Mengeja Diskusi Destruktif

Belakangan ini berbagai diskusi, seminar, hingga propaganda terkait LGBT semakin gencar dan ramai. Bahkan sejujurnya isu Gafatar dan bom Sarinah di tahun ini, bahkan skandal "papa minta saham" tahun lalu pun kalah pamor dibandingkan isu LGBT ini. Tiada hari tanpa berita, info kegiatan, hingga opini yang sifatnya pro maupun kontra atas isu tersebut. Berbagai pola pandang dan perspektif dipaparkan, mulai dari yang senatas sugesti ringan hingan yang frontal menghujat. Ada yang mengutip aspek agama, ada yang menyongkel sisi psikolpgis, ada yang menggali aspek ekonomi, dll. Dan pada akhirnya di era keterbukaan seperti ini, norma menjadi pemegang kendali isu di tataran duniawi ini. Di tatanan akhirat, saya meyakini bahwa itu hak prerogatif Allah, makaesan saya bagi pelaku dan pendukung LGBT, "insyaflah".

Mengapa saya menyebut norma sebagai pemegang kendali isu?
Norma di sini meliputi norma agama, norma hukum, dan norma sosial (termasuk susila).

Norma agama jelas menjadi acuan bagi insan beragama. Dalam Islam ketentuan boleh tidaknya perilaku LGBT sudah jelas termuat di Al Qur'an. Perlu silogisme apa lagi untuk membantahnya. Maaf saya kurang tahu detail dalam agama lain, namun setahu saya belum ada statement dari pemuka agama non-Islam yang memperbolehkannya, artinya? Status LGBT ilegal. Bagaimana dengan ateis? Di dunia ini mungkin mereka masih bisa menyangkal, tapi bagaimana nanti setelah meninggal? Toh ateis pun terikat dengan norma hukum dan norma sosial.

Norma hukum erat kaitannya dengan tekanan sebuah komunitas bernama negara (dan struktur di bawahnya) untuk mengatur perilaku masyarakat di dalamnya secara formal. Kata formal ini akan kental jika melihat situasi ramainya LGBT ini justru pasca-dilegalkannya pernikahan sesama jenis oleh pemerintah USA. Payung hukum tersebut sukses melindungi pelaku dan pendukung LGBT untuk mengekspresikan kebebasan versi mereka. Beberapa fitur di social media yang mengarah ke dukungan atas LGBT pun tak lepas eksistensinya dari payung hukum tersebut. Beruntung di Indonesia, syarat pernikahan (setahu saya) mengacu ke agama dan keyakinan masing-masing.

Norma masyarakat sifatnya hampir mirip dengan hukum, namun ada suasana norma agama mempengaruhinya, plus sifatnya yang nonformal. Sifatnya yang nonformal menjadikannya penuh pertentangan bagi yang kontra. Kecenderungannya adalah memihak "petahana" di masyarakat tersebut. Dan lagi-lagi beruntung Indonesia masih punya norma masyarakat yang terlindungi dari LGBT.

Karena itulah saya memberi judul "diskusi destruktif", salah satunya karena tidak banyak perubahan cara pikir kita tatkala perbpdebatan pro vs kontra memisahkan kita. Di tulisan ini, saya bermaksud mengajak diskusi tersebut "diperpanjang" dengan bahasan yang lebih solutif, yaitu bagaimana tindakan pencegahan dan perbaikan. Mengenai kebijakan publik haruskah pro ataukah kontra, saya yakin norma agama dan sosial di Indonesia sudah cukup untuk mendorong sikap yang harus diambil pemerintah melalui norma hukum. Terkait sentilan "HAM", maka bisa dicek apa saja hak pribadi yang diakui sebagai "asasi" di Indonesia.

// bersambung

No Response to "Mengeja Diskusi Destruktif"