สวัสดี Bangkok [4] Panaaaas dan Lelah

Ini bukan objek wisata yang kami kunjungi, melainkan tempat kami bertanya mengenai nomor bus untuk melanjutkan perjalanan lantaran bus kami ternyata memutar balik 

Hari pertama kami jadikan pula sebagai tolok ukur mengenai kondisi transportasi di Bangkok. Hasilnya, kami memutuskan skenario transportasi umum untuk pagi hari dan transportasi semi-pribadi untuk sore/malam hari. Masing-masing berdasarkan pertimbangan yang panjang. Transportasi umum di pagi hari dimaksudkan sebagai strategi untuk menekan pengeluaran lantaran transportasi semi-pribadi relatif mahal. Pagi hari seharusnya fisik kami masih bugar sehingga lebih fleksibel dengan kondisi jalanan yang panas, opsi jalan kaki saat berganti jurusan, dan juga menebak-tebak kapan harus turunnya. Saat sore hari, tentu fisik sudah terkuras sehingga kami merencakan transportasi semi-pribadi alias ridesharing sebagai alternatif sehingga tidak perlu banyak berpikir proses transit plus AC mobil yang bisa membantu kami memulihkan badan.

Beginilah seragam para supir dan kernet bus-bus di Thailand. Terlihat formal untuk ukuran negara berkembang seperti Indonesia. Jika jeli, tampak alas bus memakai kayu, wah kuat juga ya teryata. Yang sedang dipegang oleh mereka adalah tabung yang berisi uang-uang koin Bath serta gulungan tiket penumpang. 

Perjalanan dimulai dengan menunggu di sebuah halte bermodalkan petunjuk dari Google Maps serta website-website tentang jurusan transportasi umum di Thailand. Saya sendiri lupa persisnya kami harus naik bus yang mana, namun nomor bus tersebut tidak muncul-muncul. Tidak seperti bus di Chiang Rai yang menyediakan huruf latin dari rutenya, bus di Bangkok hanya memasang angka latin sebagai petunjuk. Catatan pula, tidak semua orang Thailand bisa berbahasa Inggris yang artinya kita harus siap dengan bahasa tarzan ataupun semacam gugu gaga-nya Boss Baby. Gundah dan gelisah sekian menit, akhirnya kami memutuskan naik bus nomor lainnya yang harus dilanjutkan dengan transit ke bus lainnya. Beruntung bus yang kami naiki menyediakan AC sehingga kami bisa menikmati macet dengan agak nyaman. Iya 'agak' doang lantaran yang namanya macet ya nggak ada yang nyaman. Kami harus menghabiskan dua jam perjalanan utuk menuju bundaran Democracy Monument. Bahkan saya yang sangat tidur-able saat naik bus pun sudah dua tiga kali tidur tapi belum sampai juga. Hahahaa, fix lah saya nggak ada niat menjadikan Bangkok sebagai domisili.

Democracy Monument, kalau ada waktu saya ingin memelajari nilai sejarahnya


Sebuah bundaran yang agaknya mirip Bundaran HI menjadi kawasan kami untuk transit. Kami tidak sekadar turun bus lain berganti bus, tidak semudah itu. Jalan kaki, naik jembatan, jalan kaki, turun jembatan, serta mencari nomor bus berikutnya menjadi agenda yang sangat menguras tenaga. Rasanya, Bangkok ini memang patut dijadikan saudara kembar Jakarta hohoo. Perjalanan makin suram lantaran setelah hampir setengah jam jalan kaki, kami sampai di depan istana Vimanmek dengan respon bijak penjaga keamanan bahwa istana ini sedang diperbaiki.

Suasana di depan Istana Vimanmek

Jeng jeng jeng, rasanya itu ahsudahlah. Praktis kami segera bergegas menuju Grand Palace. Perjalanan ke objek wisata tersebut pun diwarnai teriknya mentari plus antre membeli kudapan di Sevel yang masyaAllah ya Allah ya Robb.

Terlihat jelas saya 'dioven' panasnya Bangkok walaupun saat ini cuacanya relatif berawan. Oh ya, yang di belakang saya itu foto-foto raja pendahulu beserta ratunya dan juga raja sekarang.


No Response to "สวัสดี Bangkok [4] Panaaaas dan Lelah"