#EkspedisiKinabaluBrunei Obrolan Mendadak di Kedai Kopi Kota Kinabalu

'Logo kampusnya macam pernah lihat dimana ya'
Itulah yang ada di benak saya saat dua orang itu presentasi pada hari pertama ISCAIE. Oalah, orang Indonesia ternyata. Logo kampus yang saya maksud dan akhirnya saya ingat itu adalah Institut Teknologi Kalimantan. Saya suka logonya karena unik hehee, btw. Lebih terkejut lagi lantaran mereka masih S1, wowww mantap parah lah ya, duo yang bernama Iman dan David ini. Kebetulan yang satu nama vokalis J-Rock, satunya lagi Naif hehee



Ajakan untuk berbincang masuk ke ponsel saya pada sore menjelang Maghrib esok harinya. Setelah kebingungan mencari tempat nongkrong, akhirnya kami memutuskan bersua di kedai kopi di dekat hostel saya. Berbagai obrolan mengalir begitu saja, tanpa skenario maupun protokol tertentu. Topik berseliweran dengan saling sambar hal-hal unik. Barangkali karena saya juga dosen dengan usia tidak terlampau jauh dari mereka, kami bisa 'nyambung' dalam berdiskusi. Kisah-kisah ajaib mereka patut saya saluti, terutama proses partisipasi mereka di ISCAIE ini yang tergolong nekat banget, kalau perlu 'nekat banget sekaliiii'. Saya pernah berpartisipasi di dua buah konferensi saat S1, tapi jenjangnya hanya nasional pun ditalangi dosen pembimbing hehee. Nah, mereka tidak seberuntung itu prosesnya, tapi mereka tetap maju melangkah untuk mejemput apa yang menjadi target mereka.

#EkspedisiKinabaluBrunei Eksplorasi Pusat Kota Kinabalu [3]

Kota Kinabalu sebagai ibu kota alias bandar raya dari negara bagian Sabah, menyediakan tata letak yang unik. Selain objek wisata alam, hampir objek-objek menarik di Sabah berlokasi di Kota Kinabalu. Di luar area Kota Kinabalu, sepi banget [lho kok tahu, hehee, sedikit bocoran episode mendatang]. Objek wisata alam yang melegenda di sini adalah Gunung Kinabalu serta berbagai pulau kecil di sekitar Kota Kinabalu. Keduanya bukan opsi yang realistis mengingat keterbatasan waktu dan tenaga. Dari berbagai objek yang menarik untuk ditelusuri di pusat kota ini tentunya kawasan dermaga yang membentang luas. Sejumlah titik menarik perhatian untuk didokumentasikan.


Kota Kinabalu itu panasnya poooool, udah macam Semarang lah. Secara suhu sih menyaingi Jakarta, tapi panas di sini murni faktor kawasa tropis dan pantai, bukan 'jebakan' kalor gedung-gedung dan kendaraan bermotor. Tapi, musim penghujan masih melanda pada saat saya di sini, alhasil suhu bisa berbalik nasib secara mendadak. Dan itu yang terjadi di tengah terik panas mendatang rintik hujan keroyokan hadir.

Sebuah titik yang sangat foto-able. Mirip dengan I Love KL, yang ada di Kuala Lumpur, kalau yang ini KK-nya tentu Kota Kinabalu.

 Ikan merlion, simbol tidak resmi kota ini yang merepresentasikan dunia laut sebagai sumber ekonomi masyarakat di sini.

Hotel Capital, warnanya yang unik jelas sayang untuk dilewatkan begitu saja. Entah bagaimana mengarahkan tukang-tukang catnya.

Di tengah terik panasnya Kota Kinabalu, saya menyempatkan diri masuk ke sebuah psuat perbelanjaan. Bisa dibilang semacam BIP-nya Kota Kinabalu. Tapi, jelas namanya bukan KKIP, Kota Kinabalu Indah Plaza, lho ya. Ternyata sedang ada pentas seni tingkat nasional. Entah apa nama acaranya, yang pasti sajian tari budayanya memantik minat saya untuk menikmati eksotika budaya negara tetangga ini. Beberapa ritme musik maupun busana yang dikenakan mirip dengan yang ada di Indonesia.


Ya iyalah, Malaysia semenanjung memiliki kedekatan kultur dengan masyarakat di Riau, Kepulauan Riau, bahkan Sumatera Barat sesama rumpun Melayu. Sementara itu, Malaysia bagian Timur satu pulau dengan lima provinsi Indonesia dalam bingkai Pulau Kalimantan alias Borneo. Suku Dayak pun tersebar pula di Sabah dan Serawak. Wajar jika ada kemiripan, yang penting saat dicek dengan Turnitin kurang dari 20 persen lah.

 Lantaran siang hari, jelas objek ini tidak berpenghuni. Namun bisa ditebak ini tempat 'nongkrong' anak muda di pagi dan sore atau malah malam hari.

 Bangunan klasik ini saat ini menjadi kantor dewan pariwisata Sabah. Jelas eksteriornya seolah berbisik bahwa bangunan ini sudah ada sedari era kolonial.

Sebuah masjid yang lokasinya relatif tinggi, yaitu perbukitan agak menepi dari keramaian Kota Kinabalu.

Lantaran badan mendadak menggigil, saya putuskan kembali ke hostel untuk beristirahat s.d. malam harinya sebuah ajakan berbincang masuk ke WA saya.

#EkspedisiKinabaluBrunei ISCAIE on stage...

Hari kedua ISCAIE, alhamdulillah fisik sudah mulai pulih walau batuk masih cekikikan membayangi. Seperti yang sudah-sudah, batuk memberi dampak sistematik pada metabolisme tubuh saya. Saya menjadi 'gila' minum air putih untuk melegakan kerongkongan yang berujung pada bolak-baliknya saya ke toilet [boso Jowo'ne 'beser'] dan karya seni saya menjadi saya beninggggg. Ibarat lagu Ebiet G. Ade, 'Sebening Embun', lah kok ngelatur...

Terus terang, saya tengah menggandrungi gaya busana ini, perpaduan formal dan non-formal

Singkat cerita fisik saya masih dalam tahap pulih dan tidak ada pilihan lain, kecuali maju terus hadir ke ISCAIE untuk dua alasan. Pertama, saya tampil sebagai penyaji selama sekitar 15 menit atas materi yang saya mulai rintis substansinya sejak satu semster sebelumnya dalam SM2 saya. Kedua, saya pun tampil sebagai moderator [bahasa gaholnya Session Chair] selama kurang lebih 3 jam. Alasan kedua ini menuntut saya banyak konsentrasi mengingat saya selaku 'supir' dari jalannya sesi paralel dimana ada sekitar 10-12 penyaji tampil dengan berbagai kondisi.

Persiapan sebelum 'manggung'

Beberapa kejadian di luar rencana terjadi dan malah menjadi pengalaman berharga bagi saya. Tak lupa kesempatan berbicara di muka umum dalam bahasa Inggris tentu momen langka yang patut disyukuri. Kalau boleh jujur, saya tidak memperoleh honor sebagai moderator karena memang sifatnya sukarela dan memang tidak ada orientasi finansial di sini. Saya terinspirasi dari Mr. Gurdel Ertek asal Uni Emirat Arab yang saya temui pada ICIT 2017 di Singapura. Beliau bisa membawakan sesi paralel dengan sangat luwes melalui berbagai obrolan kilat namun cukup mencairkan suasana. Di tengah obrolan seusai acara ICIT tersebut, beliau berpesan untuk teruslah mengeskalasi diri atas berbagai tantangan.


Alhamdulillah


Ada pembeda yang signifikan antara konferensi dibandingkan dengan jurnal. Dari sisi kualitas proses seleksi dan produksi, jelas jurnal lebih ketat sehingga hasilnya pun patut diklaim [relatif] lebih sahih. Tapi, konferensi menawarkan fitur ekspansi relasi/koneksi yang tidak mudah didapatkan. Kesempatan yang langka bisa menjalin relasi-relasi baru dari berbagai asal kampus, bahkan negara. Pada konferensi-konferensi sebelumnya, saya berkesempatan kenal dengan Mr. Sapi'ee [Malaysia], Mr. Leonel Hernandez [Kolombia], Mr. Ertek [UEA], Mr. Alhassan Enagi [Afrika Selatan], Mr. Kosin Chamnongthai [Thailand, legenda elektronya Thailand]. Malah, berapa kali saya dan Mr. Hernandez saling berbalas komentar di laman Facebook, hehee. Pun dengan konferensi kali ini. Ada Mr. Linh Pham [Vietnam dan Australia], Mr. Shaiful Bakhtiar [Malaysia], Mr. Riady Siswoyo [Indonesia, tapi tengah ber-diaspora di Sarawak], Mr. Elmer Magsino [Filipina], Mr. Chrishanton V. [Malaysia], serta duo mahasiswa 'nekat parah' asal Institut Teknologi Kalimantan, yaitu Iman L. Hakin [mirip nama dosen saya] serta David Christover. Masing-masing memberi kesan tersendiri dengan berbagai menu obrolan. Termasuk diantaranya sudut pandang orang luar negeri terhadap apa yang terjadi di Indonesia, hehee.

Mr. Chrishanton dari Selangor, Malaysia



Kisaran jam 3 siang [alias jam 2 WIB], acara usai dan waktunya bagi saya mengitari apa yang patut dijelajahi di Kota Kinabalu di waktu yang semakin terkuras lantaran perlunya saya beristirahat. Tambahan, perjalanan ini [insyaAllah] belum berakhir di hari ini maupun besok sebagaimana peserta lainnya. Sebuah ekspedisi gila 'memaksa' saya banyak menghemat tenaga.

Iman dan David, duo anak ajaib dari Balikpapan


#EkspedisiKinabaluBrunei Eksplorasi Pusat Kota Kinabalu [2]

Eksplorasi terus berlanjut di tengah rintik hujan. Kondisi fisik yang terasa makin anjlok, ditandai dengan batuk yang makin kencang dan kering, membuat saya tidak punya opsi lain kecuali pulang. Tapi sebentar, ada beberapa lokasi menarik yang masih sempat saya jelajahi dalam satuan belasan menit sebelum rintik-rintik itu tiba.

Atkinson Tower Clock

Tanpa bermaksud meremehkan, namun jam gadang di Kota Bukittinggi lebih besar dan melegenda. Tentu tidak berarti jam yang ini jelek, pasti ada daya tarik tersendiri. Dari sisi histori, keberadaan menara-menara jam seperti ini pada era/zaman dulu adalah sebagai pusat standardisasi waktu di daerah masing-masing. Kita tahu bahwa pada era kolonial, jam dinding saja sudah menjadi barang langka sehingga roda pemerintahan dan perekonomian perlu standardisasi.


Bangunan model gepeng yang memancing atensi saya

Sebuah bangunan yang belum sempat saya telusuri fungsinya memancing atensi atau perhatian saya. Bentuknya yang gepeng jelas menjadi daya tarik tersendiri. Sepasang bendera Sabah dan Malaysia masih berkibar di depannya. Pertanda bangunan ini masih memiliki fungsi di masa sekarang. Sebuah ornamen seni lukis disajikan dengan gaya grafiti kekinian menandakan bahwa ada sentuhan kreativitas kontemporer turut menyemarakkan arsitektur bangunan unik ini.

Tanah lapang sebagai [semacam] alun-alun Kota Kinabalu

 Kota Kinabalu juga memiliki tanah lapang luas yang berfungsi sebagai ajang seremonial dan tempat berkumpulnya masyarakat. Walau tidak tayang pada foto di atas, terdapat bendera seluruh negara bagian di Malaysia. Memang sudah menjadi budaya untuk turut serta memasang bendera negara bagian lain sebagai bentuk solidaritas dan persatuan sesama pembentuk negara federal.

Cuplikan sejarah Kota Kinabalu

Sebuah galeri dari kejauhan sudah mengekspresikan fungsinya, yaitu cuplikan sejarah Kota Kinabalu. Premis sederhaa melihat foto hitam putih ukuran besar dari kejauhan. Memang, kota ini memiliki sejarah panjang yang cukup berliku. Mulai dari bagian dari Kesultanan Brunei, di bawah kolonial Inggris, diduduki Jepang, kembali ke pangkuan Inggris, hingga akhirnya bergabung dengan Federasi Malaysia.

Tidak ada selera makan nasi, alhasil saya memilih untuk membeli dua buah mangga sebagai sumber nutrisi malam itu