Di sebuah pagi (6/11) aku menapakai jelujur pantai Tidore. Dawai angin sebagai temanku seusai Subuh menikmati pergantian warna langit hingga kutemukan sebuah dermaga dimana Pulau bernama Maitara kokoh di depan mataku. Menarik untuk menghabiskan pagi di sini. Desir pantai seolah mengajakku bercengkrama, seolah pula menautkanku pada suasana khas alam yang kerap jadi perdu bagi nafasku.
Pagi yang indah belum usai. Tapak demi tapak mengantarkanku ke dermaga penghubung Pulau Ternate dan Tidore. Lima potong beras ketan (yang tidak kutahu apa namanya) menjadi bekal lezat yang menghangatkan perut ini. Makanan pedesaan seperti ini lebih aku gemari, dan memang rasanya lezat. Dari bentuknya, aku menebak ketan ini dibuat dengan cara dikukus dalam bambu dimana di dalam ketan tersebut dibumbui sehingga tidak hambar. Memandangi pelabuhan sembari sarapan seperti masyaAllah nikmatnya :)
Ini dia masjid yang sebenarnya hendak ditapaki semenjak sore (5/12), tapi emang buat arah dan keburu malam, akhirnya esok harinya baru bisa kusinggahi. Atap birunya sangat menarik perhatianku. Dan di beberapa jam kemudian saya menemukan situasi bahwa ada situs-situs spesial yang memang atapnya berwarna biru. Atap ini juga menarik bentuknya karena berwujud limas, bukan kubah. Artinya peleburan budaya Islam yang dibawa dari jazirah Arab diadopsi sesuai kekhasan lokal di Tidore.
Kebetulan bisa Sholat Jumat di sini dan menemukan banyak hal unik yang waaah, baru kali ini saya tahu. Lebih lanjut lagi saya tidak banyak menemukan detailnya di internet ketika hendak menelusurinya sepulang dari Tidore. Hal menarik pertama adalah anjuran (yang mendekati aturan) untuk mengenakan peci bagi laki-laki yang memasuki masjid. Hal kedua yang memantik perhatian saya adalah mimbar khotib yang ditutupi tirai. Dan hal ketiga yang sangat mengundang atensi saya adalah muadzin yang berjumlah 4. Konon dari informasi yang akhirnya saya temukan di internet, jumlah 4 itu merupakan filosofi dari empat daerah di Tidore pada zaman dulu.
Ini adalah Benteng Torre yang dibangun oleh Portugis pada abad ke-16. Lokasinya di bukit belakang istana Kesultanan Tidore sehingga banyak keuntungan strategis. Misalnya mampu memantau dengan nyaman apa yang terjadi di Tidore, baik suasana pelabuhan yang mengarah ke Halmahera, memantau situasi di kerajaan, namun tidak sebaliknya. Untuk menuju ke Bentent Torre, beeeuhhh capeuknyooo. Namun di sini pemandangannya indah masyaAllah.
Ini adalah pemandangan Tidore dari Benteng Tahula yang berada pada sebuah bukit yang persis di pinggir pantai. Dari sini tampak bangungan-bangunan spesial yang beratap biru, yaitu istana Kesultanan Tidore, sebuah museum (yang aduh lupa namanya), serta Masjid Tidore.
Ini adalah perbandingan antara lukisan uang di lembaran Rp 1000,00 dengan wujud aslinya. Memang posisinya tertukar antar Pulau Tidore dengan Pulau Maitara (artinya sudut pengambilannya kemungkinan bukan dari arah Ternate, melainkan Halmahera). Rasanya amaziiiing bisa melihat pemandangan yang memukau ini.
Alhamdulillah :)
Catatan:
Perjalanan Cengkareng ke Ternate (PP) di dalam Ekspedisi ini merupakan paket hadiah dari Garuda Indonesia Airways bekerja sama dengan Magister Teknologi Informasi, Fasilkom UI sebagai bagian dari writing contest e-business.
#ArfiveMalukuUtara
Ekspedisi Ternate: Seuntai Mentari dari Tidore
Selasa, Desember 15, 2015 by
ve
Posted in
Jalan-Jalan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
No Response to "Ekspedisi Ternate: Seuntai Mentari dari Tidore"
Posting Komentar