Jakarta (yang sebenarnya terhitung gabungan 5 kota administratif) berduet dengan Kota Palembang sudah dipastikan menjadi tuan rumah Asian Games 2018. Ada banyak hal-hal menarik yang terjadi di atas kertas dengan penunjukan ini. Pertama adalah sejarah dipilihnya dua kota sekaligus sebagai penyelenggara Asian Games, bahkan kedua kota ini bukan kota yang berdekatan, malah terpisahkan oleh laut, ya Jakarta ada di pelupuk Utara Pulau Jawa, sedangkan Palembang ada di pesisir Timur Pulau Sumatera. Kedua, khusus bagi Jakarta, ini merupakan kali kedua mereka menggelar Asian Games, insyaAllah menyamai New Delhi yang telah menggelar dua kali event serupa, namun masih jauh dari Bangkok yang berkesempatan menghelat empat kali. Ketiga, (di luar Asian Games 2022 di Tiongkok) total kesempatan tuan rumah negara-negara mencapai 7 kali yang artinya menyamai porsi Asia Timur, malah jauh meninggalkan Asia Barat dan Asia Selatan yang hanya masing-masing 2 kali.
Secara pribadi, tanpa bermaksud meremehkan kekokohan infrastrutur Jakarta, lebih berharap Asian Games, serta event multinasional lainnya mulai “digilir” kesempatannya pada kota/kabupaten lain di Indonesia. Sukses Palembang sebagai tuan rumah Asian Games 2011 tentu menjadi bukti bahwa ada potensi untuk mendesentralisasi kesempatan. Negara Jepang, Korea Selatan dan Tiongkok menjadi bukti soheh bahwa kota yang bukan ibu kota pun bisa menggelar event sebesar Asian Games. Memang butuh infrastruktur, SDM, dan pangkal utamanya dana. Untuk jangka pendek (iya jangka pendek karena penunjukan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 2018 bersifat mendadak), tidak ada pilihan yang realistis selain Jakarta dan Palembang. Namun cobalah untuk mengeskalasi potensi kota lain, cara yang cukup konkret adalah memperluas kesempatan menjadi tuan rumah PON kepada provinsi di luar Jawa, Bali, dan Sumatera.
Mengenai persiapan, memang harus diakui waktu yang ada sangat sempit, belum lagi Indonesia sedang berkonsentrasi ke Olimpiade 2016 di Rio de Janerio plus SEA Games 2017 di Kuala Lumpur. PR besar bagi Erick Thohir yang dipercaya sebagai “nahkoda” hajatan besar Asian Games 2018 nanti. Tapi PR terbesar yang patut diwaspadai oleh Erick Thohir terletak pada dua poin. Pertama adalah sejarah kelam kasus korupsi di bidang olahraga yang #ahsudahlah. Kedua adalah status tahun 2018 merupakan tahun “agak rawan” mengingat fokus pemerintah akan direcoki bayang-bayang pemilu tahun 2019, baik legislatif, presiden-wakil presiden, serta kepala daerah. Sekedar informasi, sejak era reformasi, Indonesia belum berpengelaman menggelar hajatan olah raga multinasional setahun atau pada tahun dilakukan pemilu (Piala Asia 2007 dan SEA Games 2011). Semoga tim yang digawangi Erick Thohir bisa “tahan banting” atas tekanan yang bertubi-tubi, khususnya terkait koordinasi. Ya, koordinasi adalah barang mahal di Indonesia.
Masih belum ramai di images.google.com
Urusan atlet juga tidak kalah pusing. Sejarah memperlihatkan hanya dua negara yang berhasil double winner, yaitu sukses sebagai tuan rumah dan juga juara Asian Games. Dua negara itu adalah Jepang di tahun 1958 serta Tiongkok di 1990 dan 2010. Mengingat kedigdayaan negara tersebut saat berstatus non-tuan rumah, agaknya terlalu muluk-muluk jika Indonesia bermimpi menjadi negara ketiga. Sebagai perbandingan, prestasi Indonesia saat menjadi tuan rumah di 1962 adalah peringkat 2 dari 13 negara dan itu adalah prestasi terbaik yang pernah ditorehkan. Malah sejak 1994, peringkat Indonesia akrab dengan dua digit dengan rekor terburuk tahun 2006 di Doha dengan ranking 22. Pemerintah sendiri menargetkan 10-besar. Target yang menurut saya realistis mengingat Indonesia cukup melejit saat berperan sebagai tuan rumah SEA Games. Pertanyaannya, “Bisakah keuntungan sebagai tuan rumah menjadi modal untuk mengeruk medali?”
Klasmen Asian Games 2014 di Incheon lalu
No Response to "Bagaimana Asian Games 2018 yang 3 Tahun lagi?"
Posting Komentar