Mendaki Semeru Cinta

Berhubung jalanan menuju TKP-nya menanjak plus nama acaranya mirip dengan sebuah gunung di Jawa Timur, maka judul artikel ini saya labeli "Mendaki". Dari persepsi tentang gunung, kita tentu langsung membayangkan berbagai petualangan penuh tantangan yang menuntut kita memiliki modal berupa mental yang tangguh. Acara yang digalang oleh KAMIL ITB ini menghadirkan dua pembicara, namun karena paginya saya puskesmas (baca: pusing-keseleo-masuk angin) maka hanya berkesempatan menyimak sesi kedua tentang mengatasi kebiasaan marah pada anak. Sesi ini dipaparkan langsung oleh Pak Ustadz M. Fauzil Adhim. Sepintas wajahnay mengingatkan saya pada seorang entrepreneur asal Jogja yang pernah jadi bintang tamu di Kick Andy, tapi begitu melihat orangnya kok mirip seorang dosen di Fasilkom UI, #abaikan hehee.


Materi ini memang menarik bagi saya dan istri walau memang kami masih "harap-harap cemas" menuju HPL alias belum mengasuh seorang anak. Namun dengan pengalaman menjalani masa anak-anak (ya iyalah, mosok langsung gede ganteng begini :v), banyak inspirasi yang perlu kami gali acara parenting seperti ini. Bukan rahasia bahwa konflik orang tua dengan anak itu terjadi dari usia dini, bahkan hingga si anak beranjak dewasa. Alasannay beragam, mulai dari merengek manian, hingga merengek gegara mantan, dari bubur yang terlalu asin, hingga niat ingin kawin, dari pipis di celana hingga IPK yang merana. Ya banyaklah dinamisnya hidup berkeluarga itu. Namun bukan berarti konflik dibiarkan alami begitu saja. Ibarat nasi goreng yang (beberapa, tidak semua) mengandung mecin, maka bumbu-bumbu yang kurang sehat itu perlu diminimalkan. Salah satu bumbu yang perlu diminimalkan adalah marah.

Ya, dengan segala motifnya, marah memang menjadi investasi masa depan yang cukup mengancam. Lantaran kebiasaan marah ataupun marah yang dibiasakan sebagai solusi untuk mengontrol anak, tentu anak akan mendeskripsikan sosok orang tuanya sebagai pemarah. Begitu pula sebaliknya ketika si anak yang mudah marah, maka orang tua perlu cara mengurus yang lebih spesifik. Marah di satu sisi merupakan indikasi yang sangat manusiawi, tapi di lain pihak menjadi sekat yang mengusik romantisme antara anak dan orang tua, termasuk suami dengan istri. Yang perlu diperhatikan adalah mengelola marah agar tetap di jalur yang mendidik. Sedapat mungkin menekankan alasan dalam mengarahkan anak, bukan berpikir pragmatis "yang penting anak nurut". 

Banyak pelajaran lain yang perlu dikejar dan memang harus dikejar setelah "sedikit" tergugah dalam pendakian hari Minggu (17/1) lalu. Bismillah

No Response to "Mendaki Semeru Cinta"