Saya baru sadar bahwa saya belum mengucapkan selamat di blog ini khusus untuk Bhayangkara FC. Bukan karena saya tidak senang atas pencapaian mereka ataupun lantaran saya dipersulit proses pengajuan SIM C oleh pihak pemilik klubnya. Semata lantaran kesibukan yang sedang yoi-yoinya.
Saya memang tidak terlalu memperhatikan kiprah klub ini dengna seksama. Berapa kali saya menonton laga mereka di televisi masih bisa dihitung dengan dua tangan, bahkan rasanya saya lebih sering menonton Persipura, PSM Makassar dan Bali United, jangan bandingkan dengan frekuensi saya menonton Sriwijaya FC. Tapi dalam kesempatan yang secuil itu, saya mengakui bahwa mereka punya kualitas menjadi juara di kompetisi Liga 1. Saya melihat soliditas permainan tim yang sama tangguhnya dengan Persipura, PSM, dan juga Bali United. Bahkan ketiga tim tersebut sempat dijungkalkan oleh Bhayangkara FC. Hanya saja tiga faktor yang membuat orang mengabaikan prestasi Bhayangkara FC di lapangan. Pertama adalah induk organisasi, yaitu Kepolisian RI yang citranya masih perlu diperbaiki. Kedua adalah asal usul klub yang sangat susah dijelaskan dalam satu paragraf singkat.
Tidak seperti Sriwijaya FC, Mitra Kukar, Madura United, Borneo FC, ataupun Bali United yang proses akuisisinya dari Persijatim Solo FC, Niac Mitra, Pelita Bandung Raya, Perseba Bangkalan Super, ataupun Putra Samarinda berjalan relatif mulus. Proses kemunculan Bhayangkara FC merupakan 'warisan' dari mahakonflik 2011-2013. Membelotnya Persebaya Surabaya ke Liga Primer Indonesia, menyebabkan Persikubar Kutai Barat digaet dan dipermak menjadi Persebaya dalam tanda kutip. Pengadilan lantas mengganjar mereka untuk menanggalkan nama Persebaya hingga segala liku akhirnya berakhir saat Kepolisian RI mengakuisi klub ini. Jelas tidak ada tujuan yang tergambar cerah saat itu. Barangkali jika Persebaya tidak kabur ke LPI, andai Persikubar tidak berganti wajah, misalnya Persebaya tanda kutip tidak lolos ke Indonesia Super League, kalau saja Kepolisian RI tidak mengklaim klub ini, segala faktor-faktor merupakan kompilasi berlaganya Bhayangkara di Liga 1. Jelas sejarah unik yang membuat 30-an klub Liga 2 meradang lantaran mereka berdarah-darah memperebutkan tiket ke kasta tertinggi Liga 1. Tapi kedua faktor tadi tidak ada apa-apanya dibandingkan faktor ketiga, yaitu kemenangan Bhayangkara FC di meja hijau atas Mitra Kukar. Lho kenapa memang//
Mitra Kukar menjadi korban kebingungan dokumen yang tidak lengkap dalam menginformasikan siapa saja yang lantas bermain. Alhasil skor imbang 1-1 di lapangan pun direvisi menjadi kemenangan 3-0 Bhayangkara FC. Keputusan abu-abu yang menjadikan perolehan poin Bhayangkara FC mengimbangi Bali United. Imbang di sini pun nir-makna bagi Bali United lantaran klausul di Liga 1 yang menentukan peringkat klub yang poinnya sama berdasarkan rekam jejak laga antar-klub di musim tersebut. Apes memang bagi Bali yang dua kali dikangkangi Bhayangkara FC. Apesnya tuh di sini lantaran Bali United sempat didapuk juara liga pasca-kemenangan dramatis atas PSM yang menyebabkan PSM dan Bhayangkara FC tidak mungkin menyamai poin Bali United. Tapi lagi-lagi keputusan kontroversi ini merecoki drama yang luar biasa. Kompetisi yang paling ketat sepanjang saya menikmati Liga Indonesia era 2000 [saat PSM juara] harus dipamungkasi dengan ketidakakuratan administrasi. Yang paling konyol ketidakakuratan ini melibatkan nama seorang marquee player. Ironi, status marque player yang diharapkan menjadi pembeda kualitas kompetisi malah menjadi penentu diberikannya poin khusus. Dampak nyatanya sangat jelas, orang-orang meragukan kualitas Bhayangkara FC.
Padahal, skuad mereka punya kualitas yang jujur saja memang di atas klub-klub tradisional seperti Persib Bandung, Persija, Arema, dan Sriwijaya, keempat klub ini lebih heboh di bursa transfer. Bertolak belakang dengan Bhayangkara FC yang hanya punya nama beken dalam diri Otavio Dutra, Evan Dimas Darmono, dan lalu Ilja Spasojevic. Tapi Evan Dimas banyak cuti untuk timnas, sementara itu Spaso baru muncul di putaran kedua. Kalau bukan skuad yang solid, lantas apa yang membuat mereka bisa mengangkangi lawan-lawannya.
Selamat Bhayangkara FC, walau saya menjagokan Bali United tapi saya mengakui prestasi kalian musim ini
Selamat Bhayangkara FC, walau sejarahmu rumit tapi saya mengakui bahwa ini adalah tamparan bagi klub-klub yang terlalu mengandalkan nama besar di masa lalu
Selamat Bhayangkara FC, saya menantikan kontribusimu untuk persepakbolaan Indonesia berikutnya
Selamat Bhayangkara FC
Tengah Malam di McD Soetta
Sisa-sisa perjuangan hingga dua menit persis sebelum tenggat. Malam yang menguras pikiran di sebuah tempat makan yang menyediakan wifi gratis dan mushola. Ya, walau tempat makan ini aslinya dari negara sana, tapi saya mengapresiasi layanan mereka yang (sepengetahuan saya) menyediakan mushola di gerai-gerainya.
#valencianeffect
Aku yang Menjauh
Sepertinya aku yang menjauh
Membiarkan sekat tebal menjarakkan
Mengabaikan sinyal dan cahaya-Nya
Padahal lemahku tiada daya hadapi semua
Memang dan bukan sepertinya
Aku yang diayun lalai atas arah-Nya
Goyahku dalam jembatan dan persimpangan
Dimana hampa jadi kawan semua nir-makna
Aku harus ingatkan nurani kembali
Pada bait dan asa menghamba pada-Nya
Usir segala getir dengan yakin atas-Nya
Abdikan seluruh waktu s'bagai umat-Nya
Raida Jabar 2017
Pentas musik jaman kekinian di #raimunajabar2017 @pramukajabar . Btw, ini adalah ketiga kalinya saya ke Kiarapayung setelah jadi panitia Jambore Cabang 2009 dan ikut silaturahim di Raida 2012. Eh rombongan @pramukatelu di sebelah mana ya?
Sticky Notes, Manajemen Risiko, Proyek
Juara Baru? Yang Mana?
Terdepaknya PSM dari sprint akhir Liga 1 berarti tinggal ada dua klub yang berpacu menuju tangga juara. Bhayangkara FC serta Bali United menjadi protagonis di fase pamungkas kompetisi ini. Suasana yang membuat sejumlah negara ASEAN "iri" dengan keketatan kompetisi domestik Indonesia ini. Dua pekan lalu titel juara masih bisa digapai oleh 5 klub sekaligus.
Klub pertama nyaris tergusur kalau saja kasus bermainnya M. Sissoko oleh Mitra Kukar kala kedua bersua pekan lalu. Kesalahan administrasi PSSI akhirnya memancing suasana berisik di akhir Liga 1. Terlepas dari kesalahan PSSI, Bhayangkara memang layak berada di pucuk dengan poin yang sama dengan Bali. Tabungan 1 laga (yang tengah berlangsung saat ini) serta unggul head-to-head merupkan bekal yang lumayan. Kita lihat apakah Bhayangkara bisa mengais 1 kemenangan "saja" untuk mengunci gelar.
Klub kedua, Bali United nyaris menjadi kuda pacu terdepan kantaran kemenangan dramatis atas PSM pekan lalu. Kemenangan penuh liku yang harus dilanjutkan dengan kisah drama pasca-insiden tadi.
Kita lihat apakah laga Bali United vs Gresik United dan Persija vs Bhayangkara FC masih perlu ditonton. Jika hasil akhir Madura United vs Bhayangkara FC gagal dimenangi Bhayangkara FC maka jawabannya masih.
Ada Banyak Memori di Sini
Barokallah Mas Wahida
Research Sharing Session @CS.Binus.BDG
Heran juga
Heran memang, lebih tepatnya bingung dengan mereka yang cenderung memandang negatif penutupan Alexis, hotel kontroversi di Jakarta karena ya itulah. Kebingungan yang entah saya yang terlalu lugu, entah pula apakah karena sudut pandang tiap berbeda, atau entahlah. Sejujurnya saya lebih merasakan subjektivitas masyarakat dimanfaatkan oleh oknum media. Iya, 'oknum media' sudah banyak berkeliaran, menampakkan karakter hipokrit ketika petahana adalah junjungan politik.
Orang kemarin waktu wartawan pada ke sana nggak ada apa-apa
'kan ceritanya per Jumat [cmiiw] karyawan-karyawannya sudah pada diliburkan lantaran izin tidak diperpanjang. Terus yang mau mengelola operasional siapa. Kalaupun masih operasional, ya itu 'kan wartawannya datang gara-gara konferensi pers. Dimana-mana kalau saya mau ngundang tamu, ya cucian dan piring kotor bakal saya sembunyikan.
Kenapa cuma Alexis
Memangnya 'cuma' Alexis ya/ Masih ada bidikan lain yang tidak tertutup kemungkinan tinggal menunggu waktu 'dijagal' izin bisnisnya. Lagipula, 'banyak' atau bahkan 'semua' itu diawali dari angka 1. Dalam perang kita tahu bahwa jumlah nyawa tiap orang sama. Tapi, matinya seoran jenderal akan memberi dampak mental yang 'keras' bagi para pasukan ataupun rekan yang jabatannya setara.
Pencitraan
Sebagai WNI, saya berpikir sederhana saja. Jika yang dilakukan seorang pemimpin layak dipertanggungjawabkan, itu saja yang diperlukan masyarakat. Perilaku pencitraan itu tergantung sudut pandang. Toh, terlalu sempit waktu saya untuk memikirkan definisi pencitraan.
Review: Beyond Skyline
Ternyata kemarin merupakan hari perdana film Beyond Skyline di Indonesia. Berbekal referensi bahwa ada duo aktor laga Indonesia di film inilah, saya memutuskan menonton tanpa tahu ceritanya akan diisi apa. Ternyata ketidaktahuan saya tidak rugi-rugi amat. Alasannya sederhana, saya tidak terpancing untuk punya ekspektasi tertentu. Malah saya lebih 'lepas' menikmati alur dan berbagai suguhan baku pukul yang ada. Sebagai orang yang takut darah [kecuali saat donor], saya harus beberapa kali pusing kepala atas adegan 'fiktif' yang cukup membuat saya mual.
Saya akan mengenang film ini sebagai film dengan latar 'gado-gado'. Bagaimana bisa sebuah film Amerika berkisah tentang petualangan di alam Laos tapi diisi tokoh-tokoh gerilyawan Vietnam [dilihat dari dendam terhadap Amerika, pengalaman perang gerilya, dan jebatan ranjau bambu] daaaaaan latar arsitekturnya adalah Candi Prambanan [yang lokasi di Sleman, Indonesia]. Bingung 'kan hehee.
Secara umum, film ini berkisah tentang invasi alien ke Bumi. Hmmm, topik yang lumrah kayaknya. Ternyata ada kejutan yaitu bagaimana si alien yang ternyata memanfaatkan organ manusia yang diculiknya untuk dijadikan pasukan pembantai. Sejumlah korban penculikan berhasil membajak pesawat alien dan terdamparlah mereka di 'laos' [iya laos dalam tanda kutip hehee, yang ada prambanannya]. Kisah makin diwarnai baku pukul setelah sosok Sua [diperankan oleh Iko Uwais] bertemua Mark [Frank Grillo] selaku salah satu dari dua manusia yang tersisa dari korban penculikan. Adegan pertempuran di sawah penuh lumpur patut menjadi adegan yang layak dikenang, rasanya sangat jarang sawah menjadi latar belakang adegan baku pukul.
Ada banyak kejutan di film ini walau memang dari sisi promosi sangat gersang. Memang, bioskop Indonesia masih dikeroyok genre film horor. Padahal, film ini bisa disebut sebagai jawaban atas pertanyaan 'kok artis Indonesia cuma nongol bentar di Star Wars'. Meskipun film ini memiliki pakem yang terlalu lazim, detail dari film ini sangat asyik. Termasuk akhir cerita yang sangat tidak lazim.