Roadshow IDKreatif: ISI Yogyakarta

  20131030_IK_Goes_To_Campus_ISI_Jogja_5
Masih dalam rangkaian Indonesia Kreatif Goes to Campus, kali ini Tim Indonesia Kreatif berkunjung ke sebuah kampus yang berlokasi di selatan Yogyakarta, tepatnya Jalan Parangtritis, Bantul, yaitu Institut Seni Indonesia Yogyakarta (ISI Yogyakarta). Dengan mengambil waktu penyelenggaraan pada hari Jumat (25/11), roadshow di ISI Yogyakarta kali ini memunculkan subsektor pasar barang seni sebagai topik diskusi antar-stakeholder ekonomi kreatif. Pembicara yang dihadirkan adalah sebuah komunitas kreatif yang berdomisili di Yogyakarta, yaitu JogjaForce, serta seorang akademisi bidang pasar barang seni, Mikke Susanto.


JogjaForce merupakan sebuah komunitas kreatif yang menempatkan dirinya sebagai katalisator perkembangan digital art, menimba ilmu dan menyemarakkan digital art di Jogjakarta. JogjaForce hadir untuk menampung
 keberadaan para desainer yang mengekplorasi dunia digital art, khususnya terkait bidang Ad Agency,
 Graphic Design Studio, Web Development, dan Freelancer. Sejumlah proyek yang pernah diikuti oleh JogjaForce antara lain: Designdiary.org, Designflip, Republic Art, United Character of Divercity, NOIZED! Digital Art Exhibition, Massive Offline 2006 Manila, serta Black Urban Art 2007. Selain itu, JogjaForce juga tampil sebagai kontributor di sejumlah media, di antaranya NLF Magazine, Vectorika
 Magazine, Artzmania, Computer Arts Magazine, 
Concept Magazine, Galz Vectorism, dan Territory Magazine. JogjaForce memegang filosifis yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara, yaitu “niteni, niroke, nambahi” yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah “mengingat, mengikuti, dan memodifikasi”. Mereka juga memiliki tagline yang menjadi orientasi dari pengembangan komunitas JogjaForce, yaitu: “Semangat menularkan kreativitas sebisa mungkin”. Menurut mereka, “Kami tidak berorientasi pada profit, tapi kami lebih berorientasi pada menularkan apa yang bisa.”
20131030_IK_Goes_To_Campus_ISI_Jogja_6
JogjaForce mengenalkan konsep komunitas yang mana di dalamnya terdapat dua keunggulan. Keunggulan pertama adalah kemudahan dalam berkolaborasi antar-insan kreatif. Hal ini akan mendorong peningkatan kualitas produk yang dihasilkan oleh JogjaForce. Selain itu, keunggulan kedua adalah terbangunnya kompetisi secara sehat di mana para anggotanya terpacu untuk menghasilkan karya yang harus lebih baik daripada rekan satu komunitasnya di JogjaForce. Oleh karena itulah, JogjaForce membuka diri kepada talenta muda yang ingin mengembangkan diri, namun belum mempunyai portofolio maupun brand yang memadai. Hal ini bertujuan untuk menjembatani insan kreatif yang memiliki keingingan kuat dalam berkarya, namun menemui kebingungan dalam merintis karier.
Pembicara kedua, yaitu Mikke Susanto, merupakan akademisi produktif yang telah menelurkan berbagai karya inspiratif. Dengan keseharian sebagai pengajar Jurusan Seni Murni Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta, Mikke Susanto juga telah menghasilkan beberapa buku, di antaranya “Risalah Rajah Sosrokartono: Lukisan Profetik KH. M. Fuad Riyadi di era Postmodern” (Lidah Wali, 2011) dan “Tropic: Dadan Gandara” (Medaprada Gallery, Jakarta 2010). Sejumlah pameran nasional dan internasional pun aktif diikuti oleh Mikke yang sejak tahun 2008 menjadi konsultan kurator koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia. Dengan berbagai pengalaman tersebut, Mikke berharap bisa ikut memberikan inspirasi dan juga menularkan semangat berkreasi kepada mahasiswa ISI Yogyakarta dalam Roadshow Indonesia Kreatif Goes to Campus kali ini. Inspirasi yang ditularkan oleh Mikke pada kesempatan ini berkenaan tentang pasar barang seni sebagai penghubung insan kreatif selaku produsen dengan masyarakat selaku konsumen.
20131030_IK_Goes_To_Campus_ISI_Jogja_7
Pasar memegang peranan penting dalam industri kreatif barang seni. Melalui pasarlah, sebuah produk dapat diukur kualitasnya dengan mempergunakan parameter nominal mata uang sebagai alat ukurnya. Karena itulah, seorang insan kreatif harus mempunyai pengetahuan untuk bisa memperoleh apresiasi yang layak dalam bertransaksi di pasar barang seni. Mikke menjelaskan bahwa berdasarkan riset yang dilakukan oleh Philip Kotler, pasar masa saat ini telah memasuki versi 3.0 atau era values-driven. Ciri pasar 3.0 ini adalah konsep kreativitas kontemporer yang mengaitkan karya seni yang ditinjau dari sisi humanitas, moralitas, dan spiritualitas yang mana ketiganya bersifat abstrak atau non-material. Pasar versi 3.0 inilah yang menampung produk di mana nilai barangnya memuat kepentingan fungsional, emosional, dan juga spiritual. Hal ini memberi dampak bagi insan kreatif untuk pandai-pandai menempatkan diri dalam berbagai aspek, seperti idealisme, spesialisasi, dan selera pasar. Seorang insan kreatif juga dituntut mempunyai pengetahuan lain untuk menopang kedudukannya dalam pasar barang seni, misalnya ekonomi dan sosiologi.
Mikke mengemukakan empat metode untuk mengestimasi nominal suatu barang seni, yaitu: intuitif berdasar pengalaman dan permintaan pasar; rasionalisasi berdasar prestasi insan kreatif dan aspek lukisan; kesepakatan; serta hukum negara atau kebijakan politik. Bahkan untuk konsumen barang seni, yang disebutnya sebagai kolektor pun, terdapat beberapa motif dalam membeli suatu barang seni. Misalnya motif pembelian barang seni yang dikarenakan faktor sejarah yang dimiliki barang tersebut. Ada pula motif ideologis, yaitu kandungan inspirasi, cita-cita, dan ideologi pada barang seni tersebut. Hal ini tercermin dengan adanya fenomena kalangan menengah ke atas membeli lukisan didasari keinginan untuk mengikuti kebiasaan mengoleksi barang seni yang sudah terlanjur menjadi simbol status sosial kalangan menengah ke atas. Seorang insan kreatif perlu mengetahui faktor-faktor non-teknis yang terjadi pada masyarakat selaku konsumen barang seni agar karya seninya memperoleh apresiasi yang layak ditinjau dari sisi ekonomi. Mikke berujar, “Nominalisasi karya tidak mempunyai rumusan tertentu. Semua tergantung kesepakatan antar pihak karena benda seni adalah benda yang memediasi persoalan rasa, bukan benda fungsional semata.”
20131030_IK_Goes_To_Campus_ISI_Jogja_2
Di akhir acara, Tim Indonesia Kreatif kembali menekankan bagaimana kreativitas tidak hanya persoalan keunikan suatu produk, tapi juga kapabilitas untuk memecahkan permasalahan dan meningkatkan nilai ekonomi produk tersebut. Pernyataan ini turut disertai harapan agar roadshow Indonesia Kreatif ini dapat menjadi awal kerja sama yang konsisten antara Indonesia Kreatif, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta ISI Yogyakarta.
20131030_IK_Goes_To_Campus_ISI_Jogja_1
—–
Foto: Dokumentasi Tim Indonesia Kreatif

No Response to "Roadshow IDKreatif: ISI Yogyakarta"