Pusat Gaung tetap pada Masyarakat

Artikel ini terinspirasi dari paparan seorang pengisi kotbah pada sebuah Shalat Tarawih di MUID. Isinya tentang pengaruh trend di masyarakat terhadap budaya ber-Al Qur'an. Berikut nreview sekaligus tambahan opini menurut saya (saya yang masih cupu dan dah apa aku mah butiran trigu).

Televisi
Selama ini televisi kerrap menjadi momok dalam mendidikan anak agar tetap berpegang pada adab Islam. Ya tentu saja banyak hal-hal yang kurang mendidik yang dalam hitungan detik langsung terjadi di stasiun televisi yang disetel. Harap maklum karena tarif mengisi konten di televisi terlampau mahal dan hanya mampu dijangkau oleh orang-orang elit dengan kepentingannya masing-masing. Bukannya tidak ada konten yang bernuansa Islami, namun plotting jam tayangnya di pagi hari secara filosofis memang bagus agar dapat dicerna ketika pikiran sedang jernih namun budaya bangun siang yang sedang melanda remaja saat ini membuat acara-acara tersebut agak "eksklusif".

Namun di tengah gempuran perang pemikiran, sebuah acara yang bertemakan kegiatan menghafal Al Qur an mampu memikat hati masyarakat. Kemasannya jauh dari kata glamor sebagaimana talent searching yang kerap mengumbar kehebohan. Secara pribadi, saya melihat acara ini bukan bersifat aji mumpung, melainkan dipersiapkan dengan matang. Hal ini terlihat dengan konsepnya yang rapi serta mampu menggaet atensi masyarakat. Padahal sempat acara kontes calon da'i dihelat di Indonesia, namun sesuatu yang berbeda di sini. Perbedaannya apa ya? Tentu terletak pada para hafidz yang merupakan anak kecil. Menyaksikan anak kecil yang memiliki talenta spesial tentu memberikan decak kagum tersendiri, apalagi jika talentanya ini merupakan kombinasi manis antara ketekunan dengan keikhlasan.

Yups Al Qur an dan televisi dua hal yang selama ini dianggap sukar beriringan. Kita memang harus menyadari bahwa televisi masih memiliki pangsa tersendiri yang masih terlalu besar untuk disepelekan. Infrastruktur televisi di Indonesia pun relatif stabil. Kesimpulannya kampanye positif melalui televisi akan memberi pengaruh positif yang tidak sedikit bagi masyarakat.

Social Media
Ada yang bilang "televisi itu pisau bermata dua", maka media sosial merupakan "sahabat bermuka dua". Lebih bikin pedih (sambil nunjuk jantung dan bilang 'sakitnya tuh di sini').
Rasa-rasanya tidak perlu mengupas bagaimana intensitas copras-capres. Belum lagi yang sekarang lagi ramai, orang berdebat tentang penting nggaknya #SaveGaza, dan yang lagi ramai yaitu apa sih ISIS itu.
Social media pun sudah tidak perlu kita perdebatkan tentang efeknya terhadap opini masyarakat.

Bayangkan bagaimana caranya isu Gaza bisa menggebrak kepedulian masyarakat Indonesia, bahkan dunia
Bayangkan pula betapa sebuah quote seorang publik figur yang dalam hitungan menit bisa langsung membuat kita disuguhi "meme comic"-nya
Bayangkan pula betapa isu yang menyangkut SARA dapat segera tersebar (padahal foto yang dibubuhkan di situ pun kita tidak tahu apakah memang benar adanya)

Walau ada berbagai kontroversi positif negatifnya, social media ternyata memberi sumbangsih tersendiri bagi kita untuk dapat saling mengingatkan tentang nilai-nilai luhur dalam berinteraksi di dalam Al Qur'an. Saat memasuki bulan Ramadhan, reminder untuk mencapai "khatam" muncul di berbagai shared post, terutama saat menjelang tanggal 17 Ramadhan. Belum lagi berbagai intisari kajian seputar kandungan ayat-ayat Al Qur'an yang disampaikan secara ringan sehingga dapat disimak kembali di berbagai waktu.

Kreativitas Desain
Kalau dua poin awal tadi menayngkut media penyampai, kali ini saya soroti seputar konten yang disampaikan. Karakter masyarakat, khususnya Indonesia, terkait social media dapat diringkas di beberapa poin berikut (sebagai catatan, poin a dilanjut poin b, poin b dilanjut poin c, dst):
a. gampang kecanduan social media (twitter, facebook, path, foursquare)
b. lebih menyenangi yang bersifat non-formal (paham kan kenapa linked nggak terlalu populer di Indonesia) dan ringan (itulah mengapa traffic berita gosip lebih tinggi daripada IEEE)
c. menghabiskan waktu ber-social media secara singkat namun intens
d. membaca konten secara sekilas
e. lebih menyenangi share gambar daripada tulisan
f. lebih menyenangi konten yang lucu
g. senang jika konten yang di-post-nya di-share oleh orang lain
Dengan demikian cara agar dakwah mengenai Al Qur'an lebih mengena adalah dengan desain-desain ringan namun mudah dicerna.

Komunitas
Contoh konkretnya ODOJ (ODOJ ya guys..inget ODOJ, bukan ODOO, kalau ODOO itu beda lagi bro) menjadi tonggak bagaimana pergerakan menggalakkan smeangat membaca Al Qur'an benar-benar sangat fenomenal. Padahal secara kalkulasi, akan jadi hal yang sulit ketika waktu yang jarang dipakai membaca Al Quran tiba-tiba diisi dengan target satu hari 1 juz. 1 jus rata-rata 20 halaman, bila satu halaman memerlukan waktu 5 menit, artinya 100 menit perlu diluangkan tiap harinya. Namun pertanyaan tentang kesulitan itu justru langsung dijawab dengan karakter dari gerakan ODOJ ini, yaitu komunitas.

ODOJ telah menjadi suatu trend positif yang sangat terbuka bagi mereka yang bersungguh-sungguh dengan karakter mengaji yang dapat disesuaikan dengan kondisi di tiap kelompok kecilnya.

Nah apa yang menjadi kesamaan keempat hal di atas. Semuanya benda mati. Itu saja. Bahkan komunitas pun sebenarnya benda mati. Manusia sebagai makhluk sosial merupakan tokoh yang memiliki peran menggaungkan Al Qur'an dengan kesadaran mereka sendiri (mmm, ko mereka ya? kan "saya" juga..eh, pembaca mau ikut kan? Yuk yuk yuk, kita revisi kalimatnya ^^),. Manusia sebagia makhluk sosial merupakan tokoh yang memiliki peran menggaungkan Al Qur'an dengan kesadaran KITA :)

No Response to "Pusat Gaung tetap pada Masyarakat"