Dari Muenchen, Barcelona, hingga Turki


Sabtu pagi, 31 Agustus 2013, seorang bocah bandel asyik menonton final Piala Super Eropa via tv di Villa Paradewa. Sendirian, tiada kawan, bahkan kedua tim yang bertanding, FC Bayern Muenchen dan Chelsea FC bukanlah tim favoritnya. Entah apa penyabab dia menjagokan Muenchen, mungkin karena pelatihnya adalah Pep Guardiola, eks pelatih Barcelona.

Laga memasuki menit ke 120 lewat 50 detik. Semua pemain berada di separuh lapangan milik Chelsea yang sudah unggul 2-1, hanya minus seorang pemain Chelsea yang dikartu merah dan Neuer, kiper Muenchen, yang mungkin tidak berharap menjadi Valdes jilid 2. 10 detik yang agaknya sekedar formalitas. Sebuah sontekan pemain berbaju merah berhasil menggetarkan jala Cech, kiper Chelsea. Ya, ternyata javi Martinez mencetak gol yang memperpanjang nafas Muenchen di laga ini. 




Bahkan skor 2-2 sama ini menjadi muara kemenangan Muenchen 5-4 di tos-tosan adu penalti. 31 detik jelas waktu yang sempit bagi sebuah laga yang berdurasi 120 menit (plus serangkaian injury time tiap babaknya). Bahkan selama 120 menit lebih 30 detik sebelumnya, Muenchen hanya bisa mengoyak gawang Chelsea satu kali.


Tak butuh lama bagi bocah itu untuk bernostalgia kesuksesan dua tim inspiratif lainnya yang kasusnya serupa (walau tidak semua sukses disaksikan secara real-time). Dua tim itu adalah FC Barcelona dan Tim Nasional Turki.

Lebih dari 4 tahun silam, bocah yang sama sedang tegang menatap tv kecil di sebuah ruang di SC kampus. 2 pasang klub besar Eropa bertanding kala itu, FC Barcelona dengan kaos kuningnya hampir penjadi pecundang di hadapan Chelsea dimana gol spektakuler Essien agaknya sudah cukup menjadi headline esok harinya. Tapi ketika pertandingan mulai memasuki injury time, tendangan Iniesta membuyarkan semuanya. Gol yang keberadaannya mungkin dipesimisi oleh mayoritas fans Barca, boleh jadi oleh pemain yang berlaga di situ. Lebih jauh lagi, gol itu bersifat deadly heaven, tanpa gol itu Chelsea yang lolos ke final, namun dengan fol itu (satu saja) justru menjadi Barca yang lolos. 

 Iniesta (nomor 8 warna kuning) menjadi pemecah kebuntuan (sumber)

Ekspresi yang emosional (sumber)

What a dramatic goal

Sebagai tambahan di final Piala Dunia Antarklub tahun itu Barca yang tampil dengan jersey peachy pink, kembali berstatus nyaris kalah dimana Estudiantes mengunggulinya 1-0 hingga di menit-menit akhir, sundulan Pedro Rodrigues menjadi awal dari berakhirnya pesta Estudiantes malam ini. Di perpanjangan waktu gol Messi mendobrak sejarah 6 gelar dalam satu musim ala Barca.

Pasca-UN SMA, serangkaian laga Euro 2008 menjadi pengisi malam. Salah satu negara medioker diurnamen ini Turki dikangkangi Portugal di laga pertama. Laga kedua melawan tuan rumah Swiss agaknya menjadi pengesahan status Turki sebagai tim yang masuk kotak lebih awal. Benar saja, Hakan Yakin (yang keturunan Turki) membawa Swiss unggul 1-0, tapi di babak kedua sosok Semih Senturk dan Arda Turan membuka sinyal bahwa Turki masih bisa bernafas.
Di laga ketiga sekaligus penentu, gol striker jangkung Jan Koller menjadi sajian pembuka laga dramatis malam itu. Gol Jaroslav Plasil di menit 62 seolah menamatkan riwayat Turki. Tapi opss gol Arda Turan menit 75  seolah menjadi "kata sambutan" kebangkitan Turki. Dua gol Nihat Kahveci di akhir laga pun membalikkan skor menjadi 3-2. Turki pun lolos ke perempatfinal.

Aksi Nihat Kahveci merampok yang berujung pada gol kedua Turki (sumber
 
Great comeback (sumber)


Beralih ke perempat final, sundulan Ivan Klasnic melambungkan Kroasia malam itu, gol yang agaknya sukses "memulangkan" Turki karena tercipta di penghujung babak kedua perpanjangan waktu, tapi siapa sangka di menit ke-121 detik ke-2 sebuah tendangan bebas jarak jauh yang disambut oleh Semih senturk justru memaksa Kroasia adu penalti dimana, Turki yang kehilangan kiper utamanya justru tampil sebagai pemenang dengan skor 3-1.

Memang pada akhirnya, Turki dengan segala kisah heroiknya pun harus pulang ketika berhadapan dengan Jerman di laga yang superrrheroikk. Gol Ugur Boral sempat dibalas Bastian Schweinsteiger dan Miroslav Klose. Sempat memperpanjang nafas via Semih Senturk, tapi tendangan keras Philip Lahm ketika berhadapan satu-satu dengan kiper Turki akhir menjadi tiket pulang Turki pada malam itu.

Semua comeback itu amazing...
Sepakbola... berbagai kisah inspiratif dan juga kontroversinya mengajarkan saya banyak hal. Ketika Muenchen berhasil "merampok" kemenangan dari Chelsea, sekian waktu kemudian menyadarkan saya bahwa dalam hidup ini : 
IKHTIAR ITU WAJIB BAHKAN KETIKA PEMIKIRAN PRAGMATIS MENGANGGAP KITA SUDAH KEHABISAN PELUANG.
Justru peluang akan terus ada, sekecil apapun itu, bahkan ketika kurang dari 0,01%,, maka akan selalu ada "peran serta" Allah di hasil akhir.
Agaknya Allah sedang "menampar" saya, mempertanyakan kenapa saya jadi lembek dari berjuang. Bukankah apa yang saya perjuangkan itu merupakan suatu kewajiban? Bukankah yang saya harapkan ini bermuara pada keridhoan Illahi menuju akhir hidup yang khusnul khotimah? Lantas mengapa malah cengeng?

Bukankah di balik kesukaran ada kemudahan. Pertanyaan  kita diri sendiri, mau sampai kapan menganggurkan wajah ini menatap si "sukar" dan mau sampai kapan membodohi diri dari wujud si "mudah"
Bukankah Allah itu Maha Pemurah dimana kita diberi keleluasan untuk berikhtiar?
Bismillakhirokhmanirokhim

No Response to "Dari Muenchen, Barcelona, hingga Turki"