Power Ranger; Bad in Design, but Amazing in Conflict Flow

Komoditas superhero yang beken sekian hampir tiga dekade membuat film ini banyak dinantikan. Tidak terkecuali oleh saya yang kebetulan perlu menunda ketemuan dengan seorang kawan sehingga ngegentayang di Kalibata, ya sekalian deh nonton. Sebagaimana saya duga di awal, film ini dituangkan dalam versi manusia dan genre laga, artinya jangan harap adegan berantem yang terlalu 'manja' atau bahkan bisa jadi ada percakapan yang kurang layak untuk anak-anak.

Dan memang benar, ada sebuah percakapan yang kurang cocok bagi anak usia di bawah 18 tahun, yaitu tentang identitas LGBT. Negara Rusia malah langsung menolak beredarnya film ini karena faktor tersebut. Bagi saya, hal ini terlalu aneh untuk disebut kebetulan mengignat di cerita asli, baik Mighty Morphin Power Ranger maupun Super Sentai tidak ada sama sekali superhero yang LGBT. Apakah ini strategi untuk mengampanyekan perilaku menyimpang tersebut, sulit disanggah. Kalau untuk urusan kedebak-kedebuk, harus diakui porsinya relatif seimbang dibandingkan macam Avenger ataupun X-men. Seimbang di sini bukan berarti aman sepenuhnya lho ya. Anak-anak harus memperoleh penjelasan dan pendidikan dari orang tua mengenai kelayakan untuk menirunya di dunia nyata.

Yang paling menonjol alias keunggulan film ini adalah suguhan konflik yang sedari awal sudah digebrak dengan sangat rumit. Tingkah ababil dan tempramen Jason menggiringnya ke sebuah kelas yang dihuni banyak anak bermasalah. Tapi bagi Jason, ini adalah berkah terselubung yang mengenalkannya dengan Billy dan Kimberly yang punya karakter berbeda. Pada akhirnya mereka terseret berjumpa Zack dan Trini yang menjadikan mereka paduan yang terlalu banyak perbedaannya. Bagi yang gemar mengamati topik kepemimpinan, perilaku dan emosi Jason patut menjadi studi kasus. Bagaimana dirinya menjadi konektor yang menggiring keempat rekannya mencapai tujuan bersama.

Antiklimaks justru terjadi pada desain visual baju zirah Power Ranger serta megazord-nya. Untuk baju zirah, tidak terlalu 'bersih' selaku protagonis. Ataukah sebagai gambaran latar belakang masing-masing yang hidupnya keras, mungkin saja. Tapi baju zirah ini menyimpan kekecean berupa proses transisi yang sangat ciamik. Sesuatu yang membedakan dengan lakon bioskop sebelumnya ataupun versi serial televisi, tentu eksistensi animasi komputer era saat ini. Tambahan lagi, topeng yang terbuka saat menunggangi megazord membuat kita kita menikmati bagaimana tiap aktor dan aktris menghayati peran mereka tanpa curiga apakah itu stuntman, entah kalau adegan berantem lainnya.

Megazord barangkali jadi pokok masalah terkait desain. Bukan masalah kesan rapi ataukah ganas/trengginas, namun kurang mencerminkan hewan yang diadopsinya. Sulit untuk mengenali bahwa megazord hitam itu gajah purba, kuning itu sabertooth, pink itu pterodactil, dan si biru adalah triceratops. Praktis hanya wujud si merah berupa tyranosaurus yang paling jelas. Well, semoga ada 'proses' evolusi yang menghasilkan desain lebih kece di sekuelnya nanti.

Sekuel...emang ada gitu//
Ya, sudah ada cuplikannya dengan sosok Tomi Oliver yang tentu membuat penasaran bagaimana proses dia masuk ke dalam skuad. Apakah 'magang' di rival sebagaimana versi serial televisi...

No Response to "Power Ranger; Bad in Design, but Amazing in Conflict Flow"