Seusai menyimak tayangan (versi ulang) ILC tentang insiden pesawat, saya tertarik pada sebuah dugaan mengapa pesawat baru kok mengalami kecelakaan, yaitu keterbiasaan pilot/ko-pilot/teknisi terhadap si pesawat baru. Dugaan ini terkait dengan isu user-friendly pada ranah Interaksi Manusia-Komputer (Human-Computer Interaction). Apakah mungkin desain aplikasi di kokpit ikut berpengaruh dalam pengambilan keputusan si pilot/ko-pilot?
Tentu bukan hal yang mudah menyusun desain interaksi yang memuat berbagai informasi kritis dan rumit, sedangkan prinsip 'simplicity' perlu diperhatikan oleh desainer. Desainer perlu mengestimasi kondisi darurat yang menuntut pilot/ko-pilot berpikir cepat dengan berbagai macam statistik pada kokpitnya dalam satuan detik dengan taruhan nyawa penumpang.
Adakah Unsur TI dalam Insiden JT610?
Tentang Bukittinggi: Ibu Kota Darurat Indonesia
Istora
Bentuk atapnya #istorasenayan itu seolah mengingatkan kita pada naik turunnya prestasi bulutangkis Indonesia. Anggap saja hanya kebetulan, karena optimislah ke depannya akan lebih baik. #asianparagames2018
Momen Pembuktian Keadlian PSSI
Protes keras dilancarkan Persib Bandung beserta para pendukungnya pasca-vonis yang diumumkan oleh Komisi Disiplin terkait laga Persib vs Persija lalu. Ada dua jenis sanksi, yaitu sanksi atas konflik fisik para pemain di lapangan serta sanksi atas insiden pengeroyokan suporter lain oleh 'oknum' pendukung Persib. Mengenai sanksi terkait 'ulah' para pemain, saya tidak ingin mengupas lebih lanjut. Saya hanya bisa berkomentar bahwa sanksi yang dijatuhkan berbarengan dengan sanksi atas penyeroyokan sehingga memang mengesankan ada 'penggembosan' di dalam lapangan dan di luar lapangan. Padahal, jika menyoroti snaksi atas penyerokan, justru bentuk sanksi yang diterima masih dalam ambang wajar. Istilahnya, memang dasar apes ada sanksi untuk kasus lain yang membuat keduanya bercampur.
Tanpa menunggu selang lama setelah skorsing kompetisi dicabut, aksi tidak kalah sembrono malah ditunjukkan 'oknum' pendukung Arema. Nyanian rasis, provokasi langsung ke pemain lawan di tengah lapangan, masuk ke tengah lapangan persis seusai pertandingan, dan yang paling parah adalah aksi menyobek bendera dengan logo klub lawan. Tindakan yang jelas-jelas menunjukkan ketidaksanggupan si pelaku memakai otaknya. Sepintas memang tidak ada korban jiwa, tapi apa yang sudah dilakukan jelas-jelas membakar bara permusuhan kedua pihak pendukung. Saya yakin, jika yang bersangkutan tidak 'diamankan' oleh pemain Arema maka bisa saja dihajar langsung oleh aparat. Tidak terbayang apa yang terjadi bila di stadion itu ada pendukung Persebaya, bisa terjadi kerusuhan massal.
Insiden sembrono tersebut kini menjadi momen pembuktian keadilan PSSI dalam menangani permasalahan pendukung. Saya sepakat sanksi yang diberikan kepada Persib juga dijatuhkan kepada Arema, termasuk larangan ditonton oleh pendukungnya, melakoni laga kandang di luar Pulau Jawa, sanksi administrasi kepada panpel [yang kecolongan], hingga sanksi larangan masuk stadion kepada individu si oknum. Tidak ada korban jiwa tidak berarti sanksi cukup yang ringan-ringan saja.
Ironi Pengungkapan Kasus Hoaks
Terkait foto aksi turun tangan sebuah organisasi yang mendadak disebut-sebut hoaks oleh salah satu lembaga negara, saya hanya ingin mengingatkan sebuah kasus yang tidak lama.
Ada satu kasus video pengeroyokan yang "ditambahi" kalimat sebuah agama. Setelah disebar seseorang dan membuat ricuh, ternyata video tersebut hoaks. Sampai saat ini tidak ada penindakan terhadap seseorang tersebut.
Ya sudah, itu saja...
Kita Masih Berduka
Ancaman dan Gugatan
Di beberapa grup sedang ramai membahas tentang regulasi BPJS terkait rujukan dari faskes ke tipe rumah sakitnya. Entah apakah kebijakan tersebut dilatarbelakangi apa. Mungkin untuk memperbaiki model bisnis BPJS yang beberapa kali defisit, mungkin sebagai momentum meningkatkan kualitas dan pemerataan fasilitas kesehatan dan rumah sakit yang selama ini "kurang dilirik".
Saya membayangkan sungguh beratnya tanggung jawab yang harus dipikul para pejabat yang menetapkan kebijakan tsb. Bagaimana ternyata kebijakan tsb membuat susah orang yang sedang sakit plus kurang mampu finansialnya? Bagaimana jika kebijakan tsb menyebabkan dampak-dampak negatif lantaran birokrasi ini itu? Ada banyak "gugatan" yang mengintai seseorang di akhirat jika kebijakan yang dibuat ternyata merugikan orang lain. Termasuk "gugatan" kepada para "pembisik" kebijakan tersebut (kadang ada juga pejabat yang tahu-tahu disodorin draft hampir jadi tinggal tanda tangan, malah tidak dibaca seksama)
Terik Pagi Menuju Siang di #AsianGames2018
Kilas Balik GBK di fX Sudirman
Satu Harmoni Nirkubu untuk Indonesia
"Foto dari Laily Rachev, Biro Pers dan Media Istana"
Kalimat tersebut sebagai pengakuan dan wujud etika karena artikel ini memakai hasil potret orang lain. Selain kalimat itu, saya rasa tidak perlu deskripsi lebih lanjut.
Indonesia 73 tahun
"Siapa kita?" "INDONESIA"
"Siapa kita?" "INDONESIA"
18th Asian Games in 18.8.18
Upacara pembukaan yang sangat keren. Kolaborasi tradisional dan modern. Sineegi antara sakral, syahdu, riuh, garang, dan segala rupa. Salut kepada penyelenggara dan pengisi acara.
Meetup with Product Manager on Fintech
Nasionalisme yang kok Lucu
Sepak bola Indonesia kembali menyoroti pola pikir ketua PSSI. Pertama kali dalam sejarah Indonesia, seorang ketua PSSI bermaksud memagari pemain Indonesia agar tidak mengadu nasib ke negeri tetangga. Alasannya terus terang agak mengada-ada dan sebetulnya pun kurang masuk di akal. Dalam salah satu kesempatan, beliau menegaskan bahwa akan ada sanksi berupa pencoretan bagi pemain yang nekat bermain di luar negeri. Frase 'pengkhianat bangsa' pun sempat terlontar sebagai intepretasi jika ada pembangkangan atas keputusan beliau. Tentu saja ini kita sedang membicarakan kasus transfer Ilham Udin Armain dan Evan Dimas Darmono. Saya berpikir bahwa ada yang lucu dari pola pikir ini.
Jelas sebuah keputusan yang aneh ketika menyangkut pautkan nasionalisme dengan bermain di luar negeri. Bisa dibayangkan berapa banyaknya pemain Brazil dan Argentina yang tidak nasionalis jika kit amemakai pola pikir tersebut. Kenyataannya, justru banyak pemain kedua negara itu merantau ke negara lain, khususnya ke Eropa agar dilirik pelatih timnas, bermain dengan seragam timnas, ujung-ujungnya membawa harum negaranya. Bahkan tidak perlu jauh-jauh, pemain senior atau bahkan yang sudah pensiun, semisal Bambang Pamungkas, Ponaryo Astaman, Hamka Hamzah, Elie Eiboy, Ilham Jayakesumah, Victor Igbonefo, hingga Robby Darwis adalah pemain yang bermuka dua, tidak nasionalis tapi kok nasionalis juga.
Nama-nama tadi, dan tentunya masih banyak lagi, punya rekam jejak yang bagus dan punya kontribusi bagi timnas. Bahkan saya tidak pernah mendengar mereka mangkir dari panggilan timnas . Tentu saja di lua dualisme tahun 2011-2012 lalu. Bahkan di saat sebagian pemain senior dipagari 'PSSI tandingan', Bambang tetap nekat membela timnas. Nah, sekarang dua pemain yang saya sebutkan di paragraf pertama. Apakah keduanya punya rekam jejak mangkir dari timnas, setahu saya tidak. Bahkan kedua pernah menyumbangkan trofi Piala AFF U-19. Dan jika bicara subjektif, gelar itu digapai tidak pada masa jabatan ketua PSSI sekarang yang mana masih mandul trofi.
Jika memang kekhawatirannya adalah kedua pemain mangkir, ya sudah bicara secara personal. Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan bermain di luar negeri. Jika potensi mangkirnya dikarenakan jadwal liga di negara sebelah, ya sudah bicarakan dengan klub secara baik-baik, bukan tiba-tiba memagari pemain yang sudah tanda tangan kontrak. Macam tidak pernah belajar hukum/etika pekerjaan profesional saja.
Jika alasannya adalah kedua pemain ini menuju kompetisi yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia, hmmm. Rasanya ini lebih lucu. Argumentasi ini sempat dilontarkan sekjen PSSI ketika disinggung mengapa pemain yang merantau ke Thailand tidak dipermasalahkan. Beliau menyebutkan kompetisi di Malaysia 11-12 dengan Indonesia. Jujur saya tidak sependapat dengan beliau. Jika dari sisi antusiasme penonton dan jumlah kontestan, memang Indonesia unggul dari Malaysia. Tapi jangan lupa bahwa, beberapa tahun lalu sudah berhasil menggebrak kompetisi regional lewat Johor Darul Takzim yang juara Piala AFC. Apa perlu saya bandingkan dengan Indonesia yang [maaf sekali maaf] mendaftaran klub ke kompetisi regional saya telat [ya walau itu bukan di masa kepengurusan sekarang].
Saya sepakat jika salah satu indikasi nasionalisme adalah mau tidaknya dipanggil untuk seleksi/laga/pelatihan timnas. Tapi jika ukurannya bermain di luar negeri, apapun kompetisinya, saya tidak sependapat. Semoga pihak-pihak terkait bisa menentukan solusi yang tepat dan wajar.
Serampang Kece di Jalan Soekarno Hatta Bandung
Ornamen AsianGames di Bandung
Walau #bandung bukan tuan rumah #asiangames2018 tapi semaraknya tetap harus ikutan. Kan kita #satuindonesiasatusaudara