Diskusi kerap identik dengan adu argumentasi dan kesan eksklusif yang hanya bisa diikuti oleh orang-orang "pilihan". Padahal budaya berdiskusi yang "sehat" merupakan indikasi intelektualitas dalam kehidupan kampus.
Mengobrol memang hal yang asyik, saking asyiknya kadang sering lupa waktu, tentunya hanay perlu sedikit pemantik maka terucaplah berbagai ide plus curhat terhadap masalah yang dibahas, entah itu terkait akademik, hobi (misalna prediksi skor pertandingan bola nanti malam), lingkungan masyarakat, hingga urusan negara #ciee Nah, tentu bakal asyik, menarik, dan eksentrik jika obrolan-obrolan tadi menghadirkan sebuah paket berisi menu-menu solutif.
Forum Group Discussion, alias FGD, memang menjadi istilah yang agak asing, padahal intinya mengobrol hanya saja "terarah", lha emang ada gitu obrolan yang terarah? bukannya yang peting enak mengalir? kok dibikin repot sih? Yupss, mulut itu berjarak satu kilan dari otak, namun berjarak 2-3 jari dari hidung, maka wajar saat sesak nafas lebih mengutamakan yang penting ngomong daripada kecerdasa otak..eitssss, kok argumentasinya aneh ya? nggak logis banget... Nah itulah ketika tidak mengedepankan esensi satu pemabahasan maka yang terjadi adalah argumen yang tidak nyambung. Maka perlu suatu pengarahan agar arah obrolan bersifat produktif :)
FGD sebagai medan saling memahami
Beda pendapat dengan orang lain? Ah tentu itu hal yang wajar. Masa iya bisa terus-terusan memiliki ide yang sama? Hehee...
Nah di sinilah peran sebuah budaya berdiskusi yang "sehat" :)
Melalui budaya berdiskusi yang sehat kita dapat mengetahui keragaman berpikir antar-entitas, bahkan individu. Dalam mendiskusikan sebah hal yang krisual dan memberi efek besar bagi banyak entitas, misalnya pandangan dalam kenaikan BBM, pandangan tentang peraturan norma bermasyarakat, pandangan tentang kurikulum, memang lebih gampang ketika hanya mengundang/menyertakan pihak yang cenderng setuju dengna opini kita, yang kayaknya beda pendapat nggak usah diajak. Nah 'kan gampang plus enak tuh...
Eitsss, justru diskusi yang sehat akan terbangn ketika seluruh entitas yang dilibatkan dalam diskusi bersifat lebih luas dan merpakan pihak yang memang berkaitan dengan topik diskusi, urusan beda pendapat itu lain cerita. Memang bakal lebih alot, tapi dari situ segala unek-unek berkaitan dengan topik diskusi akan lebih dapat dipaparkan lebih gamblang, dan boleh jadi berbagai info baru akan diperoleh. Misalnya diskusi mengenai bagaimana arah kurikulum sebuah program studi. Tatkala hanya menghadirkan dosen yang mengajar maka hasil diskusi hanya akan bagus dari sudut pandang dosen. Akan lain cerita saat mahasiswa, alumni yang telah bekerja, perwakilan DIKTI, hingga praktisi bidang terkait jaga diundang. Menyatukan pendapatnya memang sulit, tapi di sinilah medan untuk saling memahami :)
FGD sebagai langkah kematangan berpikir
Ada yang bilang mahasiswa kaum intelektual yang cekatan, walau kata "cekatan" sering berganti menjadi "grusa-grusu" alias tergesa-gesa. Hal ini sering dialamatkan ke mahasiswa karena dalam tempo satu malam sudah bisa merencakan sebuah aksi berwujud demo. Sepintas memang menunjukkan kelihaian dan jam terbang yang keren, namun di sisi lain timbul pertanyaan bahwa apakah rencana ersebut sudah matang, apakah isu yang digusung memang layak didukung/dikontra, atau juga emang itu satu barisan udah kompak apa cuma ikut-ikutan
Melalui diskusi, harusnya mahasiswa dapat meningkatkan kematangan berpikir. Lhe? Emang bisa?
- Pertama menghargai waktu. Label "jam ngaret" sering ditempelkan ke pundak mahasiswa karena ya gitu jam berapa undangannya jam berapa mulainya. Melalui diskusi, maka sudah seharusnya bisa menyadari bahwa berharganya waktu. Semakin matang pula untuk menyadari bahwa yang hadir dalam diskusi juga punya agenda lain, maka jangan mengulur-ulur waktu
- Kedua mempersiapkan agenda dengan baik. Memang cepat identik dengan yang bagus. Namun akan ada saatnya dalam sebuah diskusi disusun agenda yang relevan berupa pembagian sesi dalam berdiskusi. Misalnya di sesi 1 pengumpulan daftar masalah, sesi 2 pengumpulan daftar potensi, sesi 3 permusan solusi tiap masalah, sesi 4 penyusunan agenda penerapan solusi berjangka waktu. Tentu hal ini akan menjadikan kesiapan bertindak lebih matang.
FGD sebagai bekal di "dunia sebenarnya"
Dunia pasca-lulus dihiasi berbagai warna yang beragam. Ada yang berkutat dengan asyiknya ber-entrepreneur, ada yang sibuk membenahi birokrasi, ada yang menggemari riset, ada pula yang menyelami karir sebagai praktisi, ahh...macam-macamlah. Garis besarnya satu, mengoptimalkan peran sebagai makhluk sosial. Makhluk sosial yang senantiasa berinteraksi dengan sesama. Interaksi ini direpresentasikan dalam berbagai aktivitas berkomunikasi. Tentunya komunikasi yang berakaitan dengan bagaimana caranya mengembangkan potensi dan mengatasi permasalahan, baik dalam lingkup organisasi, korporasi, hingga kenegaraan. Dengan demikian, kemampuan berdiskusi secara produktif, ilmiah, dan sistematis merupakan sebuah keahlian yang perlu dibina dari bangku kuliah. Memang bukannya tidak mungkin, namun akan ada kesulitan untuk memecahkan permasalahan lingkungan di sebuah provinsi, jika tidak pernah berdiskusi bagaimana cara memecahkan masalah sampah di kampus. Tentu akan jadi bekal berharga bagi seseorang jika pernah mendiskusikan strategi membangun sistem informasi yang berguna dalam mengatasi masalah keamanan di kampus, kemudian kemampuan tersebut diadopsi untuk memecahkan masalah keamanan di suatu kota. Kemampuan berkomunikasi seperti mengatur emosi, fokus pada topik, dan mempergunakan argumentasi yang relevan, akan jadi bekal untuk memunculkan peran yang optimal dalam bermasyarakat.
Semoga bermanfaat dan selalu terbka untuk masukan, kritik, dan diskusinya :)
No Response to "Yuk Diskusi"
Posting Komentar