Tidak semua hal layak untuk diperbandingkan. Bukan semata katenaada perbedaan ekosistem dalam perspektif umum, tapi karena aada beberapa isu yang sensitif. Boleh jadi hasil perbandingan tersebut adalah sesuatu yang sifatnya nirmakna.
A="Enak zaman bosnya si X ya?"
B="iya betul betul. Kalau si Y gitu-gitu aja"
C=""Eh jeung, si M kemarin abis ke Greenland lho"
D="Wah keren ya, kayaknya gara-gara suaminya dapat bonus banyak pasca-proyek di Gabon"
E="Wah bayinya si N udh bisa bantu nyapu-nyapu"
F="Oiya? Hebat banget tuh. Kita malah belum punya bayi"
G="Ckck, Indonesia kok ga teratur gini y? Waktu aku studi S3 di Angola suasananya enak. Orangnya pada tertib-tertib."
H="Gue sepakat ama lw, orang Indonesia itu katro-katro. Pas gue ke Sri Lanka bulan lalu ada orang Indonesia bingung cara make vending machine"
I="Tim Auxerre sekarang ga sedahsyat jaman 2000-an dulu ya?"
J="Hooh, padahal dulu tuh si Auxerre pernah ampe lolos Liga Champions Eropa"
Tidak semua hal itu etis diperbandingkan. "Etis", ya sesuatu yang subjektif. Jauh lebih subjektif daripada membahas perbandingan yang "apple vs apple" ataukah "apple vs samsung". Etis menandakan adanya kondisi yang tidak semuanya akan menjadi lebih baik saat dibandingkan. Faktor utamanya itu sederhana, yaitu tidak semua orang (atau malah bukan "tidak semua" tapi "hampir seluruh) suka dibandingkan, apapun alasannya, apapun alibi perbandingannya.
Mungkin saja seseorang membandingkan dengan tujuan, yang menurutnya, mulia, yakni mengidentifikasi penyebab kegagalan. Boleh jadi alibi lainnya adalah melecut semangat. Tapi bagi pihak yang dibandingkan, terutama yang dalam posisi inferior, semua alibi, alasan, maksud, dll itu cuma bahasa diplomatis dari (kurang lebih) "loe payah". Bahkan, bagi orang membandingkan pun sebetulnya mereka dalam kondisi tidak puas dan menyatakan kepayahan orang yang dibandingkan, entah sadar atau tidak. That's the point. Diakui atau tidak, ketika seseorang sudah dibanding-bandingkan, dan ternyata dia inferior, maka dia yang tertanam di kepalanya adalah gue kerdil, siapa yang membandingkan, apa pernah gue banding-bandingin di dengan orang lain. Naif sekali jika ada orang yang dibanding-bandingkan ternyata tidak pernah berpikir salah satu dari ketiganya.
Coba saja tengok siswa berprestasi, kebanyakan mereka itu tumbuh dari lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi budaya mengapresiasi. Kalau diwawancara, sepengetahuan saya (yang cethek ilmunya) belum pernah ada yang alasan prestasi belajarnya. Pun dengan para figur wirausaha, dengan konteks serupa. Kalaupun ada "pembandingan", wujudnya adalah rasa iri dalam makna positif untuk mengejar ketertinggalan. Tapi rasa iri tersebut adalah inisiatif diri sendiri, bukan dorongan orang lain.
Penyebab orang membandingkan di era digital saat ini salah satunya adalah media sosial. Banyak orang langsung ngiler pada saat ada kawan sedang piknik kemana, sedang beli apa, sedang meraih apa. Rasanya manusiawi kok iri dengan suguhan tersebut. Tapi bila membuahkan perbandingan, agaknya perlu diingatkan bahwa dunia tidak seindah media sosial.
Pada akhirnya, kita perlu menimbang, mana yang layak dibandingkan mana yang tidak, mana hasil perbandingan yang etis disampaikan mana yang tidak. Jika tidak bisa ikut memperbaiki performa, setidaknya jangan menyinggung hasil perbandingan kepada si inferior. Yang lebih sederhana, lebih baik ubah kebiasaan membanding-bandingkan dengan yang lebih produktif, bahkan mending tidur siang.