Salatiga, Menengok Makna Ikhlas

Pagi kemarin sebuah obrolan tentang Yakuhimo mengalit begitu saja di Whatsapp, ceritanya itu tentang SM3T, hampir mirip Indonesia Mengajar. Tapi, ada yang mulai menggelayuti diri ini ketika seorang kawan bercerita saat ini sedang ada acara di Salatiga. 
Ya, Salatiga... Sebuah tempat yang pernah mengajarkan arti sebuah kedewasaan dan keikhlasan.

Sebuah siang di medio Mei 2007, di kelas gaduh XI.IA3, seorang guru berbadan tegap muncul di sebuah pintu, beliau tidak hendak mengajar tapi mencari seorang bocah. Tak butuh lama kemudian beliau membawa bocah itu ke aula merah yang hanya berjarak 20 meter dari pintu tadi. Di situ sudah ada seorang anak jangkung. Singkat cerita dua bocah itu diharuskan hengkang selama seminggu untuk Training Olimpiade tingkat Provinsi di Salatiga. Secepat kilat, salah seorang diantara mereka menghitungkan dengan 7 jemarinya, dia bergugam dalam hati "hah? seminggu? ga bisa ikut perpisahan kelas XII donk?" Sebuah kesedihan di balik tantangan yang jelas akan dianggap bodoh bilamenjadi alasan untuk menolak ikut acara training yang memang langka tersebut. Tak ayal kesedihan itu disembunyikan jauh-jauh dari sang guru. Sore di hari itu pun berkalang haru ketika harus berpamitan dengan ketua dan teman-teman satu divisi acara serta tentunya orang tua.

Esok harinya, ketiga orang di atas meluncur ke Salatiga via Semarang. Faktor gundah karena harus melepas sebuah kebersamaan dalam berpanitia justru menjadi pemantik kegalauan ketika si bocah itu muai mempertanyakan kelayakannya mengikuti agenda training itu. Pesimis tentang bekal perkimiannya, sementara si jangkung tampak lebih tenang karena bidang trainingnya berkutat dalam konteks permatematikaan.

Sehari, dua hari, tiga hari, dan akhirnya genap 7 hari
Kedua bocah itu pun benar-benar dimabuk materi akademik yang masya Allah. Membaca rundown selama 7 hari yang dibagi saat pembukaan saja sudah cukup membuat kening berkerut. 
07.30-10.00, 10.30-12.00, 13.00-15.00, 15.30-17.30, dan 19.30-21.30 merupakan slot waktu yang hanya diisi kimia, kimia, dan kimia, sedangkan bagi si jangkung tentunya matematika. Sekitar 10 hari dari 24 jam "diabdikan "hanya" untuk belajar kimia. 


Gila, jenuh, galao, dan berbagai warna kegundahan benar-benar menjadi topik di awal masa training. Ya, meskipun si bocah terbiasa camping ataupun ber-ekskul hingga larut malam, tapi kali ini untuk konteks belajar topik kimia merupakan pengalaman pertama kali. Belum lagi bila mengingat kegalauan tentang keharusan meninggalkan sebuah kepanitiaan. Hmmm, rasanya semua itu makin melezatkan ujian. Asrama dengan tiap kamar berkapastias 4 orang agaknya hanya menjadi tempat singgah mendinginkan kepala, namun belum sempat dingin, kepala langsung didihkan lagi dengan segala recokan kimia. Salah satu kriteria untuk bisa lolos training ini yaitu lolos psyco-test 2 bulan sebelumnya dengan skor minimal 140 terus terang masih menjadi tanya bagi si bocah apakah dia memang pernah ber-IQ sebesar itu.


Itu bukan hieroglif, tapi catatan kimia hehee ^_^


Tiada pahit yang sempurna bagi orang yang sudi mengambil pelajaran.

Walau tersiksa, terus terang si bocah itu masih bersyukur pernah berkesempatan menjalani 7 hari mencekam itu di Salatiga. 14 orang akademia berkimia dengan berbagai latar belakang SMA menjadi teman ketika kepala sempoyongan dir uang kelas. Tak lupa si jangkung beserta dua teman kamar di asrama yang sudi menjadi kawan kocak, yaitu Dani dan Rifky. Sosok Mr. Suyatno, guru kimia dari taruna Nusantara pun berperan dalam menguatkan sekaligus cuplikan-cuplikan motivasinya agar 14 akademia itu survive.

Hal-hal lucu tetap menggelayuti si bocah yang memang agak berbakat jadi komedian. Disangka asisten mentor lantaran "interface" yang lebih dewasa, ngantuk di kelas, lari keluar kosan nglempar HP lalu ditendanglah HP itu (jangan ditiru), tempat training yang ternyata merupakan gedung kegiatan keagamaan Kristen (lupa namanya) sehingga si penjaga agak bingung ketika ditanyai lokasi mushola, tapi beliau berbaik hati menyiapkan tempat sholat. 

Hari-hari berat itu perlahan pudar ketika di tempat lain, tepatnya Slawi, perpisahan kelas XII Smansawi berlangsung lancar. Realitis bahwa tidak mungkin datang ujug-ujug ke TKP menjadikan ikhlas sebagai satu-satunya pilihan. Ibarat dalam berkomputer muncul kotak dialog hanya berisi pilihan "OK", tanpa "Cancel", tanpa "Later", dan tanpa "Close". Lebih jauh lagi, keikhlasan merupakan wujud konkret dari karakter mau bertanggung jawab, terutama yang merupakan kelanjutan dari apa yang diperbuat oleh diri sendiri.

Ikhlas, ya itulah yang sedang saya pelajari, arti sebuah keikhlasan.

No Response to "Salatiga, Menengok Makna Ikhlas"