Cross Culture vs Manajemen Stereotipe

Kuliah MPPTI sekarang jadi asyik dengan pembawaan/nuansa yang cozy plus kreativitas dosen yang gemar berbagi pengalaman. Kali ini beliau mengupas beberapa fenomena unik terkait cross culture. Naon deui ieu? Singkatnya, ini adalah fenomena dalam tim proyek dimana beraneka ragam budaya dipertemukan dalam lingkungan proyek. Dicontohkan melalui video sosok project manager dengan budaya Anglo-Saxon yang kental berhadapan dengan lingkungan kerja Latin namun dia enggan mempelajari secara implementatif. Kemudian dijelaskan pula bahwa kebiasaan stereotipe merupakan blunder fatal jika tidak bisa dikendalikan.

Kebetulan di penghujung tahun 2012 dan awal 2013, saya pernah mengalami kasus agak mirip. Tentunya dalam konteks bahasa tertulis alias email. Saat itu saya berkonsultasi dengan dua orang penyusun buku COBIT 5, Enabling Process, yang satu asal Amerika Serikat, satunya asal Yunani. Dan dari cara menjawab email, tampak perbedaan yang kita pelajari sebelum melakukan konsultasi tertulis. Orang Amerika Serikat ini cenderung to the point dengan langsung menyatakan ada yang salah dengan cara berpikir saya. Yang dari Yunani? Dia mengucapkan"happy new year" lebih dulu barulah masuk ke inti dimana dia menyatakan kesalahan saya dengan lebih berbasa-basi. Unik memang, tapi sekali lagi, ini tidak bisa digeneralisasi semuanya.

Nah di Indonesia sendiri, keberagaman malah sudah lebih menggoda untuk diriset. Dulu ada teman asal Tasik yang kaget dengan d ialek Sunda yang kasar di daerah pusat provinsi. Mungkin karena budaya metropolis lebih "menggempur" kawasan pusat provinsi sehingga dia yang berasal dari daerah pantai dengan dialek Sunda halus menjadi kaget dan gatel telinganya. Ada pula stigma bahwa cewe Jawa itu halus, maka jangan jadikan PM karena bakal disetir ama laki-laki. Lha? Ini ada riset yang mengiyakan nggak? Pernah juga kasus ada pemain bola yang melakukan selebrasi gol identik dengan kebiasaan suatu agama dan menuai protes dari suporter yang kebetulan daerahnya bukan dimayoritasi agama si pemain. Masih banyak cross culture di lingkungan sekitar kita sebenarnya. Ya di Indonesia ini.

Karena itulah, kita harus kepo dengan daerah asal seseorang agar tidak terjadi cross culture yang bersifat negatif. Pernah membayangkan sosok suami istri yang berbeda adat? Kemudian mereka  merantau ke daerah yang lain dari asal mereka sendiri. Tentu urusan kerja jauh lebih menantang dengan kewajiban belajar budaya baru dan pandai menempatkan diri.

Akhir kata, belajar belajar dan belajarrrr

No Response to "Cross Culture vs Manajemen Stereotipe"