Ada Apa dengan Chinese Super League

Beberapa tahun terakhir, terdapat dua kompetisi di Asia yang menyedot perhatian pemerhati sepak bola dunia. Dua kompetisi tersebut terletak di negara dengan ukuran 'raksasa' dari sisi penduduk maupun geografis wilayah, yaitu Tiongkok serta India. Khusus di artikel ini, saya akan menyoroti tentang kompetisi nomor wahid di dataran Tiongkok yang memang lebih menyita atensi karena sensasi transfer yang sangat menggiurkan.

Tiongkok, nama resmi dari negara Cina dalam versi Indonesia, merupakan negara yang memiliki populasi terbesar di dunia. Tidak heran negara ini sangat produktif untuk urusan industri yang ironinya belum termasuk jajaran elite di kompetisi antarnegara Asia untuk urusan sepak bola. Mereka tertinggal jauh dibandingkan Jepang dan Korea Selatan, rival mereka di berbagai aspek kehidupan Asia Timur. Selain koleksi Tiongkok untuk urusan Piala Asia yang masih nihil, mereka juga baru sekali mengecap Piala Dunia, jauh dibandingkan dengan duo Jepang dan Korea yang sudah menjadi langganan Piala Dunia. Tidak heran bahwa pemerhati sepak bola, termasuk di Indonesia, lebih akrab dengan nama-nama pemain asal Jepang, misalnya Shunsuke Nakamura, Hidetoshi Nakata, Shinji Kagawa, Keisuke Honda, ataupun Korea Selatan, misalnya Park Ji Sung dan Ahn Jung Wan. Tapi, belakangan ini negeri Tirai Bambu mulai menghentak dunia melalui kompetisinya, yaitu Chinese Super League alias CSL. Hentakan ini diwujudkan dalam kegilaan klub-klub di CSL untuk menggaet nama-nama tenar dunia untuk bergabung dengan nominal yang fantastis.

Strategi mendatangkan legiun asing sebetulnya sudah dirintis oleh Jepang dua dekade silam tatkala mereka hendak mengorbitkan kompetisi J-league. Kesuksesan yang dirasakan Jepang terhitung sukses. Pertama, keberadaan pemain asing mampu menularkan kompetensi dalam menggocek bola, hasilnya adalah dua kesuksesan berikutnya. Kedua, klub-klub Jepang mampu mendominasi kompetisi Liga Champions Asia. Ketiga, fanatisme suporter yang trengginas dalam mendukung klub-klubnya. Lebih jauh lagi, mereka bisa meningkatkan kualitas tim nasionalnya. Tapi strategi Jepang tersebut dilakukan dengan penggaetan pemain yang sudah uzur ataupun sudah berakhir era keemasannya di kompetisi elite Eropa dan Amerika Latin. Para pemain tersebut pun tidak diiming-imingi nilai transfer ataupun gaji yang menggiurkan. Praktis ini yang menjadi perbedaan nyata dengan strategi yang dilakukan klub-klub di CSL.

Berbagai nama tenar mampu digapai oleh klub-klub CSL dengan nilai transfer yang menggiurkan tatkala mereka masih dalam periode keemasan, bahkan saat mereka sedang 'on fire' di kompetisi sebelumnya. Nama Robinho, Eiður Guðjohnsen, Demba Ba, hingga Asamoah Gyan, menjadi deretan teratas nama yang sedang getolnya menghiasi jagat sepak bola Eropa. Mereka didatangkan di awal tahun 2015 menyambut kompetisi CSL musim 2015 dengan dampak yang cukup 'bising' di dataran Eropa. Banyak yang bertanya keberadaan kompetisi dan klub yang berkiprah di CSL. Tidak sedikit yang mencibir gelontoran dana sebagai satu-satunya magnet yang membuat para pemain tersebut berlabuh. Sulit untuk membantahnya karena tiap periode transfer berikutnya, yaitu medio 2015, awal 2016, dan medio 2016, lagilagi gebrakan transfer ataupun gaji menjadi aspek yang paling disorot dari tiap kepindahan pemain asing ke CSL.

Musim ini, beberapa nama nama tenar menghiasi daftar pemain di klub-klub CSL. Sosok Burak Yilmaz, eks bomber Galatasaray, merapat ke Beijing Guoan menemani Renato Augusto. Pun dengan Jackson Martinez yang berlabuh ke Guangzhou Evergrande Taobao, klub yang ditukangi oleh Marcelo Lippi, eks arsitek Timnas Italia di gelaran Piala Dunia 2006. Mantan predator Arsenal, Gervinho memilih Hebei China Fortune yang sebelumnya sempat dibela oleh Ezequiel Lavezzi. Shadong Luneng tak mau kalah dengan mengontrak Graziano Pelle dan Papiss Cisse, sedangkan duo Brazil, Ramires dan Alex Teixeira, berhasil diseragami Jiangsu Suning. Legiun asal Brazil lainnya, Hulk memilih Shanghai SIPG sebagai klub berikutnya musim ini.

Stok uang yang belum bisa dipastikan ada berapa memang menjadi modal bagi klub-klub CSL untuk meramu skuad dengan beberapa nama tenar asal benua lain. Sejauh ini klub-klub tersebut masih dihalangi dengan kuota pemain asing 5 orang. Namun, apa jadinya jika kuota itu dihapus. Apakah akan ada 'los galacticos' dari negeri Tirai Bambu. Mungkin saja. Tapi rasa-rasanya nafsu bisnis perlu dikembalikan kepada kesukesan Jepang sebagia barometernya. Urusan pennton yang memenuhi stadion sudah bisa dicapai. Begitu pula persaingan di Liga Champions Asia yang mampu direcoki, bukti nyata tentu gelar juara Guangzhou Evergrande tahun lalu. Tapi, apakah pemain lokal bisa ikut terdongkrak kompetensinya dan lebih jauh lagi, bisakah tim nasional Tiongkok menyetarai kualitas Jepang dan Korea Selatan

No Response to "Ada Apa dengan Chinese Super League"