Menyusuri Rongga-Rongga Lorong Kampus ITB


Senin lalu, saya berkesempatan 'kembali' ke kampus ITB dalam rangka ICITSI. Ini bukan almamater saya, tapi saya punya banyak kenangan di sana. Tidak lain dan tidak bukan, yaitu menemani istri saya menyelesaikan studi magisternya di STEI ITB. Memang saat itu, istri saya bukan anak kecil lagi, malah kami sudah punya anak kecil yang atraktif nan interaktif. Tapi saat itu masa studinya yang sudah memasuki tahun ketiga, jelas fase yang krusial dimana hampir tiap hari lagu 'Menghitung Hari'-nya mba Krisdayanti kerap berdendang. Program mirip 'wajib militer' pun dijalani istri saya dan juga rekan-rekan sekelasnya, yaitu wajib hadir di lab dari pagi s.d. sore. 'Wajib militer' ini dilengkapi dengan 'wajib lapor' tiap pagi, siang, dan sore ke bagian admin. Etdaah, karyawan saja presensi cuma pagi dan sore hehee. Tujuan sederhana, yaitu mengondisikan mahasiswa agar lebih kondusif menyelesaikan sebuah buku yang dijilid rapi bersampul tebal disertai logo ITB dan tulisan gagah 'TESIS'. 

Perjuangan yang tidak mudah lantaran di waktu yang sama, anak kami baru memasuki usia setahun lebih beberapa hari/bulan. Ibu mana yang tidak bingung ketika harus meninggalkan sejenak putra/putrinya yang masih belia, yang lazimnya dipuas-puaskan bermain. Alhamdulillah Allah mengulurkan bantuan, ibu kami serta kerabat keluarga kami berkenan ikut menjaga anak kami sehingga di siang hari istri bisa menggeber laptop untuk menunaikan amanat tersebut.

Lah, terus saya ngapain di saya? Ikut download Kamen Rider dan Mahabarata kah? Atau mencari tuyul-tuyul digital dalam wujud Pokemon? Tentu saja tidak. Saya ikut ke ITB dalam rangka mengerjakan berbagai proyek [di tahun saya masih bekerja di beberapa proyek jarak jauh]. Dengan ikut mengerjakan di kampus ini, saya bisa memosisikan diri untuk mendukung langsung secara moril istri saya, termasuk ikut mengkritisi penelitian tesis istri saya. Setidaknya, saya jadi mengerti sedikit-sedikit lah apa itu Kragging dan kroni-kroninya hehee.

Lorong ITB sangat khas berupa pilar-pilar besar yang terbuat dari campuran semen dan batu ukuran besar. Sangat khas karena saya belum menemui yang serupa di kampus ini. Melihat kembali bongkahan-bongkahan pilar tersebut saya jadi teringat masa-masa berangkat dan pulang mengantar istri saya. Pada akhirnya, saya juga menemukan inspirasi bahwa kesungguhan merupakan modal berharga untuk mengatasi krisis di masa-masa yang kritis.

No Response to "Menyusuri Rongga-Rongga Lorong Kampus ITB"