Menyusup di Belantara Bandung-Margasari [1]

Selama kuliah 4,5 tahun di Bandung saya kurang layak disebut berpengalaman dalam 'mudik'. Alasannya sederhana, jarak kepulangan saya paling mepet adalah seminggu sehingga lalu lintas masih leggang dan harga tiket bus/kereta pun masih dalam kisaran normal. Barulah saat menjalani perantauan di ibu kota alias Jakarta di tahun 2013 saya mengalami betapa mudik merupakan ritual yang sangat menguras pemikiran dan tenaga. Begitu pula saat saya harus berselonjor dan duduk setengah jongkok di dek bus paling belakang selama 30 jam saat mudik tahun 2014. Greget banget karena saya melalui buka puasa, sahur, dan buka puasa lagi di tempat duduk yang sama hehee... Beruntung di tahun 2015 lalu, kegesitan istri saya menggaet tiket kereta membuat kami bisa nyaman bermudik dari Bandung dan merelakan tiket Jakarta-Tegal hanya dikembalikan uangnya separuh karena kami batalkan reservasinya.


Tahun 2016 ini awalnya kami sudah bulat hanya di Bandung karena usia buah hati kami yang baru 2,5 bulan saat tanggal lebaran. Orang tua dan saudara dari Aceh malah rencananya berlebaran di Bandung menemani kami. Hanya saja pergeseran rencana karena satu lain hal mendorong revisi rencana untuk mudik di H-1. Opsi yang tidak dapat dipastikan kenyamanan perjalanannya karena macet tidak mengenal rumus H-berapa.

satu sisi dari belakang tatkala perjalanan menuju Margasari dari Bandung

Tapi rencana yang terlanjur ditancapgaskan harus berjalan. Persiapan yang agak rumit karena perlu menyiapkan logistik ini itu untuk buah hati kami. Mulai dari kain gendong, pembalut untuk bayi, baju bersih, hingga dudukan khusus untuk bayi, telah dipersiapkan dengan matang oleh istri saya. Saya lebih banyak berperan sebagai eksekutor untuk urusan angkat dan pengambilan item-item tersebut. Justru saya yang bingung hendak membawa apa. Palingan hanya kostum hari H yang rencananya seragam dengan saudara-saudara. Jangan tanya kaos ganti selama di Margasari karena 75 persen isi lemari saya masih ditumpuki kaos bola. Maka stok kaos bola yang saya bawa hanya berjumlah 3 lembar dan hanya dipersiapka untuk ancang-ancang gerah selama di jalan...Hehee

Di luar persiapan logistik, praktis persiapan saya hanya dua. Pertama istirahat agar saat memasuki kawasan Pejagan saya bisa berkontribusi dalam menyodorkan opsi jalanan dari Brebes menuju Tegal. Tentu tidak lucu jika di kawasan Brebes dan Tegal saya malah tidur padahal di situ saya harus memberikan petunjuk yang mencerahkan dan minimal tidak mengarahkan mobil menuju jalan yang macet dan sesat. Kedua, mengisi baterai ponsel saya, iya ponsel yang beberapa hari pascalebaran sudah berganti kepemilikan hiksss...




Kombinasi pengetahuan berteknologi dengan pengalaman mengitari kawasan Brebes diperlukan dalam memenggal kemacetan yang meracuni otak kami sebelum berangkat mudik. Dan selama perjalanan lalu, kami betul-betul memadukan dua hal tersebut. Dengan sederhananya, kami merencanakan keluar Tol Pejagan lalu menuju Jatibarang kemudian melaju ke Margasari. Permasalahan mulai terjadi saat polisi di tengah tol mengarahkan kami keluar tol Brebes Barat. Berdasarkan tujuan kami Jatibarang, tepatnya Jalan Ahmad Yani, maka para polisi menyarankan kami setelah keluar tol Brebes Barat segera ambil ke kanan memasuki Klampok hingga Alun-Alun Brebes barulah ambil kanan menyusuri jalanan menuju Jatibarang.

suasana sawah bawang khas pedesaan yang menyambut kami di belantara Brebes

Jrengg...kami terjebak macet di Klampok. Melalui diskusi singkat antara saya, istri, Uda Irfan, serta Indra akhirnya memutuskan putar balik menuju jalan pintas ke arah Tanjung. Uniknya justru tol keluar Brebes Barat tersebut tidak tergambarkan di Google Maps, alhasil kami perlu menerawang dengan penuh duga-duga. Dan tanpa diduga dari hasil peta justru menunjukkan adanya dua lokasi yang bernama Jalan Ahmad Yani, pertama adalah kawasan Jatibarang yang kami tuju, kedua adalah nama jalan di dekat Alun-Alun Brebes. Okayy, itulah mengapa para polisi mengarahkan kami memasuki kawasan Klampok, tampaknya kami salah komunikasi hehee...

Memasuki belantara sawah, paduan teknologi dan pengalaman ternyata harus diimbangi dengna intuisi. Ya, berkali-kali kami musti bermusyawarah mengenai jalan yang perlu dipilih. Ada kalanya salah pilihan sehingga terjebak kemacetan di sekitar pombensin. Ada kalanya malah tersasar di tengah sawah. Dan setelah menjelujuri Ketanggungan, Larangan, akhirnya Jatibarang pun berhasil kami capai. Secuil lagi kami sampai di Margasari. Suasana nostalgia tentu mengiringi jalanan Jatinegara s.d. Margasari. Sudah setahun lebih saya tidak melewati jalur ini, jalur yang kerap menghiasi hari-hari saat SMA maupun bereuni dalam beberapa momen.

Alhamdulillah kami bisa sampai di Margasari beberapa menit menjelang adzan Maghrib.

No Response to "Menyusup di Belantara Bandung-Margasari [1]"