Kita Butuh Waktu untuk Memahami Kebaikan-Nya

Ada sebuah cerita yang tidak banyak orang tahu. Bahkan mungkin, orang-orang yang saya maksud dalam cerita ini. 

Kisaran bulan yang ada ~ber ~ber di tahun 2007, sebuah kompetisi menggiurkan mulai diperbincangkan (kalau terjadi tahun 2020, tentu jargonnya "lagi viral"). Apanya yang menggiurkan? Karena lima besarnya nanti diganjar tiket masuk sebuah perguruan tinggi. Bagi anak kelas XII SMA, tentu hadiah itu sangat berharga (tahu 'kan ya anak XII itu kegalauannya dua: UN dan memilih kampus). Apalagi, kampus ini salah satu dari target saya. Singkat cerita "seleksi alam" hanya menyisakan tiga orang: dua orang kawan beserta saya. Masing-masing menjalankan berbagai upaya untuk merealisasikan ide, tentunya dengan khas lugunya anak SMA. Sebagaimana biasa menjelang tenggat pengumpulan, tiap sore kami dikumpulkan untuk ritual mengebut bahan lomba (semacam rituro ala klub Serie A). Saya sendiri berhasil menyelesaikan lebih awal dibandingkan dua rekan saya yang memang lebih rigid olah datanya. Atas nama kolektivitas, saya menunggu mereka selesai, bahkan turut berdiskusi. Secara manusiawi, rasa kesal dan toleransi tengah adu dominasi. 

Fatalnya, dua kawan saya ini baru selesai di hari H pengumpulan, lebih spesifik jam 3-an sore. Masalahnya, teknis pengumpulannya adalah versi cetak yang dikirim pos. Hah? Cetak? Pos? Ya iyalah, tahun 2007 itu penetrasi internet di Kabupaten Tegal masih "gersang", pun halnya dengan layanan yang masih bersandar pada jasa pos. Urusan cetak naskah dan segala pernak-pernik baru selesai jam 5 sore dan kisah dramanya justru baru masuk klimaks.

Ternyata kantor pos Slawi sudah tutup dari jam 4 sore. Maka alternatif yang masih mungkin dicoba adalah kantor pos Kota Tegal (yang relatif lebih besar dan sentral). Kebetulan pula kami bertiga tidak ada yang punya motor maupun SIM. Padahal, kantor pos Kota Tegal tidak dilewati kendaraan umum. Pun, kurang etis juga kalau sampai lewat larut malam dua teman saya ini masih di luar rumah. Yang paling realistis adalah saya sendiri yang ke situ. Eh, ndilalah sampai di sana sudah jam 9 malam (karena harus berganti kendaraan umum dan jalan kaki). Jam 9 malam sudah tinggal satpam yang berujar "truknya sudah lewat sekian menit lalu". Nyesek? Tentu? Sudah sampai di sini? Belum...

Besoknya, coba menghubungi panitia meminta kelonggaran dan alhamdulillah diberi, akhirnya langsung ke kantor pos Tegal kembali, itu pun saya sendiri lagi yang ke sana. Hingga kemudian tiba pengumuman finalisnya yang mengecewakan saya, tapi tidak bagi dua kawan saya. Saya tidak lolos, sedangkan mereka melaju ke final. Dan di final nanti mereka diganjar juara 1 dan 3. 

Iya, dua orang yang selesainya "injury time", nitip teman, dan belum berminat kuliah di kampus tersebut justru yang bawa oleh-oleh trofi plus "tiket" masuk kampus tersebut. Lah saya suvernirnya cuma resi bukti kirim untuk reimburse. Kalau kata Abdel, "gw yg jalan-jalan, lu yang jadian"

Sudah bisa menebak perasaan berkecamuk di benak saya kan? Ada rasa bangga, kecewa, senang, cemburu, dan "biasa bae" yang berpadu. Lho, kok ada rasa "biasa bae"? Ya mereka sebelum kompetisi ini juga langganan menang lomba. Butuh waktu dan kesibukan lain (baca: nge-gabut hingga tahu-tahu Maghrib di SMA) untuk mengeliminasi rasa kecewa dan cemburu. 

Selang sekian bulan, saya bulat tidak mendaftar seleksi masuk di kampus itu. Bukan karena dendam, melainkan menemukan jalur yang lebih cocok (walau setahun dua tahun kemudian saya babak belur di kampus pilihan saya). Dan memang, Allah punya pilihan yang terbaik dan itu versi-Nya yang Maha Mengetahui, bukan versi kita yang tidak bisa membedakan mana mampu dan mana mau.

Waktu bergulir, masing-masing dari kami bertiga sudah berkeluarga. Uniknya, dua diantara kami bertemu jodoh di kampus masing-masing. Masing-masing dari kami juga masih di jalur keilmuan sesuai S1-nya. Dan saya juga bersyukur tidak jadi memilih kampus "itu" (kampus yang yang jadi motivasi saya ikut kompetisi tersebut). Ya bayangkan saja, di kampus S1 dulu materi XYZ cuma ketemu 3 SKS di satu semester (mungkin 2-3 bagi yang spesial), eh di kampus "itu" seumur kuliah.

Akhir kata, saya kerap mengingat momen sakit hati itu bukan dalam rangka dendam maupun menjelekkan upaya keras dan berkualitas dua rekan saya. Justru saya mengapresiasi bagaimana mereka mau bekerja keras di bawah tekanan hingga penghujung waktu. Lebih dari itu, saya belajar bahwa kalau memang rezekinya, maka jalur tercapainya ada macam-macam. Boleh jadi, kita ini menjadi "tempat lewat" rezeki kawan/saudara kita. Dan kalau Allah menggariskan itu sebagai rezeki buat mereka, kita harusnya turut bersyukur bisa memberi manfaat walau sekadar numpang lewat. Tujuan saya mengingat momen itu adalah sebagai pelajaran juga bahwa Allah itu punya skenario dahsyat yang baik dari segala penjuru, maka banyak-banyak lah berprasangka baik dan bersyukur.

AG, in Q.14 period (2020.12.17)

No Response to "Kita Butuh Waktu untuk Memahami Kebaikan-Nya"