Banda Aceh, Rumah Kedua

Dari Rabu (20/5) s.d. Selasa (26/5) lalu saya berkesempatan mengunjungi Banda Aceh. Alhamdulillah dengan tujuan mulia dan tidak sembunyi-sembunyi lagi. Ini kali kedua setelah pada Januari tahun ini saya berkunjung dalam rangka lamaran. Dan dengan hormat, saya menempatkan Banda Aceh sebagai salah satu kota yang punya ikatan batin spesial. Jika Bandung (Raya) dan Kota Depok tempat kuliah, Kota Semarang dan Kota Yogyakarta tempat ngebolang, maka Kota Banda Aceh merupakan kota tempat saya merajut benang angan berwujud pernikahan. Di kota ini pula keluarga baru saya bermukim. Maka kota ini punya koneksi batin spesial di sini *nunjuk jantung*.

Kesan pertama memasuki Banda Aceh adalah nyaman, kenapa? Nggak macet. Suwer rasanya kayak di surga (maksudnya surga dunia) bisa jalan ke sini ke situ tanpa melihat kemacetan. Kesan nyaman makin terasa dengan berhijabnya muslimah di sana. Memang penerapan syariah menjadikan standar Islam sebagai acuan berpakaian. Namun seperti biasa, ada juga suara nyinyir dari orang di kota lain :v

Kekagetan yang jelas terpampang di wajah lugu saya adalah perbedaan waktu sholat plus suasana langit dibandingkan Jakarta/Bandung/Tegal. Selisihnya nyaris 45 menit, malah agak lebih, ya nyaris satu jam gitu. Kaget karena menjelang jam 7 saat kawan-kawan di Jakarta bersiap Isya, eh di sini baru mau Maghrib. Tapi ngomong-ngomong waktu sholat. Di sini mayoritas fasilitas publik akan tutup menjelang waktu sholat. So, manfaatkanlah kelonggaran waktu ini untuk beribadah.

Bagaimana dengan perilaku masyarakat? Alhamdulillah sudah jadi ciri khas Bangsa Indonesia dan juga muslim, yaitu ramah. Hanya saja, bagi yang terbiasa mendengar suara pelan, maka siapkan diri untuk terbiasa mendengar dialek yang volumenya agak naik, bukan marah, bukan lebay, bukan juga histeris. Bahasa juga masih menjadi kendala bagi saya. Ilmu mengawang sungguh kerap buntu. Perlu kesabaran mempelajari bahasa Aceh yang konon lain kota pun banyak perbedaannya. Wah, harus seneng apa bingung nih?

2004 lalu saat masih SMP saya lugu melihat liputan pasca tsunami. Keluguan saya lebih mengarah pada iba, kenapa daerah yang sedang konflik ini dirundung bencana alam. Ya, sejak melek berita tv tahun 2000 (sebelumnya  cuma melek kartun), berita tentang Aceh 99,99% adalah tentang GAM, darurat militer, perang, dsj. Alhamdulillah kini, baik tsunami maupun perang saudara hanya meninggalkan jejak pelajaran berharga.

InsyaAllah saya berikhtiar untuk minimal setahun sekali "pulang" ke Banda Aceh. Rumah kedua saya selain Tegal.

^^

No Response to "Banda Aceh, Rumah Kedua"