Ekspektasi untuk Luis Milla

Pelatih impor kembali dipercaya menukangi Timnas Indonesia. Adalah Luis Milla, suksesor Alfred Riedl di level senior sekaligus U-23. Profil beliau relatif menjanjikan sebagai orang yang dianggap bertanggung jawab atas sejumlah prestasi Timnas Spanyol di level junior. Bekal sebagai mantan pemain FC Barcelona, Real Madrid, dan Valencia menjadi indikasi bahwa dia memang kenal dengan sepakbola sejak lama. Pertanyaan yang tidak mudah dijawab, "Apakah modal itu cukup?"

Menjadi arsitek timnas Indonesia bukanlah hal yang mudah. Sejak era 2000-an hingga 2016 gangguan ekosistem persepakbolaan Indonesia kerap menghantui kinerja pelatih timnas. Kasus ketua federasi dipenjara, dualisme kompetisi, dualisme federasi, dualisme timnas, pembatasan kuota pemain tiap klub, intervensi penentuan skuad, berubah-ubahnya format kompetisi, durasi pelatnas yang singkat, hingga pembekuan federasi merupakan penyakit yang membuat nama-nama seperti Ivan Kolev, Rahmad Darmawan, Manuel Blanco, dan juga Riedl, bisa dikatakan stress. Situasi yang jelas (setahu saya) tidak pernah terjadi di Spanyol ataupun negara-negara lain di Eropa. Dalam hal  ini, Luis Milla belum teruji sepenuhnya walau tidak juga bisa disebut Milla tidak akan bisa mengatasinya. Barangkali tekanan media, tuntutan masyarakat, hingga kemungkinan sikap indisiplin pemain menjadi ancaman yang biasa dihadapi Milla.

Milla dituntut juara di dua kompetisi, SEA Games 2017 dan AFF 2018. Target muluk yang sebetulnya antara gila dan wajar. Disebut gila karena dari Wikipedia pun kita sudah bisa tahu bahwa prestasi maksimal yang pernah diraih hanyalah dua kali medali emas SEA Games, itu pun 1987 dan 1991. AFF malah konsisten dengan 5 kali runner up. Artinya ekspektasi ini tidak didukung histori yang menunjukkan tradisi bagus Indonesia di kompetisi tersebut. Jelas berbeda ketika Brazil, Italia, ataupun Jerman mencanangkan juara Piala Dunia. Atau bahkan Thailand dan Singapura yang mengoleksi 5 dan 4 kali juara AFF. Namun hal ini juga wajar karena di sisi lain mengindikasikan betapa "haus"-nya Bangsa Indonesia untuk berbuka "puasa". Siapa sih yang tidak getir menjadi spesialis juara dua?

Sebetulnya dengan histori yang ada, Milla tidak dibebani target yang mustahil. AFF misalnya yang menyimpan getir 5 kali runner up. Di sisi lain hal itu membuktikan bahwa Indonesia memiliki daya saing untuk mendobrak hegemoni Thailand, Singapura, dan Vietnam. Insiden 2004 dan 2010 ketika sebelum final sangat dominan dan diunggulkan ataupun  kisah heroik 2016 ketika menjadi "juara sementara hingga menit ke-30 final kedua memberi sinyal bahwa ada mental yang harus dibenahi. Di sinilah Milla dituntut menjadi nahkoda yang bisa mengkokohkan optimisme agar insiden 0-3 di Bukit Jalil 2010 ataupun 0-2 di Rajamangala tidak terulang.

Mampukah?

No Response to "Ekspektasi untuk Luis Milla"