ການເດີນທາງກ້າຫານ Brave trip in Huay Xai [2]

Melihat ulasan wisata tentang Huay Xai di berbagai laman, saya sulit menjawa pertanyaan istri saya 'Emang di sana ada apa'. Hehehee, saya juga bingung lantaran objek-objek wisata yang menarik ada jauh di Luang Prabang dan Vientiene, bukan di Huay Xai. Di sisi lain, durasi yang kurang dari sehari juga menjadi pertimbangan untuk memilih tempat yang seefisien mungkin. Alhasil sebuah kuil bernama Wat Chomkao Manilat, makan siang di sebuah kedai, serta jalan-jalan menikmati suasana kota sederhana cukuplah menjadi pemuas rasa penasaraan sekaligus menaklukan tantangan. Saya juga sadar bahwa penampilan kami yang terlihat jelas identitas muslimnya akan menarik perhatian orang, plus negara ini menganut konsep komunis. Artinya kami perlu bijak dalam melangkah dan bertindak. Sayangnya ada satu ganjalanan yang baru saya sadari sesapainya di Huay Xai, jumlah anjing di sini kelewat banyak. Jelas membuat saya yang fobia anjing ini merinding. hohoo

Anak tangga menuju kuil Wat Chomkao Manilat. Suasana sakral langsung terpancar lewat patung naga yang moncer ini

Orang tua ingin mendokumentasikan pengalaman bertiga, tapi si mungil masih fokus menapaki anak tangga


Gambar di atas persis menunjukkan model arsitektur yang digunakan memiliki kemiripan dengan kuil-kuil di Thailand. Sepertinya akan ada semacam perayaan meningat beberapa dekorasi mencolok terpasang meramaikan kuil tersebut.

Si mungil tampak antusias di perjalanan ini [ya iyalah di bus udah puas tidur pulas]

Mata uang di Laos adalah Kip yang nilainya 'hampir setara' dengan Rupiah, tapi tidak persis 1 banding 1. Harga yang disertai ribu adalah hal yang lumrah sebagaimana harga-harga di Indonesia, misalnya nasi goreng di Indonesia yang harganya 10-13 ribu [yang standar]. Saya tidak sempat mencari info apakah Bath berlaku juga di sini atau tidak. Namun, saya menyempatkan menukar Bath ke Kip saat masuk ke border imigrasi. Selain memperkecil risiko 'kelaparan', siapa tahu sisa uang Kip-nya bisa jadi koleksi hehee. Oh ya, saya hampir tidak menemukan ATM di sepanjang kota ini. Memang ada beberapa, namun sekitar satu atau dua, itupun oleh bank domestik Laos. Artinya stok uang kartal harus dipersiapkan bila ingin wisata ke negara ini.

Kalau tidak salah, ini adalah papan nama dari sebuah sekolah teologi ke-Budha-an di Laos. Walau sistem politik menganut komunis, agama Budha dipersilakan berkembang di Laos.  

Lantaran Islam merupakan minoritas di Laos, kami sudah mengira akan kesulitan mencari tempat makan halal. Karena itulah, kami memilih membawa stok makanan dari penginapan. Praktis hanya nasi yang kami beli di sebuah kedai di jalanan kota Huay Xai. Saya sendiri sempat beberapa kali lupa bahwa ini adalah sebuah ibu kota provinsi lantaran suasanya yang masih asri mirip Margasari. Kalau saya ada kesempatan lebih lama, saya ingin mengamati lebih lama potret sosial budaya negeri ini.

Antara swafoto versus membaca tulisan yang entah bagaimana cara mengejanya

Sepulang dari perjalanan ini, kami sempat mengalami kendala di imigrasi Laos. Petugas mengira bahwa kami sudah menghabiskan jatah dua kali masuk Thailand. Sempat panik, saya berusaha mengklarifikasi bahwa jatah dua kali itu berlaku hanya untuk imigrasi darat. Tahun ini saya masuk ke Thailand pertama kali via pesawat [sambil memeragakan pesawat sedang landing dan jari membentuk angka nol], sedangkan beberapa hari lalu saya ke Tachileik/Myanmar melalui darat dan langsung kembali hari itu juga [sambil memeragakan jalan kaki dan jari membentuk angka satu]. Kali ini saya dari Laos menuju Thailand berjalan kaki sehingga hitungan dua kali baru berlaku [sambil memeragakan jalan kaki dan jari membentuk angka dua]. Si petugas masih bingung dan membuat istri mulai khawatir. Setelah bernego dalam bahasa Inggris ala Tarsan, akhirnya kami dipersilakan lewat dengan catatan imigrasi Laos tidak menjamin kalau imigrasi Thailand bakal menerima kami. Lantaran sudah membaca tentang regulasi tersebut plus 'peringatan' sewaktu keluar Thailand, saya optimis bisa masuk kembali ke Thailand. Di tengah jalan, istri bertanya 'Mas, beneran bisa kan'. Saya hanya tersenyum mengangguk. Alhamdulillah kami diterima masuk kembali ke Thailand disertai pesan dari petugas imigrasi di Chiang Khong bahwa jatah masuk lewat darat sudah habis.

#ArfiveLaos

No Response to "ການເດີນທາງກ້າຫານ Brave trip in Huay Xai [2]"