Rencana dan Alasan Bercita-Cita

Setiap pekan selalu saja ada informasi loker alias lowongan kerja. Ada yang masih berkaitan dengan jurusan kuliah, yaitu informatika/ilmu komputer, ada juga yang mengajak move on ke bidang lain. Ada yang tidak menyebutkan tawaran gaji, ada juga yang blak-blakan mengumbar gaji sekian. Bidang kerja dan gaji. Ah dua hal itu sering jadi pertimbangan orang untuk bertahan ataukah hengkang tempat kerja. Bicara lokasi, orang bilang itu penting nggak penting. Suasana, wah kalau yang ini orang bilang itu bakal bergantung apa yang dikerjakan dan tentunya gaji. Kalau gajinya gede ya siap-siap saja suasananya penuh lembur.

Mungkin saya agak naif, terserah orang menilai. Namun secara pribadi saya memiliki pertimbangan tersendiri untuk bekerja. Gaji penting, bidang kerja juga penting, namun bagi saya suasana tempat kerja, akses untuk ibadah, serta akses untuk waktu berkeluarga merupakan harga mati yang kalau tidak ada ya mending nggak usahlah. Kan saya makan nasi, bukan makan hati alias tertekan dengan kondisi yang membuat saya tidak nyaman. Ahamdulillahnya, di Probindo AJ, kenyamanan suasana masih saya rasakan, orangnya ramah-ramah dan lucu-lucu (termasuk saya) hehee. Akses untuk ibadah, siplah, buat yang mau Dhuha tidak pernah ada larangan, dan bagi yang ketika adzan mau sholat jamaah di masjid, pintu sangat terbuka (tentunya pas kembali juga masih dibuka hahaa). Ketika ada urusan terkait orang tua pun sangat dimudahkan, termasuk saya ketika akan mengantar orang tua berangkat haji tahun ini. Namun bicara muara, saya memiliki obsesi tersendiri untuk menjadi... dosen...

Kenapa harus dosen?
Dari sekian banyak alasan, semua bisa diringkas menjadi tiga:


Lihat saja siapa dosen-dosen yang saya temui di bangku S1 dan S2
Di IT Telkom (s/k Universitas Telkom) saya bertemu (ada yang diajar, ada juga yang tidak) dengan orang-orang yang amaaaazing dalam wujud Ahmad T. Hanuranto, Agung Toto W, Suyanto, Soewono, Mahmud Dwi S, Fazmah Arif Y, Angelina Prima K, Endang Budiasih, Heroe Widjanto, Achmad Rizal, Kusuma Ayu L, Yanuar Firdaus, Iman Lukmanul H, Kemas Rahmat SW, dan masih banyak lagi. Oh ya, maaf tidak menuliskan gelar, nggak hafal soalnya.
Kemudian di semester kedua di Universitas Indonesia ini, saya berkesempatan untuk diskusi dengna sosok Riri Satria, Zainal Hasibuan, A. Nizar Hidayanto, Alex Ferdiansyah, Benny Ranti, dan pastinya ada banyak orang-orang inspiratif di sini.
Nama-nama di atas tidak hanya piawai di bidang keilmuan masing-masing, namun juga filosofi pendidikan. Walau sempat merasakan kerasnya suasana kuliah saat masih harus beradaptasi, namun favorit saya tentu pak Agung Toto, Benny Ranti, dan Soewono. Nama-nama tadi menjadi tokoh-tokoh inspiratif yang tidak sombong, sangat menghargai pendapat dengan style yang unik dan bermuara pada satu kesimpulan, dosen itu bukan pemberi score/index.

Senang dunia pendidikan
Kedua kakek saya plus ibu saya yang seorang guru maka mungkin juga ada DNA "guru". Hahaa, penjelasan yang kurang rasional sebenarnya. Namun terlepas dari hipotesis tidak ilmiah itu, saya akui bahwa saya sangat menyenangi pendidikan. Apalagi saya melihat dosen-dosen yang tidak sekedar pintar, tapi juga wawasannya terbuka dan sangat peduli dengan kondisi pendidikan saat ini. Terkait hal itu pula, saya punya ide "mempercantik" kurikulum di tempat saya mengajar nanti (semoga Universitas Telkom, aamiiin).

Sesuai 3 kriteria tadi
Tidak perlu banyak penjelasan di sini. Secara ringkas, saya menyaksikan dengna kepala sendiri bahwa dunia pendidikan, khususnya profesi dosen menyediakan suasana yang kondusif, akses ibadah yang OK plus akses keluarga yang lebih terjamin.

Bicara gaji tentu bakal panjang urusannya. Bahkan seorang kawan saya di PAJ menganjurkan agar tetap di dunia profesi dan menjadikan dosen sebagai sambilan jika memang karena faktor ingin. Alasannya sederhana, gaji dosen itu kecil. Secara pribadi saya mengakui bahwa finansial jadi faktor yang perlu dipikir masak-masak agar masakan di rumah terjamin keberadaanya. Dan terkait finansial ini, saya memilih untuk tawakal karena saya yakin Allah itu Maha Mencukupkan kebutuhan kita.

Nah bicara kebutuhan, saya sendiri belum pernah menerima detail kebutuhan minimal yang sifatnya konkret diperlukan. Orang bilang motor itu perlu, tapi buat saya (dengan status kos-kantor jalan kaki 15 menit, kos-kampus kereta 30 menit, maka motor bukan prioritas. Mobil? Masih belum memerlukannya (dan belum bisa mengendarainya hehee). Intinya seberapapun pemasukan kita itu tidak menjamin kebercukupan operasional kita. Ada orang gajinya "cuma" 1,5 juta tapi masih bisa kurban di hari raya, tapi ada juga yang bergaji belasan juta tapi tak mampu berkurban. Urusan gaji akan lebih baik jika didiskusikan dengan istri nanti #eh

Well, kemungkinan terburuk gagal menjadi dosen ataupun menjadi dosen tapi tidak di Universitas Telkom tentu ada. Itu hak prerogatif Allah, sedangkan hak saya adalah ikhtiar. :)

No Response to "Rencana dan Alasan Bercita-Cita"