Nasionalisme yang kok Lucu

Sepak bola Indonesia kembali menyoroti pola pikir ketua PSSI. Pertama kali dalam sejarah Indonesia, seorang ketua PSSI bermaksud memagari pemain Indonesia agar tidak mengadu nasib ke negeri tetangga. Alasannya terus terang agak mengada-ada dan sebetulnya pun kurang masuk di akal. Dalam salah satu kesempatan, beliau menegaskan bahwa akan ada sanksi berupa pencoretan bagi pemain yang nekat bermain di luar negeri. Frase 'pengkhianat bangsa' pun sempat terlontar sebagai intepretasi jika ada pembangkangan atas keputusan beliau. Tentu saja ini kita sedang membicarakan kasus transfer Ilham Udin Armain dan Evan Dimas Darmono. Saya berpikir bahwa ada yang lucu dari pola pikir ini.

Jelas sebuah keputusan yang aneh ketika menyangkut pautkan nasionalisme dengan bermain di luar negeri. Bisa dibayangkan berapa banyaknya pemain Brazil dan Argentina yang tidak nasionalis jika kit amemakai pola pikir tersebut. Kenyataannya, justru banyak pemain kedua negara itu merantau ke negara lain, khususnya ke Eropa agar dilirik pelatih timnas, bermain dengan seragam timnas, ujung-ujungnya membawa harum negaranya. Bahkan tidak perlu jauh-jauh, pemain senior atau bahkan yang sudah pensiun, semisal Bambang Pamungkas, Ponaryo Astaman, Hamka Hamzah, Elie Eiboy, Ilham Jayakesumah, Victor Igbonefo, hingga Robby Darwis adalah pemain yang bermuka dua, tidak nasionalis tapi kok nasionalis juga.

Nama-nama tadi, dan tentunya masih banyak lagi, punya rekam jejak yang bagus dan punya kontribusi bagi timnas. Bahkan saya tidak pernah mendengar mereka mangkir dari panggilan timnas . Tentu saja di lua dualisme tahun 2011-2012 lalu. Bahkan di saat sebagian pemain senior dipagari 'PSSI tandingan', Bambang tetap nekat membela timnas. Nah, sekarang dua pemain yang saya sebutkan di paragraf pertama. Apakah keduanya punya rekam jejak mangkir dari timnas, setahu saya tidak. Bahkan kedua pernah menyumbangkan trofi Piala AFF U-19. Dan jika bicara subjektif, gelar itu digapai tidak pada masa jabatan ketua PSSI sekarang yang mana masih mandul trofi.

Jika memang kekhawatirannya adalah kedua pemain mangkir, ya sudah bicara secara personal. Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan bermain di luar negeri. Jika potensi mangkirnya dikarenakan jadwal liga di negara sebelah, ya sudah bicarakan dengan klub secara baik-baik, bukan tiba-tiba memagari pemain yang sudah tanda tangan kontrak. Macam tidak pernah belajar hukum/etika pekerjaan profesional saja.

Jika alasannya adalah kedua pemain ini menuju kompetisi yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia, hmmm. Rasanya ini lebih lucu. Argumentasi ini sempat dilontarkan sekjen PSSI ketika disinggung mengapa pemain yang merantau ke Thailand tidak dipermasalahkan. Beliau menyebutkan kompetisi di Malaysia 11-12 dengan Indonesia. Jujur saya tidak sependapat dengan beliau. Jika dari sisi antusiasme penonton dan jumlah kontestan, memang Indonesia unggul dari Malaysia. Tapi jangan lupa bahwa, beberapa tahun lalu sudah berhasil menggebrak kompetisi regional lewat Johor Darul Takzim yang juara Piala AFC. Apa perlu saya bandingkan dengan Indonesia yang [maaf sekali maaf] mendaftaran klub ke kompetisi regional saya telat [ya walau itu bukan di masa kepengurusan sekarang].

Saya sepakat jika salah satu indikasi nasionalisme adalah mau tidaknya dipanggil untuk seleksi/laga/pelatihan timnas. Tapi jika ukurannya bermain di luar negeri, apapun kompetisinya, saya tidak sependapat. Semoga pihak-pihak terkait bisa menentukan solusi yang tepat dan wajar.

No Response to "Nasionalisme yang kok Lucu"