အလည်အပတ် di Tachileik, Myanmar [part-1]

Ini adalah salah satu mengapa ekpedisi bisa dibilang 'gila' [sebagaimana disinggung di artikel sebelumnya]. Bukan hal yang jamak, seorang backpacker membawa seorang istri dan anak kecil 2 tahun ke daerah perbatasan yang dia sendiri belum pernah melewatinya. Bahkan, perbatasan darat [iya, kami memasuki Myanmar lewat darat dari Thailand] pun belum pernah saya lalui. Plus, stigma SARA yang mungkin saja mengancam kami di daerah yang kurang teredukasi mengenai keberagaman manusia. Namun, alhamdulillah selama di Chiang Rai ini kami mendapatkan perlakuan yang ramah dan tidak ada sentimen negatif [catatan, istri saya berjilbab lebar].


Perjalanan dimulai Terminal Chiang Rai. Suasana tidak terlalu sepi, tapi tidak juga terlalu ramai. Yang pasti bersih lantai dan kursinya, sepertinya kondisi ini masih terpengaruh masa-masa renovasi mengingat beberapa sudut terminal dalam status 'maintenance'. Tidak perlu khawatir akan bingung menemukan bus mana yang harus kita kendarai. Arah/tujuan/jurusan bus di sana dilengkapi pula dengan tulisan latin. Carilah bus jurusan Mae Sai sebagaimana tampak di bawah ini. Yups, wujudnya seperti kopaja yang arah Kampung Rambutan-Pasar Minggu hohoo. Tapi urusan kebersihan mereka menang telak. Tidak tampak perokok sepanjang perjalanan dan tidak ada istilahnya 'nunggu kendaraan penuh'. Kalau sudah jamnya ya berangkat. Untuk tarifnya THB 39 per orang [kebiasaan saya membulatkan 1 THB = IDR 500, aslinya kisaran IDR 450-an. Setiap harga dalam THB akan saya bagi dua lalu bubuhkan 'ribu', sehingga 39 THB menjadi 19,5 ribu, genapkan lah 20 ribu].


Suasana di dalam bus, memang terkesna klasik/ala 90-an tapi tidak penting lah hal itu. Yang penting bersih dan aman.

Sepanjang jalan panorama alam seperti ini sangat mendominasi. Memang agak mengantukkan sih, makanya jangna lupa siapkan paspor karena akan ada dua kali pemeriksaan paspor oleh polisi setempat. Proses pemeriksaan tidak saya potret karena sifatnya privasi dan bukan sesuatu yang patut diumbar. Bus ini nantinya turun di terminal Mae Sai. Untuk menuju ke perbatasan/imigrasi, akan ada angkot khas alias tuktuk yang bertarif 15 THB. Total dari terminal Chiang Rai s.d. depan imigrasi berarti 54 THB per orang. Kalau kalian sempatkan belanja macem-macem kayak pisang goreng, perkedel jagung, atau bahkan luwak w*hitec*offee yang nyaman di lambung ya tentunya bakal melonjak. 


Jalanan menuju perbatasan dan imigrasi. Perhatikan aksesori menyilang pada tugu yang di tengah jalan. Bentuknya khas sekali. Jalanannya juga tidak terlalu macet. Buat yang beranggapan Thailand itu macet lantaran pikniknya hanya di Bangkok, buang jauh-jauh prasangka itu.


Setelah melewati imigrasi keluar Thailand [yang tentunya kita tidak boleh foto-foto dan mainan HP, apalagi mengerjakan paper], maka kita akan melintasi jembatan yang memisahkan dua negara ini. Jangan lupa berpindah ke seberang kanan jalan. Thailand menganut mahzab kendaraan sebelah kiri [seperti di Indonesia] sehingga kantor imigrasinya pun sebelah kiri jalan, sedangkan Myanmar menganut sebelah kanan. Pada foto di atas bendera Thailand masih berkibar jelas, sedangkan samar di ujung jalan adalah bendera Myanmar.

Oh ya, saya sendiri merasa kagum karena suasana perbatasan di sisi Thailand ini tidak seperti daerah terpencil. Entah karena Chiang Rai ini cukup terkenal sebagia objek wisata sehingga pembangunannya maju atau bagaimana ya. Infrastruktur di tepi Utaranya Thailand ini relatif memadai, bisa dibilang setara Soreang atau bahkan Cimahi lah. Mengenai batas tersore kendaraan saya sendiri kurang tahu. Saran saya upayakan berangkat dari pusat kota Chiang Rai sekitar jam 7 pagi dan pastikan maksimal jam 4 sore sudah kembali lagi ke Mae Sai.

#ArfiveMyanmar

No Response to "အလည်အပတ် di Tachileik, Myanmar [part-1]"