Bagi Perangkak yang Memunguti Semangat

Terhitung sejak subuh tadi sudah dua gelas kopi di ruangan ini saya teguk. Rasanya jujur kurang manis, rasanya tidak biasanya saya merasa tidak senyaman ini.Saya dalam kondisi lemah, saya dalam tekanan yang boleh jadi menurut sebagian orang bisa saja tapi bagi sebagian lainnya mencekam.

Bisikan bahwa saya gagal mulai menggerogoti diri sendiri dalam bercermin. Tampaknya kelihaian saya dalam pengalaman sebelumnya tidak sekalut ini. Saya mulai ditikam prasangka buruk.  
Jangan-jangan mereka salah memilih saya? Jangan-jangan mereka memilih saya karena saya masih berserakan di kampus ini semester depan? Jangan-jangan ada motif bahwa saya ex-pengurus sehingga berharap bisa mudah dikendalikan? Jangan-jangan dari sedikitnya kesalahan organisasi sebesar itu mengambil keputusan justru saya termasuk di dalamnya.

Ya Allah ... apa yang mencemari denyut ini sehingga aku terperangkap dalam pribadi yang murung. Memang semua ujianMu pasti bisa aku lewati, tapi untuk kali ini. Berilah aku sedikit saya "clue" untuk menerobos terowongan gulita kali ini.

Aku tidak menuntut apa-apa selain semua berjalan dengan baik, berkesan, dan bermanfaat. Tak perlu segala macam pujian berbumbu manis, aku tidak membutuhkan itu karena tiket ke surga-Mu bukan bersumber dari sanjungan sesama manusia.


Tatkala mereka bisa lebih cerdas saya pun saya pantang untuk menyerobot prestasi mereka. Karena pada dasarnya "kelompok" kami ini bukan hanya mengurusi ladang sendiri saja. Terlalu banyak orang hebat di lingkaran terbuka ini. Segala macam asam-basa-garam dunia persilatan sudah mereka serap dengan jitu jurus-jurusnya. Mungkin aku yang paling bodoh dan lemah dibandingkan mereka. Kadang aku merasa kecil dan tak berguna. Tapi meletakkan kembali amanat ini sama saja menyakiti banyak hati orang lain. Aku pernah merasakan sakit hati karena sosok pemimpin yang aku kagumi justru meninggalkan tim kami, dan aku tidak ingin mengikuti jejaknya.

Apa yang bisa aku perbuat? Atau bahkan aku putar pertanyaannya, apa yang aku punya sebagai modal? Communication skill sangat timpang dibanding rekan-rekan yang lain. Ketegasan pun aku tertinggal jauh dalam keberanian. Ada yang sudah menjadi separuh dosen, ada yang sudah menjadi penggerak kepedulian sosial yang konkret, ada yang mahir pendakwah, ada yang cakap berbisnis, ada yang pakarnya berteknologi. Bahkan bila dibandingkan orang yang aku bimbing, dia lebih melesat perkembangannya dibandingkan saya sendiri. Bila hanya sekedar merangkai kata penyemangat, rasanya lab AI pun bisa membuat Expert System yang bisa menemukan kata-kata penyemangat dari internet untuk kemudian dijarkom ke mereka.

Segala pengorbanan bagi saya itu bukanlah investasi yang saya tuntut untuk dikembalikan. Melihat kebahagiaan mereka dan mereka itu lebih berharga berlipat-lipat dari segala yang saya persembahkan pada mereka. Saya sangat tidak sampai hati bila orang yang harusnya saya bantu malahan terserang kesusahan yang tidak saya sadari bahwa dia membutuhkan kepedulian saya.

Namun sungguh saya tidaklah peduli dengan bagaimana mereka menyebut saya berbagai julukan yang mereka labelkan pada saya. Saya sangat terserah dengan berbagai vonis yang mengkategorikan saya sebagai orang macam apa. Bukan berarti saya apatis ataupun tuli. Itu hanya karena saya tidak ingin terjebak dalam upaya mencari citra positif. Bagi saya, orientasi saya adalah kebahagiaan, ketentraman, kekeluargaan, dan kebermanfaatan orang-prang yang saya pimpin.

Tersela suatu agenda di Minggu siang hingga sore.
Bagi saya, kepuasan saya adalah prioritas paling terakhir. Toh saya merupakan tipe orang yang terbiasa dalam kondisi tidak terpuaskan dalam hal kesuksesan.

Saya punya beberapa inspirator dalam kehidupan organisasi. Dan saya pun harus belajar untuk tidak bergantung pada orang-orang itu. Seseorang yang saat ini paling menginspirasi saya dalam berpikir positif secara perlahan makin tersibukan dengan agenda akademiknya. Well, anggap saja itu merupakan kesempatan bagi saya untuk mandiri. Dan terasa berat dengan berbagai keterbatasan saya dalam mengatasi berbagai problema ini.

Kesehatan saya dalam kondisi menukik tajam. Entah mengapa perut kiri terasa perih pasca agenda pagi ini. Rasanya makin menyempurnakan anjloknya tensi saya dan sesaknya paru-paru ini. Aku makin dimabuk opini bahwa kebahagiaan mereka adalah obat yang paling mujarab. Tapi nyatanya raga ini makin keteteran, bahkan kebahagiaan mereka pun terasa makin jauh.

Saya adalah orang yang sebenarnya introvert, walau banyak yang mengira saya extrovert. Apakah ada yang tahu apa yang benar-benar saya pikirkan selain saya dan Allah? Saya termasuk tipe yang mengutamakan pendapat orang lain. Dan dengan posisi yang sebagai pemimpin maka sempurnalah segala macam ide-ide saya saya singkirkan tatkala ide-ide orang lain sudah menjadi kesepakatan. Perlahan saya terlihat bodoh, tapi sekali lagi saya tidak peduli dengan apa yang orang katakan tentang saya. Bagi saya kemenangan tim lebih penting. Kalaupun rencana yang disepakati gagal, yang saya persilahkan tampil sebagai korektor adalah forum, dan ide-ide saya kembali saya kesampingkan. Aku juga tidak peduli apakah mereka bertanya ide saya atau tidak. Sungguh kebahagiaan mereka lebih berarti dibandingkan perasaan saya yang makin merasa kecil dan tak berguna.

Terlalu banyak ide hebat di sini. Terlalu banyak dokter dengan segala diagnosis yang dahsyat ataupun profesor dengan segala disertasi berupa kuliah singkat dalam segala agenda kita. Maka saya hanya berupaya menjadi gelandang bertahan yang berperan sebagai tameng atas segala serangan.

Dengan segala toleransi yang saya berikan, saya percaya ketidakhadiran ataupun keterlambatan dalam segala perjumpaan kami itu dikarenakan hal yang memang penting. Kita sudah sama-sama dewasa. Buat apa berdusta? Apa khasiatnya menguji ketegasan saya? Jangan hanya saya tipe orang yang longgar maka segala sikap saling menyakiti kita diganjar dengan dibuatnya aturan yang makin menyuburkan benih like or dislike kita.

Saya tidak perlu dimengerti, karena yang saya dambakan adalah kekeluagaan ini. Ataukah kekeluargaan itu laksana dongeng yang membius. Jika ya berarti selama ini saya keliru, saya ngelindur, saya pingsan. Kalau memang begitu, memang saya lebih rapuh daripada akar anggrek . Dalam setiap interaksi saya terpaksa menutupi segala keenekan saya. Karena saya tidak mau mereka terganggu dengan kekesalan objektif saya ataupun kegoyahan saya.

Tidak ada yang bisa jadi teman dalam menyusuri solusi yang ada. Atau bahkan untuk mendengarkan problema ini pun enggan telinga mereka menangkap radar kekecewaan saya itu. Tapi tidak apa-apa ko :) yang penting mereka bisa tertawa, yang penting mereka terbohongi bahwa saya baik-baik saja. Saya dalam posisi yang dipantangkan untuk menyatakan kegelisahan saya. Apalagi mereka pun terlalu asyik dengan keluarga baru mereka dengan segala visi yang mereka yakini. Selamat jalan wahai waktu yang misalkan aku tak di sini mungkin aku sedang rutin bimbingan skripsi, mungkin sedang traning centre untuk sebuah turnamen karate, atau mungkin berwisata ke kerabat/teman, atau bahkan mengais sesuap nasi sebagai pekerja sambilan.

Alhasil aku kehilangan mata hati untuk menyaksikan romantisme waktu bergulir. Aku lumpuh tanpa kaki bernutrisikan kalsium dukungan. Aku merangkak mencari potongan semangat yang tercecer di sabana kalbu. Tidak ada yang menemani. Tidak ada saran. Tapi segala teriakan menuntut pengabdian menyeretku.

Barang siapa dikehendaki Allah dengan kebaikan baginya, maka ia diuji (dicoba dengan suatu musibah) HR Bukhari.
SC lantai dua pojok kanan

No Response to "Bagi Perangkak yang Memunguti Semangat"