Menikah sebagai Manifestasi Rukun Iman [2]

Masih seputar kaitan menikah dengan rukun iman pertama, yaitu uman kepada Allah SWT. Kali ini berkenaan dengan makna cita-cita yang sering digaungkan sesama muslim bila ada saudaranya yang menikah, yaitu menjadi keluarga yang sakinah mawadah warohmah. Lha, hubungannya dimana?

Pertama kali frase tersebut sebagai sebuah cita-cita alias doa, siapa yang berhak dan berwenang mengabulkannya dengan penuh keridhoan? Hanya Allah

Kedua, frase tersebut ditinjau secara  historis-filologis, hasil rangkaian tiga kata utama (ini sumbernya):
  • Sakiinah artinya tenang, tentram
  • Mawaddah artinya cinta, harapan
  • Rahmah artinya kasih sayang dan satu kata sambung wa yang artinya "dan"

Ada pula pemaknaan dari sumber berikut
  • Pengertian Sakinah : Sakinah menurut bahasa berarti kedamaian, ketenteraman, ketenangan, dan kebahagiaan. Dalam sebuah pernikahan, Pengertian sakinah berarti membina atau membangun sebuah rumah tangga yg penuh dengan kedamaian, ketentraman, ketenangan dan selalu berbahagia.
  • Pengertian Mawaddah : Mawaddah menurut bahasa berarti Cinta atau harapan. Dalam sebuah Pernikahan, Cinta adalah hal penting yang harus ada dan selalu ada pada sebuah pasangan suami Istri. Dan Mawaddah berarti Selalu mencintai baik dikala senang maupun sedih.
  • Pengertian Warrohmah : Warrohmah memiliki kata dasar rohmah yang artinya kasih sayang. dan kata wa disini hanya sebagai kata sambung yang maknanya dan. Didalam sebuah keluarga, kasih sayang adalah hal penting yang harus ada dan selalu di jaga agar impian menjadi keluarga bahagia bisa tercapai.

Sakiinah menjadi sebuah kondisi yang dicapai melalui keterikatan terhadap Allah dimana iman yang kuat sehingga Allah SWT akan memberi ketenangan dan kebahagiaan. Masalah yang kerap timbul adalah menganggap pernikahan sebagai urusan duniawi yang bisa dipisahkan dari urusan kepada Allah. Kondisi ini kerap menjadi kedua belah pihak tidak lagi berpedoman pada "pernikahan untuk-Nya", dan bila sebuah aktivitas sudah tidak dinafasi niat untuk ibadah, maka menjadi blunder dan bom waktu.

Mawaddah pun menjadi anugerah yang tidak bisa dibarter dengan berbagai mata uang. Akan muncul tantangan dalam mengatur prioritas. Teorinya cinta kepada Allah itu tetap nomor satu, barulah disusul kepada Rasul, bukan malah diselip oleh suami/istri. Itu teorinya, namun tatkala berjalannya rumah tangga akan muncul berbagai ketidaksengajaan dalam merekayasa prioritas tersebut, mungkin berkedok "membahagiakan keinginan suami/istri", "ah, sholat sunnah kan kalau ditinggalkan ya kagak dosa", ataupun "ahhh, pusing nih ngatur duit buat makan, tidur dululah, tadarusnya besok ajah". Sehingga perlu manajemen cinta yang terarah, salah satunya dengan kesadaran dari kedua belah pihak tentang apa yang menjadi prioritas utama dalam mengelola rumah tangga. Apabila keduanya sama-sama menyadari prioritas utama tetap kepada Allah maka rasa cinta diantaranya bukannya menukik tajam, justru akan saling mendukung agar suami/istrinya bisa makin menyayangi Allah dan sikap saling mendukung itu yang akan menjaga rasa cinta diantara keduanya.

Warrohmah turut memberi andil yang signifikan namun menurut rekan-rekan yang lebih ahli, rasa sayang justru baru muncul setelah sekian lama menjalani rumah tangga, itupun tidak ada indikator yang definitif mengenai waktunya, namun lazimnya terjadi setelah melalui proses yang panjang, berliku, dan penuh halang rintang. Sebagai contoh, bagi seorang anak, rasa sayang terhadap orang tua tidak muncul ketika fase balita, melainkan tatkala telah menjalani berbagai konflik batin tatkala perbedaan pendapat dengan orang tua, merantau jauh dari orang tua, menyaksikan pengorbanan orang tua. Well, ini bukan FT*V, namun serupa dengan itulah bagaimana suami dan istri saling membina hingga "warrohmah" bersemayam diantara keduanya. Dan tak dapat dipungkiri, peran Allah tiada batasnya dalam memunculkan rasa sayang ini.

Wallahualam

No Response to "Menikah sebagai Manifestasi Rukun Iman [2]"