Kisruh Vaksin Palsu

Kisruh vaksin masih belum menemui titik terang. Memang sosok-sosok tersangka sudah dihasilkan oleh Kepolisian, namun ulah yang diperbuat oleh mereka masih menggulirkan kekecawaan dan kepanikan dari berbagai pihak. Semua entitas di dalam ekosistem layanan kesehatan dirundung gelisah. Penyelenggara fasilitas kesehatan, khususnya rumah sakit dengan spesialisasi layanan ibu-anak, kalang kabut mengawang tindakan apa yang seharus dilakukan. Berbagai regulasi dan prosedur dikulik di bawah tekanan masyarakat yang semakin gerah dan geram dengan kelambatan sikap konkret para penyelenggara fasilitas kesehatan tersebut. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, juga belum menunjukkan tajinya sebagai lembaga yang punya kewenangan membuat kebijakan. Apakah karena sorotan yang menimba rumah sakit dengan status swasta membuat Kemenkes setengah langkah maju tidak mundur tidak dalam menentukan strategi yang layak, hmm, sulit diterka. Satu hal yang pasti, tekanan media massa dan elektronik sudah terlalu deras sehingga sudah sepatutnya lembaga di atas Kemenkes perlu menunjukkan tajinya agar suasana tidak makin keruh. Mengingat lembaga yang di atas Kemenkes secara koordinasi adalah Koordinator Bidang
Pembangunan Manusia dan Kebudayaan serta duo Presiden-Wakil Presiden, maka para pemangku jabatan itu patutnya bisa lebih aktif mengendalikan situasi dengan strategi yang layak. Sikap mengunjungi ke TKP langsung memang sudah tepat, namun ditunggu tindakan tegas dalam wujud regulasi/kebijakan.

Permasalahan vaksin palsu ini menambah panjang berita duka penanganan sumber daya manusia di Indonesia untuk segmen anak dan remaja. Sebelumnya duka tingkat nasional sudah mendera Indonesia lewat kasus pelecehan seksual dan pembunuhan dengan korban anak-anak dan remaja. Hal ini mengindikasikan bahwa kesehatan jasmani dan sosial anak-anak, dan juga remaja, dalam ancaman nyata. Belum lagi jika menyinggung gempuran konten tidak layak bagi anak-anak yang dicekoki lewat jaringan internet. Ini juga ancaman terhadap kesehatan rohani. Barangkali jika dibuat siklus ancaman kesehatan, dari berbagai aspek, maka tidak ada fase usia anak-anak yang bebas dari ancaman kesehatan. Ya, sebelumnya orang tua khawatir kesehatan anaknya baru terancam setelah memasuki usia sekolah, yaitu sekitar 5 s.d. 6 tahun. Tapi ternyata, dari usia 0 tahun, anak-anak sudah diintai ancaman nyata, dan ancaman itu justru mengenakan kostum 'obat'. Sulit untuk tidak curiga bahwa insiden pilu yang mendera rumah-rumah sakit di Jabodetabek ini punya jaringan lebih luas dari perkiraan. Apakah benar kejadian itu tidak pernah terjadi di daerah-daerah lain. Saya ragu untuk menyanggah kecurigaan tersebut. Alasannya sederhana, dengan usia bisnis yang cukup lama, konon melebihi 10 tahun, sudah pasti ada pengepakan sayap bisnis ke daerah lain.

PR besar bagi pemerintah untuk mengendus praktik-praktik serupa di daerah lain. Pemerintah di sini termasuk pula BPOM, Pemerintah Daerah, serta Kepolisian. Akademisi juga perlu dilibatkan untuk proses pencegahan insiden serupa, mengapa. Karena di tribun akademiklah, sumber daya di fasilitas kesehatan akan diisi. Berbagai bentuk perguruan tinggi, baik akademik, sekolah tinggi, politeknik, institut, hingga universitas, memiliki peran untuk memproduksi alumni yang berkecimpung di ekosistem dunia kesehatan. Ada yang bernaung di rumpun ilmu kesehatan, misalnya kedokteran, farmasi, keperawatan, dll, ada pula yang bernaung di rumpun lainnya namun punya kontribusi di ekosistem dunia kesehatan, misalnya manajemen, teknologi informasi, hukum, dll. Masing-masing perlu digalakkan mengenai bahaya dan sanksi yang mengintai bila ikut serta dalam malpraktik vaksin palsu ataupun hal-hal lain yang serupa, misalnya pemalsuan produk kesehatan palsu, pendistribusiannya, hingga permainan anggaran pengadaannya. Stok sumber daya manusia yang bersih perlu disiapkan selagi menangani peliknya penanganan vaksin palsu saat ini.

Kembali ke penanganan kasus vaksin palsu dari sisi bagaimana menangani korbannya. Presiden, tentunya didukung wakil presiden dan juga Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaanperlu segera bersiap turun tangan atas permasalahan yang terjadi. Apakah mungkin keterlambatan Kemenkes menangani kasus ini akan berbuntut pada resuffle, baik di internal kementerian atau malah pucuk pimpinan. Bisa saja, karena ada indikasi performa penanganan masalah yang tidak sesuai harapan masyarakat. Baiklah, isu resuffle nanti dululah, kita pikirkan bagaimana nasib para korban yang belum menemui titik terang penanganannya. Semoga titik terang segera dituai.

No Response to "Kisruh Vaksin Palsu"