Macet masih Menjerat Pantura, Kok Bisa ya?

Sudah berhari-hari berbagai stasiun televisi secara kompak menayangkan betapa kemacetan masih menjadi penyakit kambuhan masyarakat Indonesia, tepatnya pemudik yang melintasi area Pantura serta Nagreg. Sulit menerka rumus pasti untuk menghindari hal yang paling menjemukan di dunia ini, yaitu terjebak kemacetan. Variabel waktu keberangkatan (h- berapa), pilihan rute, hingga opsi kendaraan (kecuali moda udara dan kereta api), masih bisa memunculkan strategi yang paling jitu. Praktis, doa serta pasrah menjadi altenatif yang cocok sebagai pelipur.

Satu yang mejadi pembeda dibanding tahun 2014 (dan sebelumnya) berita kemacetan, khususnya Pantura, adalah eksistensi tol Palimanan di Cirebon s.d. Pejagan di Brebes. Tol ini sempat diperkenalkan persis di Ramadhan tahun lalu, hanya saja kesan uji coba kental, bahkan bisa dibilang lebih menyerupai software yang trial-version. Nah, mulai tahun ini keberadaan tol ini efektif sekaligus melengkapi status sebagai tol terpanjang di Asia Tenggara. Hanya saja dampak yang dihasilkan tidak sedahsyat gembar-gembor yang orang-orang bilang, terlepas apapun pro-kontranya terhadap presiden saat ini. Jika pada 2015 lalu, tol ini hanya menjadi bonus proyek besar pemerintah Indonesia di sektor transportasi, maka tahun 2016 peranannya sangat fundamental. Tol ini mengalami penghakiman kualitas, apakah bisa ekspektasi masyarakat bisa terpenuhi?

Untuk keperluan di luar lebaran, saya mengakui bahwa keberadaan tol ini merupakan obat mujarab yang mampu memangkas waktu dari daerah Jawa Tengah menuju Jawa Barat atau DKI Jakarta. Tapi menyimak apa yang terjadi di monitor televisi, saya menyangsikan kemampuan jalan tol ini sebagai solusi macet saat musim mudik, termasuk arus balik nantinya. Tidak perlu alasan detail karena layar kaca sudah menyuguhkan segalanya. Sekarang lebih baik kita pelajari apa yang bisa menjadi solusinya? Apakah perlu ada perbaikan dari sisi infrastruktur kebijakan? Ataukah ada faktor di luar ekosistem jalan tol sebagai penyebabnya? Sebagai individu yang kurang akrab bergelut di sektor transportasi, saya tidak akan ngotot dalam mengemukakan pendapat. Saya hanya bisa menyumbang beberapa pemikiran sederhana, sebagai orang yang akrab dengan status pengguna transportasi umum.

Yang paling utama sebagai bahan evaluasi tentunya keberadaan evaluasi itu sendiri. Hal ini sederhana, namun mengapa saya repot-repot mengetik kalimat tadi? Alasannya sederhana, evaluasi pasca-peristiwa adalah hal yang langka di negeri ini, apalagi jika melibatkan banyak lembaga dengan tingkat egoisme, kepentingan, hingga kesibukan masing-masing. Tentu perlu ada koordinasi yang ketat dari pemerintah pusat, daerah, kepolisian, hingga entitas sektoral terkait ekosistem jalan tol ini. Perlu ada kajian yang cepat, namun tepat mengenai hal-hal konseptual maupun teknis yang telah dijalankan pada mudik kali ini. Apakah kebijakan distribusi dan rekayasa jalur sudah tepat? Apakah kemampuan kepolisian dalam mengambil kebijakan sudah responsif? Apakah ada kesamaan pola kecelakaan kendaraan yang terjadi?

Saya pribadi mulai meraba-raba, kontribusi apa yang bisa disodorkan oleh SI/TI (sistem informasi/teknologi informasi) untuk mengatasi kemacetan, mungkin tidak menghilangkan, tapi menekan durasi dan panjangnya kemacetan.

Sebagai pengguna transportasi umum, saya terus terang menaruh rasa curiga adanya faktor di luar ekosistem jalan tol Palimanan-Pejagan itu sendiri. Curiga saya tersemat pada melambungnya kendaraan pribadi yang memberondong pintu masuk tol sebagai sumber utama kemacetan. Apakah mungkin jumlah kendaraan pribadi di Indonesia sudah benar-benar tidak terkendali sehingga jalan tol yang dibangun tidak pernah mampu mengakomodasi jumlah yang terus dan terus membludak? Menengok sistem pembayaran mobil pribadi yang kian mudah (baca memudahkan orang untuk tergiur) agak-agaknya bisa dipahami mengapa Pantura masih dijerat macet.

Baiklah untuk urusan ini, perlu kebijakan yang sifatnya lebih global. Maksudnya, tujuan mencegah kemacetan saat mudik jelas tidak bisa digunakan untuk menekan laju belanja mobil pribadi. Perlu paradigma bertransportasi yang lebih luas, bukan sekedar H-7 s.d. H+7 lebaran ataupun kawasan Palimanan-Pejagan. Untuk faktor ini terus terang saya hilang kata-kata yang patut dilontarkan sebagai solusi karena mengendalikan sifat konsumtif masyarakat jelas lebih rumit dari sekedar menilai apa penyebab macet di jalan tol Palimanan-Pejagan.

No Response to "Macet masih Menjerat Pantura, Kok Bisa ya?"