Cyclone e-Ffect Really? [2]

Melanjutkan tulisan sebelumnya tentang Cyclone e-Ffect di beberapa artikel sebelum ini. Saya menyebutkan bahwa permasalahan saat ini memang diawali dari adanya produk/layanan TIK, tapi konflik yang terjadi ada pada aspek sosial, baik ekonomi, politik, komunikasi, hukum, hingga juga pemerintahan. Di awal ini, saya menegaskan saya tidak bermaksud "cuci tangan sebagai orang yang terlibat di industri TIK", saya justru mencoba melihat dari perspektif lebih luas. Bahkan dari awal kisruh sekian bulan yang lalu pun, justru lebih banyak orang sosial yang mengemukakan opininya, justru pakar dan akademisi TIK lebih banyak diam. Apakah faktor orang sosial-humaniora lebih berkarakter dalam menyampaikan pendapat? Tidak juga. Ini ada bukti bahwa sisi sosial lebih mengalami "kekisruhan", dan tentu saja karena keributan yang ada bukan urusan aplikasi (secara langsung) yang salah koding ataupun ada celah keamanan.

Ditilik dari sisi ekonomi-bisnis, pertanyaan saya sederhana, mengapa kalangan manajerial angkot, taksi, dan ojek konvensional (kita singkat 'ATOK') justru nampak adem ayem? Hal yang aneh menurut saya karena banyak armada ATOK yang mengeluh turunnya penggunaan ATOK oleh masyarakat sehingga pendapatan menurun. Lha apa manajemennya nggak kena imbas? Apakah ada indikasi gaji medium and top manajement (termasuk owner) sudah terlanjur aman (misalnya flat bulanan) sehingga mau sepi sekalipun dapur mereka tetap mengepul? Jika iya, saya sudah bisa memastikan bahwa manajemen ATOK sulit sadar bahwa mereka sedang di tengah ladang gandum yang tengah kerontang. Saya sepakat bahwa tarif transportasi online mematuhi standar yang ditetapkan pemerintah (pemerintah, via dinas terkait, bukan via paguyuban tertentu). Namun saya juga berharap agar tarif yang berlaku juga ditinjau. Apakah jangan-jangan tarif tersebut hanya memenuhi kerongkongan birokrat yang tidak bertanggung jawab. Saat tarif transportasi online murah, mereka dituduh tidak membayar pajak dan biaya perizinan. Tpi pajak dan biaya itu ternyata relatif murah, termasuk bagi pengelola angkot sekalipun. Nah, berarti ada apa di sini?

Apakah tukang nasi goreng yang baru jualan tidak boleh memasang harga Rp 11.000 hanya karena di sekitarnya memasang Rp 15.000? Bukankah laku 20 item dengan laba masing-masing 1.000 lebih menguntungkan daripada laku 3 item dengan masing-masing 5.000?

Aspek pemerintahan dan hukum plus politik, ah sungguh paduan yang "racun madu" banget hehee. Sikap antara Kemkominfo dan Kemenhub agaknya menambah panjang catatan tidak kompaknya antar-lembaga pemerintahan. Tampak keduanya saling tunggu gedung sebelahnya mengeluarkan kebijakan. Sebelahan? Iya mereka gedungnya sebelahan, hebat kan? Secara umum, beberapa regulasi di Indonesia memang relatif "kuno" dari sisi zaman yang sudah memasuki era digital. Permasalahannya, di dunia hukum ada dua mazhab yang abu-abu, "selama tidak dilarang, maka boleh" serta "selama tidak dibolehkan, maka dilarang". Nah, ketika hal-hal tentang digital belum diatur (dilarang enggak, dibolehin nggak) maka pro-kontra akan terus semarak, ya tergantung apa untungnya bagi kita. Pemerintah kita masih banyak yang menjadi pengikut setia dokumen Rencana, baik RPJP, RPJM, Renstra, termasuk MP3EI. Mau tidak mau, pemerintah perlu mengkaji aspek-aspek digitalisasi di berbagai aspek, termasuk urusan dagang, melalui Rencana-Rencana tadi. Selama tidak diakomodasi, sulit mendobrak birokrasi (yang selalu menanyakan "ini dasarnya apa?" ataupun "ini memang direncanakan?")

Terakhir, tapi cukup fundamental, yaitu pendidikan. Masyarakat kita sudah membuktikan bahwa inilah hasil pendidikan kita, baik pendidikan formal maupun pendidikan non-formal. Perilaku anarkis, sikap menghujat, sikap apatis, sikap pragmatis, sikap diadu domba, itu semua cerminan dari realitas yang sidahlah tidak perlu naif menyembunyikannya.

Pelajaran yang bisa dipetik
Apapun pekerjaan kita, kita wajib mengestimasi apakah TIK akan mengancam eksistensi kita di dunia profesi. Tukang pos, produser kaset, tukang cuci cetak foto, hingga operator jalan tol, sudah merasakan betapa teknologi perlahan meminggirkan kesibukan mereka. TIK mungkin mahal di awal, tapi jangka panjang bisa lebih hemtpat daripada manusia. Lantas bagaimana kita bertahan hidup? Pendidikan menjadi faktor penentu di sini. Bukan sekedar IPK tinggi untuk melamar kerja, tapi menata mental pribadi dalam masyarakat yang dinamis.

No Response to "Cyclone e-Ffect Really? [2]"