Devide et Impera

Era social media selain menyimpan manfaat memang menyertakan pisau tajam di dalamnya. Banyak permasalahan yang timbul dikarenakan social media, misalnya terumbarnya hal seharusnya bersifat privasi, kesalahanpaham dalam mencerna informasi yang berujung ketersinggungan hingga hal-hal lain yang ternyata jug amenjaga peluang untuk adu domba. Adu domba? Kayak pernah denger deh, ini taktiknya VOC alias kumpeni yang juga dikenal dengan istilah devide et impera ya? Lho? Bukannya VOC udah bubar? Kumpeni kan cuma ada di buku sejarah :v Eitss, ternyata banyak Kumpeni Lama Bersemi Kembali, taktiknya mereka sama, yaitu mengadu domba, hanya saja yang diadu domba bukan lagi raja ini dengan raja itu, melainkan seluruh pengguna social media, nah lho? Kunaon itu teh?

Adu domba melalui social media ini memang bukan hal yang bisa ditelusuri dengan mudah, kenapa? Proses menghilangkan jejak sangat mudah, malah proses bikin akun social media pun sangat singkat. Selain itu, karakter calon "domba" yang mau diadu pun tentunya sudah bisa ditebak. Karakter masyarakat Indonesia dalam memakai social media relatif addict (termasuk saya juga sih hehee), sangat responsif (atau malah latah ya?) terhadap info yang sifatnya uptodate dan temporer, dan sangat subjektif dalam memberikan penilaian atas konten yang tersebar. Info yang uptodate dapat terlihat ketika kasus info tips pemakaian masker yang hanya boleh satu sisi, dan ternyata setelah terlanjur menyebar dna menimbulkan keresahan karena banyak pengguna yang memakai kedua sisinya waswas (mungkin hingga tidak bisa tidur, ekskresi jadi tidak lancar, nafsu makan hilang), justru di kemudian hari muncul artikel yang menyatakan bahwa pemakaian "side A dan side B" tidak masalah. Ini baru isu masker, berbagai tips kesehatan pun banyak yang simpang siur. Boleh jadi sikap berprasangka baik atas konten yang di-share temannya menjadikan syarat "cek sumber" malah diabaikan. Nah, kembali ke devide et impera alias adu domba.

Salah satu karakter yang tidak disebutkan di atas adalah adanya sentimen terhadap isu yang menyangkut kelompok (sori bila subjektif). Di satu sisi, ini menjadi indikasi positif bahwa masyarakat Indonesia (sebagian besar) mempunyai kecintaan terhadap apa yang menjadi identitasnya. Namun di sisi lain, hal itu juga menjadi komoditas yang menggiurkan untuk memecah-belah persatuan. Tidak semuanya mengarahkan kita ke arah sikap bertoleransi. Berbagai artikel yang beredar di social media juga sukses memaksa kita (tanpa sadar) menanggalkan sikap berprasangka baik dan malah mengedepankan emosi dengna bereaksi keras terhadap konten-konten yang menggiring ke arah propaganda sentimen golongan. Masyarakat Indonesia sangat majemuk, bukan hal yang mudah untuk menjaga keanekaragaman ini dalam bingkai kedamaian bertoleransi. Isu suku dan kedaerahan menjadi isu yang lezat untuk saling ejek dalam topik sepakbola antarklub daerah, bahkan yang satu provinsi. Perbedaan agama dianggap hal yang menodai golongan tertentu sehingga tanpa basa-basi sikap saling laknat lebih dikemukakan.

Isu pembantaian tanpa rasa kemanusiaan oleh suatu golongan diobral secara rinci, dipublikasikan oleh suatu page ataupun akun dengan tujuan membangkitkan emosi kebencian terhadap golongan (yang dicitrakan) sebagai antagonis versi akun tersebut. Berbagai nama orang yang asal bikin ditambah foto yang entah darimana sumbernya dijadikan bumbu "pedas" sehingga makin memerahkan kepala pembacanya. Padahal nama itu sendiri fiktif, plus foto tersebut diambil dari insiden lain di tempat lain yang tidak nyambung dengan apa yang jadi pembahasan artikel tersebut. Well, sikap keengganan untuk meng-crosscheck narasumber akhirnya benar-benar jadi faktor yang memuluskan "Kumpeni-Kumpeni" modern itu untuk mendoktrin kita dengna sikap penuh kebencian terhadap sesama manusia. Kebencian itu sepintas rapi dibungkus sikap peduli satu golongan dan fanatik terhadap identitas. Padahal sikap kebencian inilah bom waktu yang menjadikan kita perlahan menjauhi sikap penuh kedamaian. Yang fanatik jadi buta, yang kurang fanatik jadi enggan dengan suasana demikian. Yesss, taktik "adu domba" sukses berat broo.. :(

Maka, apabila ada informasi yang menyinggung SARA, konfirmasi dulu kebenarannya. Salah-salah, itu akan jadi bom waktu yang menghancurkan peradaban kita -_-

No Response to "Devide et Impera"