Berlembar Kisah Non-fiksi

"eh mas, K-nya KIR itu Kelompok atau Karya ya?" Itu pertanyaan paling sulit untuk disepakati jawabannya, karena emang dari jaman ber-romusha mengerjakan karya tulis di komputer SMA hingga kini di laptop masing-masing terus ada perdebatan itu. OK sip, aku ora arep ndebat perkara kui. Hanya sekedar menulsi bebas san lepas (khas gue banget nih :p) tentang sebuah ekstrakurikuler yang punya kespesialan tersendiri (ya sebenarnya Pramuka dan Karate juga punya kespesialannya juga lho). Singkat kata ada beberapa faktor yang menjadikan ekskul inni punya "space" tersendiri di sini (nunjuk ke jantung).

  1. Ekskul apa yang bikin saya pulang dari Slawi jam 9 malem? Cuma KIR lho. FYI: kalau Pramuka pasti langsung gelar tenda, bukan pulang malem-malem malah
  2. Ekskul apa yang bikin saya lembur ampe nginep di rumah pembinanya? Cuma KIR lho.
  3. Ekskul apa yang bikin saya ikut lomba tapi nggak pernah pulang bawa piala? Ya KIR doank.
  4. Ekskul apa yang bikin saya merasakan getirnya Bandung Bondowoso? Ya KIR doank. Beri saya satu malam, akan saya selesaikan karya tulis ini... Dan pada akhirnya di sore hari esoknya baru mau ke tukang penjilidan. Nanti ada cerita khusus di bawah tentang hal ini wkwkwk
  5. Ekskul apa yang bikin saya diledek "udah bisa naik motor?" Ya cuma KIR *kalau di Pramuka cuma ada pilihan "lari" atau "jalan kaki" :/
  6. Ekskul apa yang bikin saya nulis nama orang di lembar persembahan ? Mmmm, langsung skip ke nomer 7 aja lah ya *dan kalau Bu Narni baca ini pasti langsung bilang "oh si itu ya" =____=
  7. Ekskul apa yang bikin saya akhirnya mau belajar nulis ilmiah? Tentu saja KIR donk. Namanya juga KIR, masa bikinnya isu ama gosip
  8. Ekskul apa yang bikin saya mau beratem ama penjahit? Ya KIR doank *mana jas kebanggaan kita nih??

Hahaa, 8 poin yang masih terlalu dangkal untuk menjelaskan betapa KIR memiliki histori yang spesial.

Bergabungnya saya di ekskul ini tak lepas dari kepenasaranan yang hasrat *beuh berat nih bahasanya* untuk mengikuti lomba, suatu hal yang tidak pernah saya gapai di bangku SD dan SMP *maklum siswa medioker :/* Katanya sih KIR sering ikut lomba dan meraih predikat juara. Ya siapa sih nggak tergiur, tapi apa saya bisa ya? Ya daripada bengong sepulang sekolah dan ikutan genk-genk kayak di CrowsHero maka akhirnya saya mendaftarkan diri. Sempat minder dengan senior-senior yang dari tampang saja udah punya aura yang bikin grogi, yaitu Mas Firman (tampangnya itu intelek banget), Mas Agung (senior yang sukses meng-genoside kelas saya saat MOS), Mba Siti Amaliya, Mas Hiang (konon maestro fisika di SMA), Mba Ari Prihartini (sosok paling menggelegar dalam urusan debat, hampir satu angkatan ucma bisa diem saat beliau bicara di GMB III), Mba Yani Sanwaty, aduh banyaklah pokoknya. Eh eh eh, ko isinya anak Imersi ya? Jangan-jangan yang boleh ikutan KIR cuma anak imersi. Ternyata nggak karena banyak juga kok pendaftar yang bukan anak Imersi. FYI pendaftarnya itu ampe membludak, bahkan ketika pengumuman pembagian kelompok untuk pelantikan, itu mencapai satu setengah HVS, banyak banget kan (info: di SMA 1 Slawi, kertas A4 masih jarang saat itu). Dan tebak di hari H pelantikan ada berapa orang? Kurang dari 25 orang?

Gubrakkk eduunn ini ketat banget seleksi alamnya.

Yaps, KIR memang dikenal sebagai ekstra yang menganut sistem seleksi alam yang sangat ketat. Beruntung memang ada rekan-rekan kecee banget yang membuat saya termotivasi untuk "mengintil" alias mengikuti jejak mereka. Mereka berwujud Norma Etika FA, Dewi Agita P, Noorlita Anitami, Dian Dwi A, M Alvian Z, Albert Andika, Rani Fery A, Aveny Septi A, Eka Fitri A, Ika (aduh lalu jeneng lengkapmu sopo yo?). Semangat mereka, terkhusus dua nama paling awal itu masya Allah sangat keren banget.
Setahun pertama di KIR tidak banyak yang saya lakukan selain ikut pelantikan, dlongap-dlongop liat pengumuman senior dapet prestasi ini itu. Maklum saat itu masih cupu (ya padahal ampe lulus juga terus-terusan cupu). Eh nggak tahu kenapa di awal semester 3 malah ditunjuk jadi ketua panitia rekruitasi dan pelantikan. Di sini saja sudah mulai terasa bahwa kaderisasi merupakan hal yang sangat sulit dibangun. Memikirkan konsep sudah menguras separuh otak lebih, dan masih pula harus memberesi segala persoalan administratif terkait pelantikan. Many thanx for kawan-kawan panitia :)

Menjelang akhir tahun 2006, suksesi kepengurusan dimulai. Nah pemilihan ketua KIR sendiri bernuansa deja vu ketika ada dua nama bersaing (tapi nggak pake anarki ataupun demo ke MK lho y). Kenapa deja vu? Ya iyalah, 2 orang di tahun 2003 pemilihan ketua OSIS SMPN 1 Margasari kembali berkompetisi. Dan akhirnya terpilihlah Norma yeyyyyy Deja vu masih kentara ketika saya diajak menjadi wakil dengan alasan yang nggak pernah saya tanyain (dan males juga nanya :p). Penyusunan program kerja mulai agak menggoncang manajemen waktu mengingat ada amanat juga di OSIS sebagai koor sekbida paling "berisik", yaitu sekbid 5 *langsung nabuh kentongan* plus kerani putra (kerani putra paling di-bully sepanjang sejarah). Beruntungnya Norma selaku ketua KIR, Arief Adityo selaku pradana putra, dan bos Aditya Setiaji selaku ketua OSIS bisa memahami hal itu. Kepengurusan ini sendiri tidak terlalu gemuk, sangat ramping karena memang banyak personelnya yang tersedot ke amanat lain.

Nah, ini nih yang paling jebreddd jika bicara KIR, yaitu pengalaman membuat karya tulis.

Project pertama dimulai di sebuah event berupa kompetisi ide kreatif menangkas rokok yang diadakan oleh BEM FK UGM. Kompetisi ini pengumpulannya sekitar akhir November 2006 dimana oleh Bu Narni (pembina KIR) di-plot-kan satu kelompok dengan Mba Ari Prihartini dan Norma. Sebelumnya saya hanya tahu dan kenal dengan Mba Ari tapi nggak pernah banyak ngobrol. Hingga akhirnya project nulis inilah kami bertiga mulai menanggalkan kecanggungan. Ternyata keren banget Mba Ari. Walau dalam suasana lelah, selalu mengerahkan kemampuan bicara yang 200%. Tak hanya itu, dia tidak sombong sebagaimana diisukan ornag-orang. Dia sosok yang humble (humble kuwi opo??) dan sangat terbuka terhadap masukan orang lain.

Komposisi yang sebenarnya sangat meminderkan saya, tapi karena cowo masa minder sih hahaa. Beruntungnya kami bertiga saling melengkapi. Norma memiliki kemampuan konseptual yang yoii banget, Mba Ari memiliki daya jelajah orasi yang luas dan mampu mengkritisi ide secara kolektif, dan saya memiliki kemampuan administratif yang agak unggul hehee. Ternyata ada 4 tim dari Smansawi yang lolos ke final. Eduun, gokil tingkat dewa nggak sih? Namun apa daya, kami bertiga bertangan hampa sepulang dari Yogyakarta. Event yang dihelat 17 Desember 2006 itu ternyata menyingkap rasa pantang menyerah yang berharga banget di masa-masa berikutnya.

Project kedua hingga satu proyek sebelum proyek terakhir cukup beragam dan penuh liku-liku. Mulai dari yang hanya mencapai komentar diplomatis "event-nya bagus tapi lagi sibuk ey", ada pula yang mulai terpkirkan berhari-hari dilanjut diskusi namun nggak bisa move on statusnya dari "wacana", hingga yang menempatkan penulisnya menuju kondisi "nyaris menang". Yups, etaa pisan ieu, saya banget tuh tiga kondisi tersebut. Mulai dari mana ya? Seingetnya lah ya..

Topik transportasi menghentak karena bukan hal yang dibincangkan tiap hari sebagaimana topik lingkungan, kesehatan, dan pendidikan. Penyelenggaranya dari Astra dan tingkat nasional. Kebetulan ada tiga orang yang ikut dari KIR Smansawi, yaitu saya, Dewi, dan Norma. Kebersamaan bertiga dalam urusan bahu-membahu tidak perlu didetailkan, selain sebaya sehingga tidak canggung untuk saling meminta maupun memberi pertolongan, kondisi senasib alias masih kelabakan hingga dateline menjadikannya memori keren. Namun apa daya hanya Dewi dan Norma yang sukses diboyong ke Jakarta dan saya tidak hehee. Peringkat 4 yang diraih Norma keren bangetlah. Eh bentar kok saya mulai ragu, itu Dewi Agita ikut nggak ya yang lomba Astra? Ko jadi bingung ya? Ah tahulah..udah malem males memulai lagi mikirlah, lanjut sajalah ya. maaf ya Dewi kalau ternyata nggak ikut, setidaknya sempat terkesan keren lho udah masuk final.

Topik pembangunan juga sempat jadi ajang pemenuhan hasrat penasaran yang ternyata masih belum menemui hasil positif. Kandas di penyisihan dan tidak memperoleh undangan final. Mungkin karena kurang akrab ama Allah :)

Oh ya, project kolaborasi juga pernah terjadi antara Pramuka dengan KIR, tepatnya di TKPP GSKB V. Kebetulan ada dua anak Pramuka yang juga ikut KIR, yaitu saya dan Rani. Nah cocok nih buat ikut lomba karya tulis aplikatif yang merupakan cabang lomba di TKPP kali ini. Walau secara hitung-hitungan tidak bisa diklaim sebagai prestasi KIR, Bu Narni tidak menolak untuk membimbing kami berdua. Banyak masukan berharga yang turut mempermatang persiapan, khususnya dalam menyikapi kejelasan konsep.

Yang lumayan terkenang spesial tentu dua project menulis yang terakhir kali saya ikuti. Yang satu tentang teknologi lokal dari Undip dan satunya lagi tentang statistik dari BPS. Teknologi lokal, jujur saya nge-blank ketika diundang Bu Narni ke perpus untuk brainstorming-nya. Selain bureng karena topiknya yang berat, saat itu habis berantem dengan orang-ornag di OSIS. Dan saking buremnya H-2 pengumpulan belum ada selembar pun draft-nya. Sungguh pembandel yang patut diapresiasi dengan jeweran hahaa. Saat itu kebetulan ada Dewi juga yang ikut kompetisi ini. Langsunglah tanpa basa-basi, saya dan Dewi (yang juga belum selembar pun draft-nya, namun jauh lebih tidak bureng) dipertanyakan keseriusannya :/ Lantaran masih yakin untuk ikut, akhirnya kami pun diwajibkan romusha menyelesaikan karya tulis yang benar-benar saya sendiri tidak percaya bisa diselesaikan di menit-menit akhir. Sebulan berselang akhirnya muncullah undangan final *alhamdulillah akhirnya mengakhiri paceklik final :p) bagi saya dan juga Dewi. Langsunglah digeber pembuatan file dan teknik presentasi. Kesungguhan secara konkret, itu jadi pelajaran berharga yang membuat saya banyak merenung sebagai pembeda antara orang yang sukses dengan yang secara sengaja menghindari kesuksesan. Ekspedisi ke Undip benar-benar membuat saya bersyukur bisa menemukan pelajaran tersebut. Bahkan peringkat 5 pun tidak membuat saya berkecil hati, eh peringkat 5 apa 6? Pokoknya persis satu peringkat di bawah Dewi. Juara satu di kompetisi itu membahas Zeolit, sebuah zat kimia yang baru kali itu saya dengar o_O

Dan kompetisi pamungkas yang saya ikuti adalah penyisihan Olimpiade Statistik yang berupa project riset statistika. Di sini ada 2 pelajaran spesial yang nanti saya sebutkan gamblang. Di kompetisi ini selain saya, ada pula Dewi dan Norma, dua sosok yang bisa disebut sebagai top scorer partisipasi dalam kompetisi hehee. Kompetisi ini sendiri sangat berharga bagi saya kala itu, kenapa? 5 besarnya cukup mengikuti tes kesehatan untuk bisa berkuliah di STIS, sebuah perguruan tinggi yang saya idamkan, boleh jadi hal itu berlaku pula bagi Norma dan Dewi. Karena itulah, kami benar-benar totalitas di situ. Bahkan saya yang biasanya agak lelat lelet mengumpulkan data mendadak rela bergerilya, berburu, dan mengais data ke berbagai narasumber.

Motivasi saat itu bulat, yaitu sebagai cara masuk ke STIS (padahal kalau mau masuk STIS tinggal naik angkot 16 jurusan Ps. Minggu - Kp. Melayu). Kami bertiga benar-benar dalam tekanan yang yoii bangetlah kenapa? Kembali ke nomor 4 dari 8 nomor yang saya sebutkan di atas. Besoknya itu dateline pengumulan karya, saat itu masih memakai pengumpulan hardcopy, belum melalui email yang lazim dipakai saat ini. "Sekali lagi batas pengumpulannya itu besok", kurang lebih begitulah peringatan keras dari Bu Narni saat H-1 kisaran Maghrib. Tidak ada pilihan lain selain mengiyakan, tidak ada pula opsi untuk berdebat. Kalau boleh jujur, tidak ada opsi untuk mundur, kenapa? Simpel saja alasannya, karena kondisi saat itu benar-benar riweh sehingga walau sifatnya individu namun jika ada satu orang mundur maka konsentrasi 2 lainnya bakal amburadul dan terancam menggagalkan semuanya ikut kompetisi ini. Jam terus berputar hingga akhirnya adzan Ashar di hari H, ya di hari H. Dan tebak ada dimana saat itu? Baru memutuskan untuk mengakhiri penulisan dan ikhlas terhadap penilaian tulisan yang harus dikirim saat itu juga.

Jam 5 sore jadi saksi tiga buah karya kami masing-masing selesai dijilid. Bagaimana dengan pengumpulan? Kantor pos Slawi jelas bukan opsi yang tepat karena sudah tutup, jasa kurir belum ada dan opsi terakhir adalah mendatangi kantor pos Kota Tegal yang termasuk skala besar layanannya. Karena transportasi umum ke sana tidak ada, maka diputuskanlah cukup saya saja yang menuju ke kantor pos Kota Tegal, pertimbangannya jelas, kondisi fisik saya yang masih on, Norma dan Dewi tepar. Sesampainya di Kota Tegal kurang lebih 20.30, kantor sudah tutup. Berbekal cerita dari mba Yani bahwa jika kantor pos tutup, coba lewat belakang dan ceritakan urgensinya, kemungkinan besar akan dibantu. Tapi... petugas dengan wajah penuh simpati hanya bisa memperlihatkan urangan besar kantor itu yang sudah tidak ada orang.

Akhirnya saya pun kembali dengan penuh penyesalan dan pengandaian. Andai saja kami lebih siap jauh-jauh hari..andai saja...ah sudahlah.

Pandangan kosong itu pun sepakat kami konversi menjadi optimisme ketika rencana baru disiapkan. Tetap mengirim di esok harinya dengan sikap nothing to lose plus konfirmasi permasalahan sebenarnya yang kami hadapi. Dari bahasa panitianya saat kami telpon untuk konfirmasi sih agak diplomatis, tapi sekali lagi tidak ada yang perlu diratapi karena yang kami lakukan adalah buah perilaku kami sendiri di masa lalu. Ikhtiar dan tawakal, itulah pelajaran pertama di kompetisi ini.

Pelajaran kedua? Tentunya terkait muara hasil penyisihan yang menyisakan nama saya seorang sebagai peserta yang tidak lolos dari kami bertiga. Norma dan Dewi lolos, bahkan menduduki peringkat pertama dan ketiga di final alias tiket masuk ke STIS digapai. Honestly, itu adalah masa terberat selama ada di SMA 1 Slawi, apalagi untuk mencegah adanya rasa dengki, owh meeen sungguh berat menjaga hati ini. Tapi sekali lagi, Allah punya rencana terhebat yang sering kita keluhkan dengan rasa sok tahu. Ternyata Allah mengganjar saya beberapa bulan kemudian dengan tiket ke S1 Teknik Informatika IT Telkom. Sebuah pilihan program studi/jurusan serta perguruan tinggi yang sangat tepat dan tidak saya sesali. Boleh dibilang ketidaklolosan saya adalah kemenangan dalam kekalahan. Mungkin saya lebih sakit hati jika lolos ke final tapi tidak masuk  besar, ya kali aja lah yaa hahaa.

Akhirnya, ya akhirnya...besok saya harus kerja, sudah kebayang berbagai tumpukan agenda menanti. Sungguh memang saya tidak menyesali masuk KIR. kalaupun ada rasa sesal, mungkin itu terkait ketidakseriusan dalam menulis di berbagai project yang saya ikuti maupun tidak jadi saya ikuti. Tapi sekali lagi boleh jadi itu cara Allah menumbuhan dini dengna menyesali sikap kita di masa lalu dan berjanji memperbaikinya :)

Pas HbH tahun berapa y? kalau nggak 2010 ya 2011

Sekali lagi...terima kasih kepada seluruh ciptaan-Nya yang dikirimkan melalui KIR Scientist SMA Negeri 1 Slawi :)

No Response to "Berlembar Kisah Non-fiksi"