80+, #Brexit, hingga PortugCampeon

Hajatan akbar sepakbola tingkat benua di seberang Eropa sana akhirnya tuntas. sulit untuk menampikkan pesona edisi kali ini kecuali di sebuah aspek, yaitu bertepatan dengan bulan suci Ramadhan. Bentrokan ini dapat menyebabkan dua dampak yang silakan dipilih sendiri. Hiburan yang menyertai sahur atau malah mereduksi waktu ibadah kita, misalnya yang galau antara i'tikaf vs babak-perempatfinal. Nah tinggal pilih sendiri hehee..

banyak momen yang tidak mudah dilekangkan dari ingatan dimana beberapa diantaraya dilatari kebetulan yang kelewat parah. Memang dengan kontestan 24 negara, EURO 2016 sudah pasti bakal mengumbar kisah-kisah spesial, termasuk di dalamnya kejutan demi kejutan yang membuat kita selaku penonton bakal makin sulit memprediksi siapa yang bakal mencaplok trofi tersebut.

Laga pertama antara Prancis vs Rumania sudah mendeskripsikan bahwa turnamen ini patut dinikmati hingga usai. Gol Dimitri Payet di menit 89 menjadi awal dari 23 lesakan gol yang tercipta pada menit di atas 80. Dengan tol gol 108, artinya lebih dari seperlima gol di turnamen ini terlahir di menit-menit krusial. Prancis seolah ketagihan dengan fenomena gol menit akhir ini sehingga laga kedua melawan Albania pun dilalui dengan sepasang gol di penghujung laga. Bahkan lewat gol di atas menit ke-80 pulalah Prancis dinobatkan statusnya di akhir turnamen ini. Bukti sahih betapa keramatnya gol-gol menit akhir ini layak ditanyakan kepada Spanyol yang terleha dengan status 'pasti lolos 16-besar'. Gol menit akhir Kroasia mengirim mereka di paruh kanan babak piramida 16-besar dimana Spanyol akhirnya berhadapan dan tumbang atas Italia. Di atas kertas laga melawan Portugal lebih memungkinkan mereka lolos ketimbang meladeni Italia, ya walau kita tahu bahwa nasib akhir Portugal di turnamen ini seperti apa. Singkat kata, turnamen ini menjadi produk nyata bahwa jangan lengah memasuki menit akhir.

Turnamen ini dihelat dengan berbagai isu eksternal yang tengah terjadi di dunia. Isu terorisme di Turki, Bangladesh, serta Arab Saudi, persiapan pemilu di Amerika Serikat, membumbungnya harga sembako di Indonesia, tapi semua itu tidak seakrab kisah bertajuk Brexit alias British Exit. Terminologi ini awalnya mengacu pada voting nasional pada tanggal 23 Juni 2016 oleh negara-negara Britania Raya untuk menentukan apakah mereka meninggalkan Uni Eropa ataukah tetap tinggal. Dengan sedikit keunggulan yang hanya sekitar 4 persen, opsi meninggalkan diambil oleh parlemen Inggris dengan sebuah aksi pengunduran diri perdana menteri Cameron. Ternyata berselang 4 hari, timnas Inggris, yang notabene merupakan pimpinan utama Britania Raya, secara mengejutkan tersungkur 1-2 atas Islandia. Insiden ini jelas memilukan karena Islandia yang merupakan debutan di turnamen tingkat Eropa ini bahkan hanya punya 330.000 penduduk serta sistem liganya masih jah dari hingar-bingar English Premier League. Tampaknya Inggris lupa bahwa Islandia adalah negara yang mengangkangi Turki dan Belanda di babak kualifikasi. Singkat cerita, muncullah anekdot bahwa Inggris mampu melakukan aksi Brexit sebanyak dua kali dalam tempo sepekan, pertama keluar dari Uni Eropa, kedua terjengkang dari Piala Eropa. Memang pada akhirnya masih ada Wales selaku wakil Britania Raya, tapi sudah terlanjur dunia terpingkal-pingkal atas ulah timnas Inggris.

sumber www.usatoday.com

Keberhasilan Islandia dapat dikatakan sebagai kehebohan tim-tim kuda hitam di EURO 2016. Tampil sebagai debutan, mereka justru mampu melesat hingga masuk ke babak 8-besar. Bagaimana dengan kejutan lainnya/ Dua tim yang secara tradisional rutin tampil di Piala Dunia, yaitu Rusia dan Turki justru porak-poranda dengan alasan berbeda. Beruang Merah terjerembab di dasar klasmen Grup B, sedangkan Turki harus meratapi blunder minus dua gol yang menyebabkan mereka gagal melaju ke 16-besar dimana Portugal dengan poin sama bisa melenggang lantaran selisih golnya 0. Ngomong-ngomong Portugal, negara pun sangat memprihatinkan di tiga laga putaran grupnya. Tergabung di grp ringan bersama Hungaria, Islandia, dan Austria, mereka justru gagal meraup kemenangan. Modal tiga kali imbang sempat membuat mereka nyaris tersisih andai Albania dan Turki bisa mengoleksi surplus gol minimal 1.

sumber www.gettyimages.com

Dan negara Portugal ini pula yang tertatih-tatih menuju 16-besar justru tampil sebagai negara yang paling terakhir pulang dari turnamen ini dengan kepala tegak. Sebuah gol dari pemain pengganti bernama Eder mengantar nama negara mereka diukir di trofi EURO 2016. Gol yang yang terlahir di menit 109 ini menjadi Portugal sebagai negara yang mampu menjadi juara dengan modal kemenangan di babak normal 90 menit paling sedikit, yaitu satu kali kemenangan di semifinal kontra Wales. Tiga kemenangan beruntun atas Islandia, Austria, dan Hungaria dilanjutkan kemenangan di babak perpanjangan waktu kontra Kroasia di 16-besar, serta menang adu penalti atas Polandia di 8-besar. Sebagai catatan, memang Italia pernah juara di tahun 1968 lewat modal dua hasil imbang plus satu laga ulangan setelah laga pertama imbang, namun jumlah peserta kala itu hanya 4.

Modal minimalis sebelum final memang menjadi mereka tampak inferior di hadapan Prancis hanya hanya ternodai 1 kali imbang, sedangkan 5 laga lainnya sukses dimenangi masing-masing hanya dalam 90 menit. Tapi kelengahan Prancis justru terletak pada sebuah momen yang tidak disangka. Awal babak kedua perpanjangan waktu merupakan fase yang sangat krusial karena konsentrasi sudah terbagi antara perpanjangan waktu vs persiapan adu penalti. Di saat inilah seorang pemain pengganti justru dengan leluasa menembakkan bola tanpa kawalan berarti. Pemain yang justru belum pernah mencetak gol di ajang kompetitif, termasuk kualifikasi. Pemain yang namanya justru lebih dikenal sebagai pemain Italia lantaran di skuad negeri pizza ada pemain dengan nama persis dan lebih terkenal. Pemain ini bernama Eder dan dia sukses membuat keder barisan belakang Prancis yang terlalu asyik mempelajari gaya bermain Ronaldo dan Nani.

Selamat atas berbagai sajian penuh kejutan ini

No Response to "80+, #Brexit, hingga PortugCampeon"