Complaint Handling

Pertama kali mendengar istilah "complaint handling system" adalah saat KP di PT Angkasa Pura II Bandara Ahmad Yani, Kota Semarang. Intinya adalah bagaimana sebuah korporasi dapat mengelola keluhan customer-nya. Sepintas simpel, namun untuk urusan kompetisi antar-korporasi, keluhan aeorang customer akan berdampak panjang terhadap nama baik korporasi ini.

Kasus sebuah rumah sakit di Jakarta yang bermasalah terkait pembiayaan dengan seorang pasiennya sudah terlanjur jadi aib yang tersebar di seluruh Indonesia. Media cetak dan elektronik turut andil di dalam "pencemaran" nama baik rumah sakit itu. Siapa yang salah sebenarnya? Kita sudah tahu. Padahal cuma satu lho. Istilahnya prestasi melayani beribu hingga berjuta pasien lainnya seolah tidak dianggap.

Era keterbukaan informasi telah memberi hak berkomentar yang lebih menguntungkan konsumen. Diawali dengan rubrik surat pembaca di berbagai koran, saat itu kita cukup menuliskan ketidakpuasan kita via surat ke redaksi koran. Tapi di sini masih ada filter, bisa jadi isi surat kita diedit, bisa pula surat kita kalah bersaing dengan surat lain, bisa jadi tidak pernah terbit karena subjektivitas redaksi. Walau demikian, eksistensinya sudah jadi momok tersendiri.

Era website yang kontennya diserahkan pada pengguna alias User Generated Content mulai mengubah iklim perilaku masyarakat. Termasuk cara menyampaikan keluhan. Tiap orang bisa menulis di blog tentang opini mereka terhadap produk/jasa tertentu. Konsep ini memudahkan masyarakat menyampaikan namun kemungkinan korporasi mengetahuinya justru mengecil.

Periode social media jadi tonggak yang menengahi kemudahan penyampaian keluhan oleh customer dan proses penyerapan keluhan oleh korporasi. User social media dalam hitungan detik bisa mengetik keluhan mereka dan dalam satuan detik pula seluruh penjuru dunia bisa tahu. Sinyal provider jelek, kasir yang ketus, parkir yang tidak aman adalah contoh cacatnya korporasi yang sangat gampang diumbar.

Korporasi pun mulai menyadari perilaku masyarakat ini. Berbagai akun resmi disediakan untuk berinteraksi dengan customer, khususnya dalam menyerap keluhan mereka. Ada yang sifatnya manual, jadi mereka perlu di-mention agar dapat tahu keluhan customer. Ada pula yang berani menggelontorkan dana lebih untuk memakai sistem informasi lanjutan yang menyediakan olahan data yang lebih matang. Untuk opsi kedua ini korporasi bisa meng-custom informasi apa saja yang benar-benar dibutuhkan.

Bagaimana dengan pemerintah. Harus diakui, pemanfaatannya masih minim. Sangat jarang ditemukan akun social media milik dinas/kementerian yang benar-benar mau menyerap dan menindaklanjuti keluhan yang masuk via akun tersebut.
Saat ini social media mampu menunjukkan perannya sebagai penghubung customer dengan korporasi (dan harusnya pemerintah) dalam hal penyampaian keluhan.

No Response to "Complaint Handling"