Euro 2020 dengan Tuan Rumah "Keroyokan"

Lazimnya sebuah turnamen antarnegara diselenggarakan di sebuah negara saja dengan pertimbangan waktu akses yang mengarah kepada kemudahan peserta turnamen dan tentunya kepanitiaan. Karena itulah, dalam sejarahnya sangat jarang ditemukan dua negara atau lebih berkolaborasi menggelar turnamen antarnegara. Bahkan untuk turnamen semacam SEA Games, Asian Games, hingga Olimpiade hanya ada satu kota yang ditunjuk sebagai tuan rumah. Tapi memang di kemudian hari ada beberapa kota penyokongnya.

Kemunculan tuan rumah hasil kolaborasi barangkali digagas pertama kali oleh UEFA dengan menunjuk duo Belanda dan Belgia sebagai tuan rumah Euro 2000. Faktor kemiripan budaya menjadikan keduanya tidak terlalu sulit menggelar turnamen tersebut, bahkan memancing UEFA dan organisasi lainnya menggelar turnamen di beberapa negara bersamaan. Malahan, UEFA kecanduan ide kolaborasi dengan menunjuk Austria dan Swiss serta Ukraina dan Polandia sebagai tuan rumah Euro 2008 serta Euro 2012. CAF alias UEFA-nya Afrika pun pada tahun 2000 pun turut menunjuk Nigeria dan Ghana sebagai tuan rumah diikuti tahun 2012 yang dihelat di Gabon dan Guinea Ekuitorial. Bagaimana dengan AFC? Lebih gila malah dengan menunjuk empat negara sekaligus sebagai tuan rumah Piala Asia 2007, yaitu Indonesia, Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Comnebol, Concacaf, dan OFC sejauh ini belum menunjukkan gelagat penunjukan resmi tuan rumah bersama.

Yang lolos sebagai tuan rumah adalah warna hijau, abu-abu gelap, dan kuning. Sumber gambar: https://en.wikipedia.org/wiki/UEFA_Euro_2020#Venues



Lagi-lagi harus diakui bahwa Eropa, lewat UEFA, masih jadi kiblat dalam urusan inovasi kebijakan persepakbolaan. Tak puas menghelat turnamen di dua negara. UEFA untuk tuan rumah EURO 2020 menunjuk 13 kota mewakili 13 negara sebagai tuan rumah "keroyokan" di Euro edisi 60 tahunnya Piala Eropa. Kota-kota itu adalah Bilbao (Spanyol), Roma (Italia), Muenchen (Jerman), Brussels (Belgia), Amsterdam (Belanda), Glasgow (Skotlandia), Dublin (Irlandia), Kopenhagen (Denmark), St. Petersburg (Rusia), Budapest (Hungaria), Bukarest (Rumania), Baku (Kazakhstan), serta London (Inggris). Kebijakan yang tentu sangat unik karena sebagai pembelajaran bahwa 4 negara tuan rumah Piala Asia 2007 mengalami masalah dari sisi kerapian administrasi dikarenakan budaya negara yang sangat berbeda serta akses transportasi yang tidak terlalu mudah. Kebijakan ini juga diprotes keras oleh Turki, negara yang gagal terpilih sebagai tuan rumah di Euro 2020, 2016, 2012, dan Euro 2008. Kasus kegagalan menjadi tuan rumah di Euro 2020 malah lebih menyesakkan karena mereka tadinya calon tunggal sebelum mendadak muncul ide "keroyokan" yang jelas diminati banyak negara. Buntutnya, Turki bahkan enggan mengajukan kotanya sebagai tuan rumah keroyokan tersebut. Padahal negara sekecil Makedonia, Israel, Belarusia, hingga Wales pun turut mendaftarkan diri walau akhirnya berguguran.

Terlepas dari kontroversi itu, ide ini memang harus dibilang "brilian". Betapa tidak, dengan selisih kekuatan infrastruktur negara yang ada, negara macam Hungaria, Rumania, bahkan Azerbaijan jelas peluangnya kecil untuk terpilih menjadi tuan rumah Euro. Memang politik pemerataan ala Platini sangat menundang simpatik. Bagaimana dengan Prancis, Portugal, hingga Swiss yang punya infrastruktur bagus tapi tidak ikut andil? Faktor sebagai penyelenggara dari kurun 2004 menjadi alasan mereka harus menepi. Dan jangan lupakan faktor ekosistem ala Uni Eropa yang lebih solid daripada ikatan ASEAN. Faktor ini agaknya mendorong UEFA lebih berani walaupun pengalaman 4 negara ala AFC jelas pantang dikesampingkan begitu saja.

No Response to "Euro 2020 dengan Tuan Rumah "Keroyokan""