Nikah vs Minder

Usia kepala 2, dalam pergaulan sekitar maka yang sering dibahas adalah tentang pernikahan, entah itu bermotifkan bercanda ataupun serius. Sejenak ada perasaan lumrah, tapi, tak berarti topik itu seenaknya orang umbar sebagai bahan orbolan, seolah bumi yang luasnya berjuta-jut akm2 ini tidak ada topik lain yang dibahas. Sempat terbesit, kenapa ketika sesama anak muda yang ditanyakan adalah "kapan situ nikah?", wel... jarang dijumpai pertanyaannya "kapan situ naik haji?" "kapan situ lailatul qodr?"

Untuk dua pertanyaan terakhir, saya belum menemukan statistik yang memakarkan data kuantitatif usia rata-rata masyarakat Indonesia menunaikan ibadah haji serta usia rata-rata masyarakat di Indonesia meraih lailatul qodr. Berbeda dengan data tangiable yang menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia rata-ratanya menikah pada usia 24 (ini sumbernya). Maka dua pertanyaan terakhir pada paragraf sebelumnya memang sulit dibuktikan penyabab kenapa jarang ditanyakan dalam percakapan anak muda usia 20-an, sedangkan pertanyaan "kapan nikah" bisa dilumrahkan. Konsekuensinya suka tidak suka, lapangkan hati ketika pertanyaan itu muncul di saat yang tidak tepat. Anda punya kesempatan untuk marah, tapi Anda jug apunya kewajiban untuk memahami teman anda (yang barangkali tidak punya topik lain untuk diobrolkan, mungkin dia sudah terlalu sibuk agendanya sehingga berharap Anda mengabarinya juah-jauh hari hari pernikahan anda agar dia bisa datang).

Pernikahan...
Ah, ternyata ada yang lebih njelimet dibandingkan setumpuk coding-an website Indonesia Kreatif. Berada di tengah obrolan tentang itu memang serasa seerti mengasah pisau, bermanfaat tapi salah-salah malah ada yang menusuk di hati. Alhasil semua rupa prasangka buruk berdatangan layaknya banjir bandang. Kenapa? Dalam kenyataannya tidak semua orang mempunyai pengalaman yang manis tentang segala hal bertajuk "pernikahan". Sangat mungkin ada momen terkait hal itu yang bisa membuat orang menjadi penampar berdarah dingin apabila diledek tentang topik ini.

Saya sendiri dengan tipikal introvert mempunyai cara tersendiri menyikapi topik tersebut. Selama pembahasan berujung pada kebermanfaatan dan saya berkesempatan membantu kawan saya yang menjadi lawan bicara (at least menjadi pendengar yang baik) maka it's fine. Tapi segera berinisiatiflah alihkan channel diskusi jika menanyakan tentang rencana saya terkait topik itu.

Sebab  detail apa, tidak akan pernah saya sampaikan di sini, intinya saya dalam kondisi larut dalam keminderan yang biasa dan terjebak dalam anggapan ketidaklayakan pada diri saya. Semua orang agaknya hobi mencibir opini saya, meremehkannya, dan memvonis saya tidak kapabel untuk berada di jalur itu. Entah standar mereka yang terlalu tinggi atau memang kapabilitas saya yang ecek-ecek bin abal-abal. Beberapa kejadian sekitar pun mengindikasikan aura negatif, satu per satu teman saya yang mempunyai rencana matang terkait hal itu malahan tumbang dengan berbagai alasan. Mengutip frase milik Hajime Saito "know that normal if you lost", maka memang normal bagi seorang manusia, terlebih laki-laki terpecundangi harga dirinya apabila mengalami kegagalan terkait topik itu, tapi siapa yang tidak merasa ikut sakit hati ketika teman sendiri yang dipecundangi? Terlalu banyak kasus negatif naas yang berserakan di sekitar saya terus terang mempengaruhi mental saya dalam berpikir jenih terkait topik itu. Rasa-rasanya sangat riskan untuk mengambil sikap. Pernah optimisme menjadi selimut untuk menatap segala macam tantangan. Tapi entah kenapa perlahan namun pasti pesimismelah yang berkuasa di benak. Segala ucapan yang mengucilkan optimisme pada diri ini, sungguh menyebalkan, membodohkan, dan menggilas saujanaku, tanapa mereka sadari orang yang mereka robohkan benar-benar kesulitan untuk bangkit dan tangan merekapun dikepalkan ke langit tanpa gembira, bukan dijulurkan untuk membantu.

Segala ilmu agama, diri ini terlalu minder dengan kecethekan ilmu ini.
Segala kalkulasi finansial, diri ini pun latah dengan tudingan ketidakmampuan oleh mereka.
Segala preparasi tentang jalur geografis agaknya bualan belaka.
Segala ide-ide yang sempat aku gulirkan pada wujud peta dan tulisan tentang masa depan, hmmm, entah ada di folder mana.
Apakah memang sudah kronis rasa minder ini? Mungkin

Fokus saat baru bisa pada 4 hal
- Meringankan beban orang tua
- Mencari beasiswa
- Menjaga adik
- Belajar mengurangi rasa minder, dan ini yang paling sulit tercapai

Diri ini tak pernah ingin menjadi seorang peminder, apalagi peminder sejati
Diri ini dari dahulu terus merangkak dan berganti berjalan walau tanpa teman yang peduli dan bantu memapah
Diri ini masih menggenggam secuil optimisme yang tersisa
Hanya dua yang masih aku percayai, perintah-Nya dan pertolongan-Nya

No Response to "Nikah vs Minder"