Salah satu yang paling saya sukai dari olahraga sepak bola (selain sepakbola, tentunya karate) adalah nilai filosofis yang luar biasa. Dan itu terbukti di akhir musim seluruh kompetisi di Eropa (kecuali di Eropa). Dan kali ini yang akan saya soroti adalah tentang kefanaan. Fana alias ketidakkekalan merupakan hal yang melekat dalam sepakbola.
Perah mendengar istilah "dream team"?
Istilah ini kerap disematkan ke sebuah tim yang berhasil mendominasi sebuah atau beberapa kompetisi dalam durasi waktu yang lama tanpa banyak recokan dari klub lain. Namun di balik kengerian dream team, justru itu merupakan sindiran dari sebuah kenyataan tentang kefanaan. Banyak klub yang pernah menjadi penguasa di segala laga yang dilalui namun tibalah saatnya untuk karam. Malah, bagi beberapa klub, istilah dream team ini agak menjurus ke sindiran bahwa tim saat ini tidak sekeren tim yang jaman dulu.
FC Barcelona sebagai dominator tanah Spanyol, Eropa, hingga dunia dengan torehan 14 trofi dalam 4 musim. Namun dalam dua musim setelahnya hanya meraih dua gelar.
Ajax Amsterdam, penakluk Eropa dari tanah bendungan Belanda yang meraih tiga gelar Piala Champion beruntun di awal 70-an kini nasibnya tidak pernah diunggulkan lolos dari putaran grup tiap musim di Liga Champion.
Real Madrid yang berhasil mengunyah 5 gelar beruntun di era 50-an Piala Champion harus menanti hingga akhir 90-an untuk meraih gelar ke-6-nya.
SS Lazio yang pernah mengemban status klub yang disegani di akhir 90-an dan awal 2000-an dengan raihan 4 trofi dalam kurung waktu 3 musim. Namun kini klub tersebut tercecer di papan tengah Liga Italia.
Siapa yang menolak sejarah bahwa ada klub Inggris yang total gelar UCL-nya hanya bisa diimbangi total gelar UCL klub Inggris lainnya? Klub itu juga baru bisa dilewati rekor jumlah juara Liga Inggris-nya 4 musim lalu. Namun gelar ke-18-nya sudah berusia 2 dekade lebih. Klub itu adalah Liverpool.
Dan ngomong Liga Champion pun kita bakal terbelakak ketika menyaksikan ada banyak klub di daftar juara yang saat ini kita juga bingung menyebut peluang mereka lolos ke babak knock-out alias berstatus medioker, misalnya Crvena Zvezda, Steaua Bucharesti, Aston Villa, Nottingham Forest, Feyenoord. Jangankan kembali menjadi aktor penentu laga final. Mencicipi putaran grup di beberapa musim terakhir saja masih jadi "target".
Persis Solo, penguasa kompetisi perserikatan di Indonesia dengan total 7 juara. Namun musim terakhir berkompetisi di kasta tertinggi sepak bola Indonesia ada di tahun 2007. Malah di era Liga Indonesia sebelum ISL, klub ini tidak pernah lolos ke babak 8 besar.
Siapa yang nggak gentar kalau dengar nama Bandung Raya di era Galatama dan awal Liga Indonesia. Klub yang disebut sebagai Persib-nya Galatama ini merengkuh gelar juara Liga Indonesia pada 1995 alias musim kedua Ligina. Namun di awal Ligina V alias berselang dua musim saja, nama mereka sudah tidak ada di seluruh kompetisi Ligina, kenapa? Bangkrut
Kasus sama menimpa Petrokimia Gresik, sebuah klub yang berada di kota satelit, Gresik. Kebo Giras, demikian julukkan, secara dramatis mengenyam gelar juara Ligina 2002. Tapi di 2004, mereka mengundurkan diri karena problem keuangan.
Pernah mendengar siapa lawan Jerman (Barat) di final Piala Dunia 1954? Silakan cek kapan terakhir kali negara itu lolos ke Piala Dunia dan percayalah bahwa negara itu di sebelum laga final sudah menggelar rekor 32 laga tidak terkalahkan.
Hmmm, ternyata sejarah sudah membukti dengan jelas
Tidak ada yang kekal dalam sepak bola
Dalam hitungan jari, kita bisa kehilangan kejayaan yang kita rangkai dan itu hanya dalam waktu sekejap.
No Response to "Belajar Fana dari Sepak Bola"
Posting Komentar