Setahun mengarungi hidup di belantara fase dunia kerja tahap 2. Ya, tahap pertama selama 2 tahun di Probindo Artika Jaya Group dilanjutkan dengan sebuah jeda nyaris setengah tahun berstatus "tanpa pekerjaan tetap", memang ada sejumlah upaya nyetar-ap, namun chemistry yang kurang nyambung plus kesibukan membangun pondasi rumah tangga membuat beberapa kolaborasi kandas. Namun bukan kegagalan dalam wujud itu yang ingin saya ulas di sini. Kegagalan yang saya maksudkan adalah ketidaksinkronan antara mata sebagai cerminan keinginan dengan langkah sebagai perlambang kenyataan.
Tentu hal yang ideal jika kita menginginkan sesuatu dan mampu mencapainya. Ibaratnya kita ingin menuju ke X dan langkah kaki juga ke arah X. Tapi bagaimana jika tidak? Saya bersyukur atas apa yang Allah titipkan ke saya, termasuk beberapa "insiden" yang di luar dugaan, insiden yang awalnya terasa hambar ala kegagalan, namun di kemudian hari justru syahdu penuh syukur.
Masuk kuliah S1 pun saya sudah dilanda perbedaan antara mata dengan langkah. Idaman kuliah di STIS ngilu karena seleksi di kualifikasi Olimpiade Statistika berakhir pilu. Upaya menegarkan diri berbuah langkah yang tergiring masuk IT Telkom, bahkan hanya bermodalkan istikharoh dan dipamungkasi dengan komitmen tidak ikut campur di SNMPTN. Sepanjang 5 semester awal, saya terus menatap STIS walau kaki jalan (di tempat) pada tepi kampus IT Telkom.
Lulus S1, saya menjadi "penjaja" CV yang mengais minat berbagai perusahaan untuk menggaet saya. Tidak banyak kemujuran yang terjadi karena dari sekitar 30-40 alamat email yang saya tuju, hanya membuahkan 4 pemanggilan. Itu pun hanya membuahkan 1 spot di Jakarta Selatan yang awalnya tidak ada di peta prioritas saya. Dua pekan pertama saya di PAJ Group adalah kisah "horor" karena saya tidak mengerti bagaimana menjalani kehidupan di lajur tersebut. Belum lagi faktor eksternal berupa "toba fushima" :/. Singkat kata, kaki dan mata masih berbeda arah. Namun siapa mengangka saya mampu bertahan hingga 2 tahun, melebihi estimasi 3 bulan di awal saya di situ. Banyak pengalaman yang mengasah diri ini mempelajari web development, project management, hingga kesempatan "berbagi waktu" sore hari untuk ber-S2. Harus diakui banyak tugas-tugas out of scope dari kontrak sebagai web programmer, misalnya kru logistik workshop, socmed analysis, dan tentunya menulis plus belajar tentang ekonomi kreatif dari para pakar.
Perjalanan di hilir S2 menggiring saya ke pilihan sulit, menambah durasi eksistensi saya di PAJ Group ataukah menjadi "pengangguran" dalam rangka mengejar penyelesaian Karya Akhir. Keputusan "gila" (menurut banyak teman, namun coba saya hibur diri ini dengan keyakinan. Muara S2 ternyata tidak serta merta memudahkan saya berkarir di industri TIK. Satu per satu CV yang saya sodorkan tidak cukup menggoda berbagai pihak yang dituju. Praktis hanya ada 4 balasan yang membuat saya pontang-panting dari Bandung ke Jabodetabek. Dua perusahaan e-commerce tidak bisa menampung saya, dan sebuah perusahaan konsultan IT di Bandung pun belum bisa memberikan jawaban lebih lanjut. Sebuah respon untuk bergabung di sebuah proyek dosen ternyata menjadi dermaga berikutnya untuk berselancar dan mengembangkan diri. Gelisah lantaran modal gelar magister terasa "kurang laku" menjadi representasi bahwa mata terlalu sibuk memandangi obepjek yang bukan menjadi lajur kaki kita hendak melangkah.
Barangkali pengalaman itu uang membuat saya mencoba tegar tatkala ada beberapa kegagalan menjanggali batin. Saya optimis bahwa Allah selaku Maha Sutradara punya rencana terbaik untuk kita. Saking terbaiknya, kadang kita terlalu sok tahu dalam menilai rencana itu.