Jangan Hanya Narcis dan Sinis [1]

Di penghujung tahun 2015 lalu, Kementerian PAN-RB telah merilis Rapor Akuntabilitas Kinerja Kementerian/Lembaga/Provinsi. Suasana penilaian kuantitas memang mulai mewadah di Indonesia pada beberapa tahun terakhir. Jelas pengaruh riset yang mengomparasi antarobjek tampak sebagai proses adopsi dari lembaga-lembaga global, misalnya World Economy Forum, UNICEF. OK, bukan proses adopsi yang saya soroti, melainkan hasil penilaian serta dampaknya bagi masyarakat.

Hasil penilaian terpampang di website KemenPAN-RB, namun detail pencapaian tiap borang belum tertuang jelas. Memang, saya tidak menyangsikan eksistensi si peraih nomor 1, DI Yogyakarta (malah merasa kesuksesan mereka sangat wajar tampaknya mengingat stabilitas sosial ekonomi politiknya). Secara pribadi bercita-cita rapor ini lebih detaild an disajikan secara kreatif. Barangkali "melirik" buku-buku garapan World Economy Forum bisa memberi inspirasi. Malah, jika mau cobalah untuk menyaksikan raport anak SD yang tidak sekedar ranking berapa, tapi capaian tiap mata pelajarannya dimana.

Berlanjut ke isi dimana seperti saya singgung DI Yogyakarta peringkat 1, hhmmmm, sangat tidak kaget. Beberapa faktor patut diperkirakan sebagai alasan kesuksesan provinsi yang terkenal kuliner gudhegnya ini. Pemerintahan provinsi yang stabil dimana sosok SHB X sudah matang dalam pengalaman sebagai gubernur. Status gubernur sekaligus sultan juga mendorongnya untuk tidak berkorupsi. Ketika banyak pemimpin daerah dan legislatif tersandung kasus korupsi karena "balas budi" dan "nyetor" ke partai, maka pemimpin DI Yogyakarta tidak perlu "balas budi" dan "nyetor" ke partai manapun. DI Yogyakarta memang jauh dari hiruk pikuk dalam beberapa tahun terakhir (kecuali kasus pelecehan primordial oleh seorang oknum pendatang). Tapi ini pula yang membuat mereka (pemerintah DI Yogyakarta) tidak terganggu dan tidak perlu pencitraan. Saya lebih menyoroti status DI Yogyakarta yang semakin diramaikan oleh pendatang dari luar provinsi. Dibandingkan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia, DI Yogyakarta tergolong "sesak pendatang", mungkin hanya kalah dari DKI Jakarta dan Jawa Barat. Tapi prestasi dit ahun 2015 lalu menunjukkan bahwa pemerintah DI Yogyakarta mampu menangani keragaman tersebut.

Beralih ke empat provinsi lainnya di peringkat 2 s.d. 5: Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Bali, dan Kalimantan Timur. Pertanyaan sederhana, "Ada yang hafal nama gubernur dan wakil gubernurnya?" agaknya hanya Jawa Timur yang lebih populer, sedangkan 3 provinsi lainnya minim pemberitaan. Bahkan jika lebih jujur, popularitas pemerintah Jawa Timur, khususnya sang gubernur dan wakil gubernurnya sangat kalah dibandingkan nama wali kota Surabaya. Eksistensi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur agaknya menjadi bukti bahwa profesionalisme provinsi di luar Pulau Jawa tidak perlu diragukan. Barangkali kedua provinsi ini plus Bali harus bisa lebih gencar membangun perguruan tinggi agar SDM-nya makin berkualitas dan mau menjaga prestasi yang telah ditorehkan ini di era mendatang. PR yang berat untuk mempertahankan prestasi ini bagi Pak Awang Faroek Ishak (Gubernur Kalimantan Timur), I Made Mangku Pastika (Gubernur Bali), dan H. Sahbirin Noor (Gubernur terpilih Kalimantan Selatan).

Lantas siapa saja di peringkat 6 s.d. 10: Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Kepulauan Riau. Sumatera Selatan betul-betul mendentum di satu dekade terakhir. Keberhasilan menjadi tuan rumah (bersama) di SEA Games 2011 plus tuan rumah (bersama) Asian Games 2018 membuat provinsi satu ini berpendar dengan hebatnya. Sentra peradaban di Pulau Sumatera yang sebelumnya Sumut-sentris, khususnya Medan, kini bergeser ke Sumsel-sentri, khususnya Palembang. Salah satu provinsi "muda" di Indonesia, yaitu Kepulauan Riau tanpa dinyana menyeruak ke ranking 10. Secara pribadi, ini adalah kejutan yang sangat saya apresiasi. Kepri merupakan provinsi yang satu-satunya menggunakan kata "Kepulauan", padahal Maluku, Maluku Utara, NTB, dan NTT tidak demikian. Dan wilayah mereka betul-betul sangat imut lembut di peta. Jika menyimak Google Maps, maka kita perlu scrol beberapa kali agar bisa melihat ada di mana saja pulau-pulau di Kepri. Transportasi laut jelas menjadi satu-satunya kabel koordinasi di provinsi satu ini. Tapi mereka bisa :)

Jika lakukan segmentasi, ada fakta unik tapi bisa juga menyesakkan. Pertama persebaran provinsi berotonomi khusus yang menempatkan DI Yogyakarta di ranking 1 nilai AA jauh meninggal 3 provinsi lainnya: DKI Jakarta (ranking 18 indeks CC), Aceh (20 CC), dan Papua (31 C). Apakah otonomi yang lebih kental tidak otomatis mengerek nilai akuntabilitas dan performansi ketiga provinsi lainnya. Kedua jika kita bagi berdasarkan zona waktu, maka WIT betul-betul masih jauh tertinggal dengan rincian Maluku (23 CC), Papua (31 C), Papua Barat (32 C), dan Maluku Utara (33 C).

Yang menarik dan juga menyebalkan adalah dampak yang beredar di masyarakat. Ada apa memang? Tentu ini berkaitan dengan mengasosiasikan hasilt ersebut pada sosok tunggal gubernur. Nantikan selengkapnya di artikel jilid [2] :)


No Response to "Jangan Hanya Narcis dan Sinis [1]"