Celoteh Kaderisasi


Lagu Himno del Heroico Instituto Vidal berdencang di telinga saya. lagu apa itu? Ya bisa diibaratkan Mars SMA 1 Slawi ataupun Mars IT Telkom, dibawakannya dengan Con Bravura, pokoknya berwibawa banget selama 38 detik, namun tiba-tiba permainan gitar dan keyboard "mengacaukan" telinga. Vokal masih tegap berwibawa tapi irama instrumen tadi sudah terlanjur meracuni lagu ini. Sungguh kombinasi yang (hingga detik ini) takkan terpikirkan dalam lembaga pendidikan formal manapun di Indonesia.

I always think about develop creativity, sometimes my innovative idea come after event happened #hahaaa...kadang modem kreativitas ini perlu diisi ulang dengan mendekatkan diri pada Yang Maha Memberi (kreativitas)

Kali ini celoteh saya tentang kaderisasi. Sesuatu yang dianggap sakral, yang diagungkan, yang disucikan, yang dianggap keramat, bahh.. pusaka macam apa sih kaderisasi? Ampe-ampe dibikin PUK (Pola Umum Kaderisasi). Kaderisasi memang kerap membuat kita keder dalam mengkader.

Apa itu kaderisasi? mari kita analogikan dalam sebuah tugas pemprograman ataupun Desain Analisis Algoritma. Kaderisasi ibarat algoritma yang merancang input agar menjadi output. Namun apakah perumapamaan ini sangat tidak relevansi? Terserah kisanak :D

Namun akan jadi suatu kebodohan bila algoritma (baca : kaderisasi) menjadi sesuatu yang "haram" untuk diutak-atik (bahkan ketika sudah ada mekanisme pengubahannya pun masih ada segerombolan kolot yang menutup mata terhadap perubahan sekitarnya). Jangan tutup mata bung, kaderisasi di KBM ini tujuan untuk apa? Mempertahakan hegemoni ataukah sekedar puisi romantis yang mengidam-idamkan mahasiswa yang "perfecto"?

Kembalilah kita pada hakikat kita sebagai input dan output. Kita adalah mahasiswa (at least saat gue nulis postingan ini, gue masih diakui sebagai mahasiswa ITT walau KTM ilang :p). InsyaALLah kita akan (segera) bermuara menjadi alumni. Nah, seperti apakah lulusan IT Telkom yang dibutuhkan dunia kerja dan masyarakat Indonesia? Lakukan analisis terhadap kebutuhan dunia luar atas alumni kita. Misalnya, alumni ITT dikenal tukan bolos, berarti kaderisasi perlu ditingkatkan di sektor kedisiplinan.

Jangan lupa analisis pula kondisi input saat ini. Mempergunakan rujukan mahasiswa sekian tahun lalu sebagai panduan karakter si inputnya baru jelas memperlihatkan ketidakcerdasan dalam berpikir. Janganlah sampai saking terburu-buru kejar deadline maka lupalah mengadakan analisis input. Mungkin bila event-nya PDKT sih tinggal nunggu si mahasiswa baru dateng, lha kalo yang kayak LKOD, LKOL? Bisa-bisa pesertanya yang punya "kepentingan karier". Bermanfaat sih bermanfaat nama sayang banget ya panitia susah-susah namun yang diincar sertifikatnya, bukan konten acaranya.

Dan tak lupa percantiklah proses di dalamnya. Waterfall saja sekarang sudah "diamandemen" menjadi Neo Waterfall, itu yang udah jadi rujukan metode pengembangan website tingkat internasional lho.. Bila hanya menjadi warisan tanpa dipikir esensinya maka percayalah ketika berpotensi pula mewariskan budaya korupsi di negeri ini. Eh, pemasarannya gimana atuh kang? Lha kiye keh sing susah temen. Coba data siapa saja calon "pembeli" tiket masuk event kaderisasi, bagaimana karakternya, apa latar belakang organisasi (UKM dan labnya), cari tahu yang dibutuhkan organisasi mereka (jangan cuma kebutuhan 1 2 ormawa), cari tahun apa yang sedang menjadi trend saat ini.

Di kampus ini masih ada "dogma jahanam" berupa kaderisasi milik segelintir oknum dan kemudian para penganut aliran kebatinan itu "mengembargo" event kaderisasi di kampus, tak hanya mengembargo, tapi juga rajin membuat fatwa yang mencela kaderisasi di kampus ini. Kalau dipikir-pikir "embargo" dan "fatwa" buata mereka kepada mahasiswa lain tersebut ya sebenarnya proses kaderisasi juga lho, hanya saja bersifat kontra-petahana. Yapz, fenomena ini merupakan contoh meniru politik kotor, padahal seperti kata mas BP di blognya, "kita tidak perlu membunuh untuk menunjukkan bahwa membunuh itu salah". Lantas harusnya bagaimana?

Bagian penutup ini sengaja saya "anehkan" dimana tidak ada kesimpulan maupun kalimat mutiara, tujuan agar celoteh yang (harapannya) memasuki titik klimaks tidak begitu saja seenaknya saya akhiri dengan kalimat manis, namun "nuansa gerah" itu masih hangat di otak pembaca sehingga muncul ide-ide yang semoga menjadi kenyataan. Semngatlah untuk membangun peradaban bermutu di kampus berkualitas ini.

No Response to "Celoteh Kaderisasi"