Karena Saya yang Menjalaninya

#catatan ini diawali sejak pagi hari ini

Well, setelah nyaris tak brdaya melawan rasa kantuk, akhir segelas kopi susu (bukan kopi dangdut) yang saya tenggak via menyeruput sekitar 10 menit (penting banget ga sih?) akhirnya saya bisa meneruskan aktivitas magang saya. Diawali penyusunan laporan di bagian company profile, dan pekan ini saya menargetkan analisis COBIT sudah selesai dikerjakan. Hasil dari analisis COBIT ini akan saya kolaborasikan dengan EAP dan direaksikan dengan Zachman dan bila memungkinkan TOGAF dan ai-ti-ai-el (sengaja saya tulis cara membacanya agar tidak salah persepsi) untuk menghasilkan rekomendasi IT governance di Disparbud Kota YK ini. Dan target selama liburan dimana brosur company profile ICTN dan menyelesaikan seluruh tugas tertulis dari CD ke D juga menjadi hal yang harus bisa diselesaikan sebelum musim 2011/2012 putaran genap dimulai.

Liburan tinggal menghitung hari. Namun bagi saya liburan kali ini ibarat celana ¾. Namun manfaat dan hikmah harus dioptimalkan agar tidak tenggalam dari sisi negatif dari pilihan yang kita comot. Pilihan magang di liburan ini tentunya harus memenggal beberapa kisah kasih bersama sahabat-sahabat saya. Ga bisa ikut ke Borobudur bareng BPHagnificent+NisaChaeAzwar, ga bisa nonton sidang bang Bilhasry (satu dari empat orang di luar Kominfo 2010 yang yang paling sering menjadi tempat sharing saya tentang perkominfoan), ga bisa juga nonton sidang beberapa rekan angkatan 2008, gli specialle IF-32-01, ga bisa juga ikutan thowaf Brebes Tegal Slawi bersama kawan-kawan BTS. Mungkin banyak yang “ga bisa”-nya yang bila dikompilasi tebalnya melebihi novel favorit saya Ranah 3 Warna. Yoyoi, namun karena saya yang menjalaninya, maka saya harus bisa berpikir positif.

Karena saya yang menjalaninya maka saya harus komitmen terhadap opsi yang saya pilih. Yang saya pilih opsinya, maka efek yang terjadi pun mau tidak mau ikhlas saya hadapi. Percayalah skenario Allah itu misterius namun gemilang. Untuk memajukan Kabupaten Tegal, seandainya (tapi naudzubillah jangan sampai terjadi) kegagalan saya sebagai mahasiswa di tanah Pasundan bukanlah masalah karena banyak Putra/Putri Tegal yang kuliahnya lebih sukses daripada saya. Kegagalan saya kuliah (naudzubillah lagi) bila menyia-nyiakan SPP 5 juta per semester mungkin tidak akan diungkap dengan tangisan ibu saya di hadapan saya, entah di belakang. Yang pasti secara kalkulasi, kesuksesan akademik dua putra ibu saya yang lain mungkin bisa menutupi (meski tidak bisa mengobati) luka ibu saya. Namun sekali lagi, karena saya yang menjalani, maka sebuah pemikiran egois dalam arti positif perlu digalakkan dengan bijaksana.

Apa orientasi kita yang telah merelakan waktu bermain kita, waktu kita untuk ibu-ayah-saudara-keluarga di tanah rantau? Motif berupa keinginan membangun daerah asal, hasrat ingin membahagiakan orang tua menjadi dominasi yang menguasai benak kita. Namun sadarlah bila kegagalan kita masih bisa ditutupi kesuksesan saudara yang lain bagi ibu kita, kegagalan kita masih bisa dilupakan melalui kesuksesan kawan satu kampung kita. Namun kita hanya punya diri kita sejumlah satu, artinya bila kita gagal maka diri kita tidak punya manusia alternatif yang bisa sukses menutupi kegagalan ini.

Masyarakat mudah melupakan kegagalan kita dengan prestasi orang lain. Ibu kita masih bisa berbohong menutupi kesedihannya bila kita gagal, mungkin ktia bisa merasakannya bisa jadi tidak. Namun bila kita gagal mana mungkin kita membohongi kita? (beberapa kalimat terakhir ini merupakan cuplikan dari motivasi saya selaku Sekretaris Umum HMIF 2011 pada pleno terakhir di VIP B) Dan seperti jokes yang saya kutip dari film 3 idiots, “kita sedih bila teman kita gagal sedangkan kita sukses, namun ktia lebih sedih bila teman kita lebih sukses dari kita (CMIIW)”, agak kocak juga tapi dalam logika matematika dan filosofi disimpulkan bahwa kita harus senantiasa mempertinggi prestasi. Sekali lagi egois dalam arti positif perlu digalakkan secara bijaksana. Bila orientasi kesuksesan kita “hanya” menyenangkan orang tua, maka kita akan kehilangan arah bila orang tua kita kecewa dengna hasil ikhtiar kita sehingga kita malah menghalalkan segala cara. Maka saya maksudkan egois dalam arti positif adalah bagaimana kita mempertinggi prestasi untuk kemajuan diri kita agar kita bisa menjadi orang yang bermanfaat dan tujuan kita yang sebenarnya tanpa intervensi orang lain, tanpa titipan sponsor, tanpa tunggangan kepentingan. Dan prestasi di kalimat sebelumnya tidak dibatasi berupa medali emas maupun trofi, mempertinggi prestasi juga bisa ditranslasi sebagai perbaikan moral dan sikap serta kedisiplinan dibandingkan kondisi-kondisi sebelumnya.

Generasi S1 2008 telah memunculkan ABG (Alumni Barululus Gressss). Rekan satu departemen, rekan satu BPH, rekan satu kelas, rekan satu lab, rekan satu gabungan team OC PDKT, rekan satu kongsi inov, rekan apa lagi y? Hohoho... yang pasti mereka sudah berhak menyandang tambahan dua huruf di belakang namanya “ST”. Sebuah gelar yang keramat, kenapa keramat? karena bisa jadi pusaka untuk menjemput impian-impian yang lebih tinggi, bisa juga sekedar pemanis nama. Well, pertanyaan yang sering terlontar (khususnya) oleh adik-adik kelas saya “bang, kapan abang lulus?” hohohoo.. dulu pas eranya Bang Khanif, Kang Fachrie, Kang WP, dan abang-akang-teteh-masbro yang lain saya sering menanyakan yang sama sebelum mereka wisuda, so apakah hukum aksi reaksi sudah berlaku pada beta?

Dengan dinamika (baca:ketidakstabilan aturan) menjadikan keunikan proses akademik yang saya lalui di kampus globe ini. Acuan kuota SKS yang sebelumnya mengacu semester ke-(N-1) berubah menjadi (N-2) sehingga saya bisa mencomot Kalkulus 2 di semester 3 (saya ulangi “kalkulus 2 di semester 3”.) ... weww...lalu mulai semester inia cuan kembali ke (N-1) sehingga saya dengan lonjakan IP semester ini bisa menggebrak bandwidth 24 SKS semester depan. Nah, yang unik dan kocak (kenapa kocak? Karena dosen wali saya baru tahu hohohoo) TA 1 ternyata mata kuliah eksepsi yang tidak bergantung kuota SKS, artinya dengan sisa 26 SKS (termasuk TA 1) maka sebenarnya saya bisa lulus tepat 8 semester “SEANDAINYA” semester lalu saya bisa menculik TA 1 sehingga dengan kuota 24 SKS maka persis dan sangat pas pas pas banget saya lulus 8 semester. Dan doa kawan saya yang ingin BPHagnificent (kecuali Zudha+Iman yang insyALLah 3,5 tahun) akan lulus bareng 8 semester akan terwujud, benar-benar terwujud keingan yang tak pernah terwujud. Apalagi aturan akademik TA1 boleh diambil bareng TA2 maka sungguh durian yang semanis madu runtuh dari surga. Namun apa daya aturan TA 1 dan TA 2 diambil bareng hanya berlaku bila sebelumnya pernah mengambil TA 1, dan TA 1 baru akan saya ambil semester depan. Artinya, mimpi 8 semester masih menjadi mimpi yang hanya mungkin terjadi bila aturan TA 1 dan TA 2 tersebut menjadi bisa diambil sekaligus apapun kondisi sebelumnya. Bila itu terjadi dan sisa 20 SKS lainnya mendapat A maka target (yang masih sangat mungkin terwujud) IPK 3 koma bisa terwujud. Yang pasti baru saja sore ini saya dikonfirmasi bahwa itu adalah kesalahan sistem aplikasi, sehingga kuota max 24 dan sudah tidak ada lagi previledge MK eksepsi layaknya gladi dan KP. Wallahualam... Lantas apakah saya berbuat dosa dengan menjali golongan “kuliah melebihi batas normal” yang menjadi “weakness factor” anjloknya akreditasi? Wallahualam juga...

Dan sekali lagi di luar probabilitas tersebut, saya putuskan mengulang 3 MK dengna total SKS 9 bukan karena terjerumus di lembah DE, namun karena direhab untuk meraih A, dan semester 9 saya sematkan TA 2 dibelai Kapsel dan KWN. Rencana emas bermandikan cahaya itu tampaknya sudah tidak mungkin. Namun skenario Allah yang misterius dan senantiasa di-backingvokal-i oleh gugaman kita sendiri “ih, harusnya kalo saja gini bisa jadi bakal begitu” (yang bisa ditranslate “if i were ...” alias kondisial yang sudah tidak mungkin terjadi) akan menjadi rencana yang terbaik untuk kita. Hanya saja sikap mengeluh kadang malah menodai skenario-Nya. Mari kita (khususnya saya) bersikap bijaksana, apalagi dengan identitas “laki-laki” maka gentleman-lah menyikapi itu semua. Bukan mengadu ke pepohonan di kuburan, tapi dekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Benahi pertikaian dengan makhluk bernama “masa lalu”, hentikan pertemananmu dengan makhluk bernama “rasa sesal”. Karena saya yang menjalaninya, dan saya adalah orang yang spesial (pembaca juga, tiap orang juga orang spesial) maka jalan hidup saya pun istimewa (walau terkadang tidak seperti yang digariskan pembuat aturan kuliah).

2 Response to "Karena Saya yang Menjalaninya"

SITIHALIMAH mengatakan...

semangat ve..
setiap orang punya skenarion sukses masing2.. ^^

ve mengatakan...

makasih iti...:D