Review Film Tjokroaminoto: Hidangan Berselera dan Bernutrisi

Maret lalu ketika melihat preview film ini, saya sudah menargetkan untuk bisa menontonnya dan alhamdulillah di sela-sela pusingnya coding dan ini itu anu ada secuil waktu untuk menontonnya. Film ini bisa dibilang menjadi pendobrak kemeluluannyatema horor sebagai tema lazim di perfilman Indonesia. Tema utama memang sejarah, namun kalau ditelusuri lagi, film ini juga berbalut tema politik, tema kebudayaan, tema sosial, bahkan tidak bisa kita bohongi beririsan dengan tema agama. Lho? Kok bisa?

Sedikit menyampaikan apresiasi untuk film itu dari berbagai sisi, namun khusus tema/sisi sosial dan agama saya selipkan hehee

Tema sejarah sudah barang tentu terpancar dari judul. Sosok sentral pergerakan kebangsaan di Indonesia (saat itu Hindia Belanda) yang kerap terlupakan. Namanya mungkin kalah tenar dibandingkan Soekarno, Hatta, bahkan boleh jadi orang lebih mengenal WR Soepratman. Padahal siapa yang menyangka bahkan dari gagasan dan didikannya, lahirlah proklamator Ir. Soekarno. Tanpa bermaksud mengompori gerakan separatis, tapi murid Tjokroaminoto yang lain pun mampu melintang dengan berbagai caranya, termasuk menjadi proklamator negara separatis yang gagal merdeka, yaitu Indonesia Sovyet oleh Musso, dan Negara Islam Indonesia, Kartosoewirjo. Itu dari sisi sejarah, dari sisi politik?

Tjokroaminoto merupakan sosok yang digadang-gadang menjadi "pemegang " tampuk Sarekat Dagang Islam ketika organisasi ini mengalami kritis. Keberaniannya mengubah label menjadi Sarekat Islam jelas suatu tindakan "politis" yang berisiko dari sisi identitas awal organisasi, tapi dari sisi kebermanfaatan, keputusan tersebut tepat. SI mampu menjadi penggugah persatuan kaum muslimin yang statusnya mayoritas dari jumlah tapi minoritas dari sisi politik. Dari sisi politik pula, ada pelajaran menarik ketika murid-muridnya asyik menengok ilmu negeri seberang, yaitu sosialisme-komunisme. Beliau tidak melakukan pengekangan pendapat, justru mempersilakan untuk mempelajari dengan rambu-rambu yang tegas, tidak dengan kekerasan. Bagi sisi, penokohan di bagian ini merupakan sindiran terhadap perilaku berorganisasi (dan berpaham di suatu organisasi) yang mengharuskan adanya kesamaan pemikiran yang homogen. Nyeleneh sedikit langsung dibabat.

Lebih jauh lagi, ini merupakan sindiran bagi pandangan politik (dan juga politik yang merampok identitas agama) dimana dengan mudahkan mengobral makna jihad secara sepihak tanpa tafsir jelas.

Dari sisi kebudayaan, hmmm, walau tidak terlalu dominan, namun ada pencitraan (dalam konteks positif) bahwa Indonesia punya berbagai khasanah budaya yang itu sudah ada dari dulu dan itu bukan penghalang dalam persatuan. Simak bagaimana logat Jawa Timur yang dibawakan Semaoen, Musso, hingga Soekarno, yang kental di dalam perbincangan SI pusat, di situ ada sosok Agus Salim yang terlihat kental juga dialek Minangnya. Tidak ada gambaran pelecehan perbedaan, bahkan ketika suasana rapat yang panas.

Keseluruhan, film Tjokroaminoto menjadi hidangan yang menggugah selera kita akan film yang sarat makna dari berbagai sudut pandang. Ibarat hidangan pula, film ini kaya nutrisi berupa inspirasi dan pelajaran tentang kepemimpinan dan kepedulian terhadap nasib Bangsa Indonesia

No Response to "Review Film Tjokroaminoto: Hidangan Berselera dan Bernutrisi"