sendiri, tahun kedua merupakan masa transformasi menuju "core" jurusan/program studi. Bagi informatika, tentu santapan malam hingga malam lagi ialah COA, SE, DBS, dan pastinya ADS. Dan kebanyakan tugas dikerjakan secara berkelompok, dari sinilah softskill tentang bekerja sama versus adu ego akan jadi lakon tiap hari.
Di tahun ketiga (bagi S1) merupakan klimaks dalam arti karier di ormawa. Pucuk pimpinan macam ketua, wakil, dan kisaran BPH lazim diemban mahasisw tahun ketiga. Bahkan jabatan koordinator asisten pun identik di generasi tersebut. Dengan kondisi demikian, jelas himpunan dan BEM tidak bisa menutup fakta bahwa mahasiswa di tahun ketiga memerlukan pendidikan yang khusus. Pengelolaan lab dan ormawa ada di pundak mereka, jika hanya membiarkan mereka otodidak atau paling banter belajar dari diskusi dengan seniornya+LPJ maka outputnya tidak jauh-jauh dari orientasi "menambal ban", bukan menggebrak lewat inovasi. Banyak isu strategis yang patut diapungkan, seperti kecerdasan mengambil keputusan, kematangan manajemen waktu, tata kelola administrasi dmbl. Itu baru ditinjau dari keormawaan. Padahal masih ada aspek lain seperti akademik, riset, dan pengabdian masyarakat.
Secara akademik, karakter kejuruan jadi topik yang perlu dikaji. Tentu tidak diharapkan output yang tidak tahu potensinya di bagian mana. Himpunan punya peran besar untuk ikut memberi pencerdasan tentang bagaimana kejuruan di jurusan/prodi tersebut. Masa iya nggak punya info dari dunia kerja ataupun alumni.
Mengenai riset, harus diakui bahwa ini bukan ranah yang sudah lihai dimengerti oleh himpunan dan juga BEM. Bagaimana peran himpunan dan BEM pun kerap kerdil di ranah riset. Alhasil riset tidak menjadi lahan yang disoroti oleh calon ketua himpunan maupun ketua-wakilketua/capres-cawapres BEM.
Himpunan dianggap identik dengan akademik, BEM dengan pengabdian masyarakatnya, dan lab dengan risetnya. Ketiganya seolah yang terpisah dan asyik sendiri-sendiri. Dan tak lupa isu pengabdian masyarakat yang perlu dipantik lagi. Perlu dilakukan kajian tentang seberapa besar (%) partisipasi mahasiswa dalam kegiatan pengmasy. Tahun ketiga tentu sewajarnya si mahasiswa sudah tahu masalah di sekitarnya, sudah tahu potensi di dirinya serta bagaimana mempertemukan dua pengetahuan tersebut.
Di dua hal ini, himpunan (dan BEM juga) patut mengambil peran. Perannya tentu diwujudkan sebagai penggerak yang memberi inspirasi dan pencerdasan di dua hal tersebut, tidak melulu berupa event, namun bisa melalui berbagai bentuk kreatif lainnya.
Itu tadi isu-isu sakral di masing-masing tahun mahasiswa. Lantas apa dan bagaimana himpunan (dan BEM) berperan? Apakah sekedar penggembira? Semua berpulang pada kaderisasi dan kaderisasi yang berwujud apakah
Mari kita ulas di artikel sekuel ketiga ini nanti ^_^
No Response to "Apa Kabar Peran Himpunan [2] dan BEM (juga)"
Posting Komentar