Sekelumit Momen di Silatnas Forsi Himmpas 2018
Sukses untuk Para Wisudawan Pascasarjana
Kiriman foto dari WAG Pengurus HIMMPAS UI 2018.
Semoga momen ini makin berkah dan memberi inspirasi, termasuk bagi saya yang wisuda paling cepatnya tahun 2020.
Himmpas yang tak Dirindukan
Seseorang yang membeli mie ayam berhak protes jika di mienya tidak ada ayamnya. Tapi belum ada sejarahnya orang membeli lem tikus lalu mengeluh karena tidak ada tikusnya. Kira-kira bagaimana dengan Kawan-Kawan terhadap HIMMPAS UI ini? Termasuk yang mie ayam atau yang lem tikus? Ini bukan sekedar lelucon karena kadang ide ntitas kerap menipu penampilan. Banyak web dengan domainnya nama berbau Islami tapi isinya #AhSudahlah, belum lagi penggunaan gelar 'ustadz'oleh akun di socmed yang isinya membuat kita ingin meng-kamehame-nya. Bagaimana dengan HIMMPAS UI? Dalam hal ini, saya masih optimis mengamati bagaimana nanti output pengurus dan anggota HIMMPAS serta dampaknya bagi UI, bangsa, dan agama.
Perbedaan besar organisasi (baik negara maupun korporasi) antara besar vs kecil ada pada visinya. Visi di sini bukan sekedar tagline kalimat, melainkan jangkauan mereka meneropong. Negara Korea Selatan maju IT-nya bukan karena satu dua malam, tapi perencanaan strategis SI/TI dari era 1980-an. Bahkan mereka sudah berani mengobrolkan roadmap e-government di akhir era 1980-an. Kesuksesan FC Barcelona di era 2010-an adalah buah sekolah sepak bola yang dirintis sejak 1990-an, itulah mengapa hingga kini mereka masih kokoh di blantika sepak bola Eropa. Negara kita pun sebetulnya punya tradisi merencanakan jangka panjang, tidak percaya? Silakan tengok Repelita di era Orde Baru ataupun MP3EI di era Reformasi. Keberlanjutan pertumbuhan itulah yang menjadikan organisasi bisa tumbuh dengan pesat, tidak sekedar berpikir "hari ini makan apa?" Maka belajarlah dari tokoh-tokoh terkemuka yang mampu menggunakan perannya sebagai CxO untuk berpikir jauh ke depan. Maka, coba luangkan waktu untuk merumuskan renstra HIMMPAS UI. Dari sini kita belajar untuk menyiapkan laju pesat sebuah organisasi yang tidak sekedar setahun dua tahun. Bukankah HIMMPAS tidak dirancang di tahun ini dan setahun ke depan saja.
Akhir paragraf di artikel ini adalah persuasi untuk introspeksi. Sebetulnya untuk apa ada Himmpas? Jika mantan Menkominfo pernah nge-tweet "internet cepat 'buat apa'?" dan responnya ramai, maka bayangkan ketua Himmpas UI nge-tweet "Ada @HimmpasUI ada 'buat apa'?" (Jangan lupa follow @HimmpasUI ya gaess), kira ramai tidak ya responnya? Jika ramai, apakah ramai pro, ataukah kontra, ataukah nanya "himmpas itu apa"? Semoga adanya HIMMPAS UI memiliki sebab yang masuk akal, bukan sekedar "karena UGM punya HIMMPAS dan ITB punya KAMIL". Apalagi M kedua adalah Muslim dan PAS-nya adalah Pascasarjana, jelas orang akan banyak bertanya mengapa harus ada organisasi khusus bagi mahasiswa muslim di jenjang pascasarjana.
#AkhirnyaDipublishJuga
Inspirasi 3 Peneliti "muda" Indonesia
Sebuah talkshow penuh inspirasi kembali dihelat oleh HIMMPAS UI pada Sabtu lalu (14/2) dengan topik Sumbangsih Ilmuwan Muda untuk Indonesia. Topik yang sepintas berat, padahal sebetulnya ya memang lebih berat. Hanya saja Allah mengirimkan bantuan-Nya berupa pembicara-pembicara yang berkompeten sehingga banyak petuah positif yang kami dapatkah melalui mereka. Sosok M. Ali Berawi, Ph.D (Direktur PRDM UI 2015, dosen Fak. Teknik UI), Radyum Ikono, M.Eng (COO Nano Center Indonesia), dan Rully Prassetya, MPP, M.Sc. (ekonom di IMF Indonesia) menyuguhkan sisi pandang yang berbeda namun mengarah kepada persuasi yang sama, yaitu menjadi diri ini berarti bagi Indonesia sesuai kapasitas masing-masing.
Sosok Pak Ali Berawi, sepintas mirip walkot BDG, memang tampak gahar khas orang Teknik, hanya saja beliau mampu memberikan pemahaman tentang dunia riset, khususnya bagaimana mengelola motivasi. Tentu hal ini sangat bermanfaat mengingat riset bukanlah bidang kerja favorit dan juga tidak menjanji popularitas maupun material. Diingatkan pula kita mengenai keharusan untuk mengubah pola pikir kita yang gemar mencari akar masalah tapi hanya berujung pada mencari siapa yang salah, padahal yang diperlukan adalah solusi dan itu adalah "pekerjaan" yang harus berani kita ambil jika ingin memberikan manfaat bagi sekitar. Beliau sempat menyinggung bahwa peneliti itu boleh saja (mengalami) salah, namun harus jujur. Jelas pernyataan yang tegas bahwa seberapapun pencapaian riset kita, akan sangat mungkin akan ada unsur kecacatan, baik itu teknis maupun konseptual, namun jangan pernah mengingkari kejujuran dalam menjalankan penelitian tersebut. Sebuah petuah klasik juga beliau singgung mengenai kesungguhan membaca, yang ironisnya menjadi alasan "sejuta umat" untuk kurang berkembang. Beliau menyodorkan kisah beliau yang tidak serta merta melahap sekian banyak jurnal dalam waktu singkat, semua itu ada tahapan yang meningkat dijalaninya. Lebih jauh lagi, beliau menyodorkan pula beberapa hal-hal manis yang menjadi "hilir" dari kesungguhan kita dalam menjalankan riset. Sebuah kesempatan berbagai pengalaman yang menggugah dari sosok yang sangat pakar di dunia riset.
Sharing Pak Radyum Ikono juga tak kalah menarik, bahkan dari kemunculan beliau yang mengenakan kaos oblong pun sudah cukup memancing ketertarikan, "cerita dan gaya bercerita apa yang akan disampaikan?". Berbekal gelar sarjana dan magister dari luar negeri ternyata tidak membuat beliau congkak dalam memandang permasalahan Indonesia. Dia berani mengambil peran dalam dunia riset di Indonesia dengan menempatkan dirinya sebagai "research-entrepreneur". Heh? Apaan tuh? Beliau menyebutnya istilah itu sebagai gambaran atas apa yang saat ini dia geluti, yaitu mengindustrikan hasil penelitian di perusahaannya. Saya menangkap bahwa beliau jeli membaca ekosistem riset di Indonesia yang kurang terjembatani di dunia industri, yang pada kenyataannya membuat banyak ilmuwan lokal hijrah ke negara lain agar bisa mempertahankan otaknya bisa bermanfaat. Riset dan industri seolah-olah kurang terjembatani. Jataban sebagai COO menuntut dirinya tidak hanya piawai mengelola intisari riset, namun juga "mengirimkan" produk risetnya ke pasar yang sesuai. Di sinilah dirinya menemui tantangan yang beragam, terutama dari apresiasi terhadap hasil penelitian yang masih kurang. Tertarik melihat kegigihannya yang masih berkobar khas anak muda.
Setelah menyimak moderasinya di Talkshow MEA November lalu, kali ini Pak Rully Prassetya (yang ternyata kelahiran 1990 hahhh??) menghadirkan cakrawala berbeda tentang menggapai cita-cita. Sebelumnya, Pak Banu saat sambutan memberikan bocoran gradasi prestasi Pak Rully sebelum masuk dengan setelah masuk UI. Anak rantau dari daratan Minang yang menyadari bahwa potensinya ada di dunia ekonomi, namun harus berhadapan dengan keterbatasan kapabilitas berbahasa Inggris saat diterima di UI. Tapi di tahun ketiga dia justru dikirim ke Amerika untuk sebuah misi akademik. Artinya, ada proses yang "spesial" pada beliau, dan itu adalah kerja saat alias keuletan. Berawal dari kelemahan, dirinya justru mampu menjadi Bahasa Inggris sebagai keunggulannya dan kemudian mampu menggapai double degree di perguruan tinggi luar negeri, salah satunya adalah magister kebijakan publik dan kini menjadi tim riset di IMF Indonesia (setelah sebelumnya di ERIA). Dibandingkan sosok Pak Ali Berawi dan Pak Radyum Ikono yang jebolan kampus S1 luar negeri, sosok Pak Rully jelas lebih "lokal" sebagai alumnus UI, hehee. Maka tidak heran banyak audien (yang mayoritas mahasiswa UI) mengajaknya berdiskusi pascaacara, untuk menggali bagaimana beliau ber-"revolusi".Inspirasi yang "menggugah", nah kalau udah "bangun" artinya waktunya untuk bergerak, bukan sekedar mendiami mimpi hehee
Sharing with ProfFiz
alhamdulillah, hari ini saya dan kawan2 HIMMPAS UI mndapat kesempatan berharga berkunjung kepada salah satu peraih gelar profesor termuda di Indonesia. Prof. Firmanzah. Kami di Management UI akrab memanggil bliau dengan sebutan Prof. Fiz.
Pada kami panjang lebar Prof. Fiz membagi pngalamannya. bagaimana beliau dapat meraih gelar profesornya diumur 34 tahun dan menjadi dekan FE UI diumur 31 tahun.well... this is it... check it out #SharingProfFiz
Nah.. Bgitulah anak Muda. masa kita masih cukup pnjang. tingkatkan kompetensi kita, kapasitas diri kita. agar kita punya gaung di mata dunia. Baiklah sekian dulu #SharingProfFiz kali ini. doakan HIMMPAS UI semakin berjaya kedepan agar bisa mmbagi inspirasi dari tokoh2 inspiratif lainnya. Wassalamwrwb.By Detha A. Fajri
- jangan malas untuk bernegosiasi terhadap hal-hal yang mengancam keberlangsungan impian kita
- jangan terlalu "kaku" pada aturan (kalau jadi birokrat), bisa jadi orang yang kita longgarkan aturannya akan menjadi sosok yang mampu menabur banyak manfaat
Berorganisasi di Lingkungan S2
S2 alias jenjang magister merupakan salah satu tahap di pendidikan tinggi yang relatif "pendek". Masa studi S2 dirancang untuk ditempuh selama 4 semester. Tentu hampir dua kali lipat lebih singkat dibandingkan sarjana (8 semester) ataupun doktor (8 semester). Maka tidak heran bahwa lingkungan S2 sangat gersang berorganisasi. Memang sepintas kredit atau SKS yang harus ditunaikan berkisar pada 12 SKS per semester alias 4-6 mata kuliah yang artinya ada 12 x 50 s.d. 60 menit alias 600 s.d. 720 menit (dibulatkan menjadi 10 s.d. 12 jam) tiap pekannya. Di atas kertas, jenjang S2 jelas lebih luang waktu kuliahnya dibandingkan S1 yang rata-rata menghabiskan 20 SKS tiap semesternya. Namun ada banyak faktor yang mendorong kegersangan iklim berorganisasi di lingkungan S2.
- Masa studi pendek
- Kenyang berorganisasi
- Fokus di dunia kerja
- Sudah berkeluarga
- Target studi lebih tinggi
- Biaya kuliah yang lebih mahal
- Penugasan di luar jam perkuliahan sangat banyak
- Sangat jarang organisasi kemahasiswaan yang "akrab" dengan S2
Sebenarnya ada banyak kesempatan bagi mahasiswa S2 untuk bergabung membaktikan waktunya di berbagai organisasi dengan berbagai tujuan yang tentunya menjadi kewajaran sebagai manusia. Mungkin motifnya untuk melebarkan koneksi, mengeksplorasi minat dan bakat, mengisi waktu luang, hingga kebutuhan administrasi borang tertentu, dll. Semua itu pada akhirnya patut untuk tetap dinyalakan nuansa ibadah kepada Allah SWT. Secara umum, afiliasi organisasi bagi mahasiswa S2 dapat dibagi menjadi dua, yaitu organisasi non-kemahasiswaan serta organisasi kemahasiswaan. Contoh organisasi non-kemahasiswaan misalnya ikut bergabung di dalam PMI Chapter Indonesia (Project Management Institute), partai XYZ, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Indonesia Berkebun, LSM, dll, dimana identitas keanggotannya tidak dibatasi oleh kesamaan sebagai mahasiswa. Contoh organisasi kemahasiswaan yang dimaksud di sini dapat diambil contoh misalnya HIMMPAS (Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana) Universitas Indonesia, KAMIL ITB, Himpunan Mahasiswa Pascasarjana FKM UI, atau bisa pula organisasi kemahasiswaan lainnya yang membuka keanggotaannya kepada seluruh strata, baik diploma/vokasi, sarjana, hingga magister. Di sini sedikit berbagai mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan apabila hendak bergabung dengan organisasi dalam menjalankan kewajiban perkuliahan di S2.
Profil apa yang diharapkan setelah bergabung di organisasi tersebut?
Tentu mahasiswa S2 (dengan rentang usia 21 tahun ke atas) memiliki pemikiran yang berbeda kematangannya dengan mahasiswa diploma/vokasi dengan sarjana. Bergabung di sebuah organisasi harus memperhatikan orientasi berupa output pada diri ini apa yang diharapkan setelah bergabung. Apakah mampu memperoleh koneksi yang lebih luas? Apakah memiliki kemampuan hardskill dan softskill yang lebih mumpuni? Apakah hobi tersalurkan?
Pengaturan prioritas
Bagi yang multi-asking alias memiliki amanat di berbagai tempat, misalnya kuliah tentu, kerja juga, berkeluarga alhamdulillah, maka patut disusun skala prioritas. Perhatikan manajemen risiko yang sangat mungkin terjadi apabila menjalankan multi-asking, apalagi terkait konflik kepentingan yang mungkin terjadi.
Ketersediaan waktu
Tentu bergabungnya kita tidak diharapkan sekedar menambah tuple dalam database keanggotaan. Maka, coba cari tahu ketersediaan waktu yang realistis. Apakah memang harus bergabung di organisasi tersebut? Ataukah masih ada kemungkinan berkembang di tempat lain yang lebih memungkinkan penyediaan waktunya.
Manfaat GSM: Studi kasus TransformASEAN
Salah satu tantangan dalam bekerja di dalam sebuah tim untuk menghasilkan berbagai produk desain adalah integritas. Maksud integritas adalah keterkaitan satu item dengan item lainnya.Perlu ada kerangka acuan yang menjadi sandaran hati #ehsalah sandaran yang mewakili semangat apa yang digusung oleh garis besar/seluruh desain yang dihasilkan. Di sinilah peran GSM alias Graphic Standard Manual. Tidak perlu GSM yang sangat rinci yang menyedot jutaan rupiah melalui konsultan. GSM yang dibuat hanya sesuai kebutuhan yang ada.
Pengalaman sangat berharga dalam menyatukan otak tiga orang desainer di kepanitiaan TransformASEAN ini. Di sini peran GSM sangat terasa mengingat perbedaan latar belakang, kebiasaan mendesain, selera desain, ya intinya cara pikir dan aplikasi yang digunakan pun berbeda. Dengan jumlah item yang mesti dibuat mulai dari publikasi tiap acara, IDcard, baligo, spanduk, sertifikat, dll, jelas harus ada pembagian tugas. Nah untuk meminimalkan perbedaan hasil desain yang tidak nyambung, maka GSM harus di awal. Di acara ini, GSM yang dibuat tidak muluk, hanya menyinggung tentang kesan apa yang ingin dibangun, jenis huruf, warna khas, hingga pita khas acara TransformASEAN. Hasilnya memang jauh dari sempurna, tapi efektif menghindari bias dalam membuat desain.
#PernahNgedesain Daftar Pengurus HIMMPAS UI 2015
Ini merupakan salah satu desain paling lawas di awal kepengurusan HIMMPAS UI yang saat itu masih dini-dininya. Desain ini bingung saya sebut apa. Apakah organigram? Apakah pengumuman hasil rekrutmen pengurus HIMMPAS? Apakah apa-apa? Kebetulan pula sejak ditayangkan di "temu perdana" belum ada pembaruan ataupun penyesuaian ulang desain. Dengan demikian, saya hanya menyebutnya sebagai daftar pengurus yang "tidak pernah diselesaikan". Harapannya, ada perbaikan besar-besar sehingga di company profile HIMMPAS pengurusan berikutnya bentuknya lebih terdefinisi.
Ikonik Komponen di dalam Kepengurusan
Ini bukan hal yang baru dalam sebuah organisasi untuk membuat logo tematik yang berupa ikon tertentu mewakili area kerja divisi/departemen/bidang. Hal ini juga coba saya kemukakan lewat 8 ikonik dengan maksud masing-masing. Ada kompas bagi Ketua, gerigi (lambang motorik) bagi Kesekjenan, lembaran uang bagi KFr, bola lampu bagi PSDM, percakapan bagi Humin, globe bagi Akpro, buku bagi StarBag, senyawa bagi Korfak.
Warna Tematik
Agak sulit menentukan 8 warna yang mudah dikenali perbedaannya serta mampu dibaca dengan latar belakang cerah. Sejujurnya hanya 3 warna yang punya filosofi, lainnya tidak ada pertimbangan khusus selain keterbacaan dan keunikan. 3 warna yang dimaksud adalah biru bagi Ketua (khas HIMMPAS UI), hijau muda bagi KFr (khas mmm, gimana ya bilangnya ya? ya juru uang itu identik warna ijo), oranye bagi PSDM (melambangkan keceriaan yang dinamis anak muda). Jika Kawan-Kawa cermat, ada dua kubu yang terbangun hasil dari pewarnaan ini, yaitu warna hangat di kiri dan warna kalem di kanan. Ini tidak ada maksud politis, namun dipengaruhi faktor estetika agar lebih selaras.
Penulisan Identitas Nama Tiap Bidang
Ini yang paaaling susah dan memakan waktu berjam-jam (karena emang gw-nya cupuu). Tantangan untuk menyusun letak nama-nama tiap pengurus sesuai bidangnya. Awalnya semua nama dibuat dalam bentuk kotak berlatar belakang sesuai warna khas tiap bidang dan warna huruf putih. Tapi hasilnya kacau ramai macam kapal pecah. Selain itu white space yang tersisa sangat kecil. Alhasil diubahlah modelnya menjadi hanya huruf dengan warna sesuai bidang tanpa latar belakang. Hasilnya lebih rapi dan membuat white space yang nyaman. Walau demikian, model kotak saya pertahankan untuk koordinator tiap divisi. Bayangan saya ini akan lebih hemat daripada menuliskan "Koordinator:". Alhamdulillah perbedaan bentuk ini bisa langsung dikenali sebagai koordinator.
Latar Gradasi Lebar
Ada empat warna selaras yang sebenarnya masih bisa dihitung sebagai satu palet, yaitu warna kuning pupus. Ini menjadi permainan warna yang meningatka pada khasnya UI namun dalam suasana kalem. Tentu perlu dipilih kuning yang kalem agar tidak "berantem" dengan warna objek-objek di atasnya.
PR
- Komponen yang paling "ngambang" di situ adalah Korfak. Sulit untuk melengkapi kekurangan pada komponen ini. Alasannya ada dua. Pertama space yang tersisa susah sempit. Korfak juga menjadi pengurus melalui bidang lainnya, agak susah menentukan apakah akan menulis nama orang dua kali ataukah diberi panah. :(
- Menyusun penggunaan ikonik merupakan hal yang juga menjadi lahan eksplorasi kreativitas. Sayang banget kalau nggak dimanfaatkan.
Semoga menginspirasi
#PernahNgedesain The Next Indonesia
Alhamdulillah akhirnya bisa dengan (penuh) kebanggaan bisa menyaksikan hasil imajinasi yang terwujud. Pertama-tama, ini bukan promosi buku, itu bukan jobdesc ataupun kemahiran saya. Di sini, saya bercerita ceria tentang proses kreatif di dalam mendesain buku ini. Setelah pembuatan desain buku ini usai, rasanya sungguh campur aduk, antara sumringah, lega, kurang puas (hehee), dan pastinya bersyukur. Mengenai proses pembuatan desain cover sedikit berbagi cerita. Harapannya bisa memberi inspirasi bagi Kawan-Kawan dalam lebih bersemangat membuat desain-desain yang kece.
Desain cover ini terinspirasi dari sebuah katalog sebuah vendor perhiasan (yang saya nggak tahu apa merk-nya) berupa kotak-kotak diagonal yang sangat full color. Inspirasi tersebut memacu saya membuat paduan ide yang mengedepankan unsur simpel dan elegan (sesuai permintaan PM, ZCA) disintesiskan dengan unsur potret masa lalu, kini, dan depan Indonesia (cerminan substansi buku ini). Kemudian sintesis ini menghasilkan ide besar yang saya bagi menjadi dua, yaitu latar depan dan latar belakang.
Latar belakang berupa deretan foto-foto yang berbentuk kotak diagonal yang "dibungkus" layar benderang merah-putih. Layar ini diberi efek transparan serta ditata diagonal. Efek transparan ini menjadikan foto-foto di belakangnya tetap terlihat namun lebih "adem" serta tidak saling beradu warna. Tatan diagonal ini akan menjadi ciri khas latar belakang.
Latar depan terdiri atas dua bagian utama, yaitu sekelompok foto utama yang membentuk hati serta tulisan "the next INDONESIA". Foto utama berbentuk hati ini menjadi representasi kecintaan terhadap Indonesia dengan menyimpan berbagai peristiwa (bersejarah maupun teraktual) dimana kita harus menjadi solusi. Kumpulan foto ini sebenarnya bagian dari kumpulan foto pada latar belakang yang saya "kirim" ke depan serta diwarnai dengan aslinya. Tulisan "the next" diwarnai abu-abu sebagai perlambang misteriusnya masa depan. Sementara itu tulisan "INDONESIA" berwarna merah tentu mewakili kebanggaan akan negara ini serta menjadi kekuatan sebagai titik perhatian utama cover ini.
Semoga menginpirasi :)
#PernahNgedesain Poster TalkshowMEA
Awalnya hanya ada dua kata kunci untuk desain poster tersebut, yaitu hijau (warna khas untuk sub-event Talkshow) dan sederhana (spirit desain yang melekat di acara ini). Permasalahan yang timbul adalah bagaimana membuat desain yang langsung "nendang" dan dikenali bahwa itu adalah acara yang spesial. Mengenai konten acara berupa talkshow yang membahas Masyarakat Ekonomi ASEAN, jelas tidak bisa dibilang membuat orang "ngiler" untuk datang. Daya tariknya mau tidak mau ada pada sosok pembicara. Dengan demikian ada kebutuhan untuk menayangkan profil pembicara sebagai points of interest. Alhamdulillah muncul gagasan penuh inspirasi dari masa lalu #ciee #masalalu #ihirr
Inspirasi tentang desain tersebut datang desain Portal Indonesia Kreatif di subdomain News (news.indonesiakreatif.net) yang versi mobile. Hmm, kebetulan ini ngetiknya di laptop bukan HP, jadi nggak screenshot dan mending dateng ke TKP saja gaess buat lihat desain web kece dari mas Ade Krisnadi (nulis jenenge leres mboten mas?). Konsep desainnya ringkas, yaitu membagi media ke sejumlah grid lalu memasangkan sebuah grid yang akan diisi gambar dengan sebuah grid lainnya yang berisi deskripsi. Untuk menghubungkan pasangan tersebut, digunakan bentuk segitiga sebagai penyederhanaan panah sehingga mata akan "terhipnotis" untuk mengerti gambar ini tulisannya yang mana.
Dengan konsep desain yang saya pun nggak tahu apa namanya, akhirnya saya kebut di tengah sempitnya waktu kerja dan tidur (ama tentunya kontak2 jarak jauh ama istri :) ). Pertanyaan yang langsung menghantui saya untuk menerapkan desain ini adalah bagaimana membuat pasangan antara gambar pembicara dengan deskripsi beliau? Mengingat konten di poster ini sangat banyak, maka saya hanya punya dua pilihan, diseragamkan berpasangan secara vertikal atau horizontal. Nah, masalahnya jumlah grid yang dibuat ganjil. Maka dengan mengelompokkan posisi tiap narasumber akhirnya diperoleh pembicara utama dan tiap topik dibuat pasangannya secara horizontal, sedangkan moderator vertikal. Kenapa didominasi horizontal? Karena mata manusia cenderung mencerna informasi secara horizontal. Pada poin ini saya tidak bisa patuh terhadap aturan-aturan yang njelimet. Mau tidak mau perlu penyesuaian di media desain.
Untuk warna, saya bersyukur sudah membuat GSM (graphic standard manual) yang juga memuat warna-warna utama di acara ini. Alhasil saya bisa bermain warna dengan lebih terarah. Di sini, ketelitian bermain warna menjadi perhatian saya mengingat warna menjadi daya tarik yang pertama untuk dibaca orang (walau bukan yang utama), layout, font, dll itu nomor kemudian.
Lagi-lagi ciri khas saya dalam mendesain saya "curhat"-kan di sini, yaitu konsep asimetris, hanya saja nggak terlalu ekstrim. Permainan layout asimetris saya lakukan dengan menggabungkan 2-3 kotak menjadi satu kotak baru tapi letaknya nggak di tengah, namun pinggir. Alhamdulillah hasilnya lebih dinamis :)
RIlis juga The Next Indonesia
Desain buku ini mulai dari halaman pertama s.d. halaman terakhir, kecuali sampul dalam, merupakan konsep yang sangat panjang prosesnya. Butuh negosiasi sana-sini untuk mengompromikan gagasan yang ada di kepala. Segala patokan seperti "elegan", "sederhana", dll, sifatnya kualitatif, dan (as you know) sangat imajinatif dan "debatable" bagi orang kuantitatif macam saya. Himpitan waktu di tengah urusan kerja dan juga keluarga sangat mempengaruhi konsentrasi dan kenyamanan saya. Tapi pada akhirnya zona tidak nyaman itulah yang menjadi "kursi" bagi saya untuk menuangkan ramuan ide kreatif yang sangat tidak memuaskan dan tidak sempurna. But, i'm proud :)
Mengenai tulisan yang terletak di penghujung buku ini, saya merasa sangat banyak kekurangan karena memang jam terbang saya yang kalah jauh dibandingkan penulis-penulis lainnya. Modal saya hanya dua: (1) data yang bisa intepretasikan, serta (2) semangat menuntaskan keinginan bisa menulis. Memang akan menimbulkan kerancuan mengingat latar belakang ilmu komputer tapi malah menulis ekonomi kreatif. Apakah ilmu komputer terlalu gersang untuk digarap? Tentu tidak, namun dari hasil riset dan corat-coret, situasi ekonomi kreatif lebih memungkinkan dieksplorasi dalam keterbatasan waktu menulis.
Akhirnya, terima kasih atas bantuan semua ciptaan-Nya, baik yang bernyawa ataupun tidak bernyawa (hardware dan software) selama proses pembuatan buku ini.
Semoga menjadi sumber amalan hingga hari akhir nanti :)
Alhamdulillah Diganjar 2
Belajar dari Sebuah "Panggilan"
Dua hari yang lalu, ada peristiwa unik ketika membuka sebuah akun WA, tepatnya kabar seorang guru besar UI dari Fakultas Ilmu Budaya. Beliau adalah prof. Benny Hoed. Nama ini terus terang baru saya kenal kurang dari sepekan saat saya mengerjakan sebuah proyek penulisan buku di HIMMPAS UI. Nama beliau terus terang unik, nama depan mengingatkan saya pada sosok spesial MTI Fasilkom UI, sedangkan nama belakangnya persis dengan seorang musisi tenar di tanah air, yaitu Anto Hoed (yang ternyata putra beliau).
Berdasarkan pemaparan PM proyek ini, Bang Zai, tulisan yang dikirimkan ke proyek ini (boleh jadi) merupakan tulisan terakhir beliau. Dan jika menengok profil beliau di berbagai laman web, sungguh sangat panjang track record dan karya-karyanya.
Lalu saya berpikir bahwa, ada dua makna dalam berkarya, yaitu makna formal dan makna realitas. Makna formal merupakan nilai suatu karya yang secara singkat menjadi torehan di curiculum vitae, sifatnya seremonial. Apakah penting? Tentu saja karena sifatnya terukur alias kuantitatif, memudahkan manusia (yang terbatas kemampuan menghitungnya) untuk mencermati posisi berkaryanya seseorang. Makna kedua adalah makna realitas, yaitu nilai sebuah karya dari sisi kebermanfaatannya secara konkret. Sifatnya abstrak, tidak bisa diukur, namun sangat mungkin tumbuh. Makna kedua ini merupakan kontribusi yang sifatnya memberikan dampak.
Secara pribadi, saya melihat bahwa makna kedua tersebut lebih berjangka panjang dan malah menjadi "kiriman pulsa" berupa amalan yang terus mengalir walaupun kita telah meninggal. Sedangkan track record di CV tentu akan berakhir fungsi rekamnya.
Dalam hal ini saya berdoa semoga sosok beliau yang memiliki kontribusi banyak bagi ilmu pengetahuan di Indonesia dapat terus memberikan manfaat dan manfaat atas kontribusi beliau terus mengalir. Bagi kita tentu saja semoga bisa mengambil hikmahnya :)
Salute to you SIP2015committee
Bangga dengan kerja keras kalian :)
Sampai jumpa di Sesi 2 #SekolahIlmiahPascasarjana 2015