Tentang Sekarung Memori

Sekarung memori itu berisi berbagai kilogram sajian tentang persahabatan, rivalitas, romantisme, elegi, aksi heroik, kecerobohan, kebengalan, kecerdikan, ah entah apa lagi di muatan karung itu.

Alkisah sekelompok bocah dari sebuah generasi (generasi ini yang kelak di suatu hari menjuluki diri mereka sebagai GANAS58). Tanpa jumlah yang pasti hingga laga akhir, mereka menikmati segala rupa interaksi sebagai sesama generasi. 

Persahabatan, jika harus ditulis contohnya satu per satu, maka bisa jadi novel yang tebalnya melebihi KBBI. Mari mengulas sisi lain bernama 'rivalitas'. 'rivalitas' yang satuperdua bertajuk adu idealisme dan satuperdua lainnya bertajuk adu narcis. Adu idealisme menyikapi berbagai problema yang ada menjadi aku benar-benar tergoreng dalam konflik satu angkatan. Ada yang ngotot dengan idealisme X, ada yang keukeuh dengan idealisme anti-X, ada yang anti-konflik, ada yang hanya diam sok tampan di tengah konflik, ada juga yang masih sibuk pushup lantaran menjadi topscorer jatah pushup saat itu (that's me :)). 
Rivalitas itu pula yang tak dipungkiri mendasari puas vs tidak puas serta layak vs tidak layak, baik yang bersifat kolektif maupun individu, well, keluh kesah tentang rivalitas itu kelak akan menjadi pelajaran untuk, terus memperbaiki diri :)
Perbedaan instruksi juga tak lepas dari momen-momen itu, mungkin lebih tepat "instruksinya sama, yang ngomong juga sama, tapi ga tahu kenapa yang masuk telinga beda", itulah kocaknya perdebatan warna jambu yang harus dibawa di H-1. Ketika mayoritas mendengar merah dan minoritas (saya doank sih sebenarnya) merasa mendengar putih, maka faktor tahu diri (baca: ngerasa sering tidur saat pembacaan instruksi) menjadikan si minoritas akhirnya ngalah. 
Entah adakah yang mengingat bahwa hampir semua cowo (sok) ganteng di generasi ini memilih masuk kelas 'pendobrak', hanya satu orang yang memilih masuk kelas 'penegas'. Agaknya diksi 'pendobrak' memang sangat mengesankan kegarangan dan kemachoan :p. Alhasil, seluruh cowo (sekali lagi diperjelas "sok") ganteng itu pun kena omelan karena dianggap tidak dewasa dalam menentukan pembagian kelas sehingga pembagian kelas pun dilakukan secara sepihak oleh kakak kelas.

Romantisme, yummy, siapa sih tidak merasa diperlakukan spesial ketika segerombolan anak-anak yang terlunta dengan berbagai kekurangannya plus berbagai tantangan, justru saling memberi support, saling membangkitkan semangat, dan (ini nih yang bikin demen) saling membuatkan santapan pengusir lapar. Apa tidak romantis, berhujan-hujanan satu angkatan itu berlari-larian layaknya FTV (yang gagal tayang), malam-malam menyusuri rawa-rawa sambil membopong tas yang berat (namun tak seberat beban hidup). Siapa sih yang mengelak arti romantisme perkawanan ketika 3 orang menyusul jejak padahal di tempo hari mereka telah tertinggal. 
Elegi, 7 hari yang membuat air mata menetes ketika harus menenteng "tas yang tidak biasa". 7 hari yang melelahkan ketika jam tidur harus dikurangi. 7 hari yang menguras emosi ketika harus menyaksikan sesama rekan beradu argumen (kecuali saya yang masih sibuk pushup :v). 7 hari yang menjepit kenaifan ketika bingung memilih melanjutkan perjuangan ataukah balik kanan bubar jalan. 7 hari yang apabila dianalogikan dengan masakan, maka sebagian dari kami harus kegosongan daya juang sehingga percaya diri jadi modal yang tersisa saat menatap berbagai lelikuan rumah tangga di keluarga ini (sori kalau bahasanya nggak nahan). Tapi dari elegi-elegi ini pula kami saling menjulurkan tangan, saling memapah, saling memberi logistik (jadi ketika ada tugas bawa ini itu, tentunya yang nggak bawa, nah di saat itulah, yang punya kelebihan stok mendonasikannya).

Aksi heroik pun tak luput dari kisah hari-hari itu. Ketika sebuah pertanyaan tentang kelayakan oleh kakak kelas 2 dengan penuh gagah berani dijawab oleh dua orang dari kami. Melihat keberanian mereka, berbagai komentar garang pun terlontar ke arah mereka. Namun tanpa secuil pun gentar ataupun mundur (mungkin karena tidak semapt mengajukan pembatalan jawaban). Kebengalan layak direpresentasikan dengan kolaborasi menikmati kudapan di kantin dan hanya berdua. Sementara itu yang lain hanya bisa berbugam "dasar bocah bandel". Bengal itu juga diucapkan ketika salah satu diiantara kami mengakui memanjat pagar untuk berangkat sekolah. Aih, ngapain pula memanjat pagar (yang seingat saya tinggi mencapai 2 meter -___-". Bengal itu juga ketika walkout lantaran terkekang berbagai tekanan, entah mungkin identitas sebagai manusia membuat diri ini berpikir "kenapa harus di-pressure terus layaknya bandeng presto ?".
Kecerobohan, wah bisa jadi komik puluhan jilid nih bila dikulik. Cerita tentang tidurnya seorang bocah saat perjalanan malam yang nyaris ditinggal di pinggir makam. Kecerobohan dalam mematuhi tata tertib wah tidak terhitung. Namun tatkala bercakap-cakap tentang kecerobhan maka akan sering terceloteh pula tentang segala wujud akal-akalan yang kita sebut kecerdikan. Tatkala sebuah game sore hari berupa pengumpulan peralatan makal jadi ajang berpikir nyleneh. Game tersebut berisikan instruksi mengumpulkan item utgas lalu lari, bila sesuai kriteria item tugasnya maka lari 4 kali, bila salah maka 5 -6 kali. Seorang bocah asal Margasari dengan ide briliannya malah selalu lari 5 kali, bukan karena fisiknya yang tangguh tapi karena hanya membawa sebagian item tugas, singkat kata si bocah Margasari ini mengulur waktu, dan itu sukses :). Bermodalkan kecerdikan pulalah, si bocah Margasari ini kebagian jatah makan malam 3 porsi.  

Ternyata sudah hampir 8 tahun sejak 7 hari itu
7 hari yang melegenda
7 hari yang inspiratif 
7 hari untuk dikenang
7 hari tentang sekarung memori

No Response to "Tentang Sekarung Memori"